19

151 25 23
                                    

Menyadari bahwa sahabat yang selama ini ia sukai kini memilih pergi menemani gadis yang ia tidak sukai, membuat Kesya sedikit frustasi.

Berkali-kali gadis itu menggosok pergelangan tangannya. Berusaha menghilangkan garis-garis kasar yang masih tertinggal di sana. Berharap kalau semua hal ini tidak pernah terjadi.

Ia menyalahkan dirinya sendiri atas kesibukan Mahesa yang saat ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Binar hanya karena ingin menghibur wanita itu dari perasaan kehilangan. 

Tangannya gemetar, menyadari kenyataan bahwa sebanyak apapun ia mencoba, maka hal itu tidak pernah hilang. Gadis itu menangis, terisak dan memeluk dirinya sendiri.

Ingatannya berkelana, tentang Mahesa yang selalu siap sedia berada di sampingnya. Mahesa yang selalu melindungi dan menjadi tameng utama di hidupnya.

Gadis itu terkekeh, lalu menjambak rambutnya dengan kencang sehingga beberapa di antaranya rontok.

Ia mengamati pisau buah yang saat ini berada di genggamannya, lalu dengan tawa hambarnya, gadis itu membuat luka goresan di pergelangan tangannya.

Ada kepuasan tersendiri saat beberapa tetes darah nampak membuncah keluar, gadis itu lalu merangkak meraih ponselnya. Kemudian mengambil gambar atas hal ini dan mengirimkannya pada Mahesa.

Kesya tersenyum puas saat melihat balasan yang muncul di ponselnya.

Mahesa: Tunggu, aku segera ke sana. Jangan lakuin apapun lagi Key, please.

Mahesa selalu menjadi pelindungnya, tak peduli ia sedang bersama siapapun. Dan hal itu membuat Kesya tertawa penuh kemenangan.

Tidak ada salahnya, menyakiti dirinya sedikit demi mendapat perhatian penuh dari Mahesa kan? Ya setidaknya hal ini lah yang membuat Mahesa terus berada di sampingnya sampai saat ini.

Senyum licik muncul di wajah Kesya, "Well, pada akhirnya kita sama-sama tau. Siapa yang ada di skala prioritasnya Esa, kan? Oopsie, kamu kali ini kalah, Binar."

Setelah mendapat rujukan untuk menjalani rawat inap, Kesya yang sebetulnya sudah mendapatkan kesadarannya kembali, tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. Tidak semudah itu untuk menyingkirkan Kesya di hati Mahesa, bukan?

Mahesa masih terdiam diri di samping tempat tidur yang Kesya gunakan. Mata pria itu menyusuri setiap inchi kulit tangan Kesya yang dipenuhi bekas sayatan yang gadis itu perbuat.

Mahesa tidak bisa untuk tidak peduli terhadap Kesya, gadis yang sudah menemaninya sejak bangku sekolah menengah dan menjadi pelindung dari setiap caci dan maki yang pria itu dapatkan.

Gadis dengan tubuh ringkih itu saat ini tengah tertidur dengan pulas. Membuat Mahesa lalu bangkit sejenak dari duduknya untuk kemudian merenggangkan sendi-sendi tubuhnya yang terasa tidak nyaman.

Sudah hampir setengah jam berlalu sejak ia bertemu dengan Binar. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya hingga saat ini, pesan yang Mahesa kirimkan pada Binar pun saat ini tidak kunjung mendapatkan jawaban.

Apakah gadis itu terluka? Atau sanak saudaranya dilarikan ke Rumah Sakit ini? Pria itu menunggu Binar untuk menghubunginya seperti janjinya beberapa saat yang lalu saat tak sengaja berpapasan dengannya. Namun hingga saat ini, tidak ada satupun pesan masuk dalam ponselnya tentang kabar sang gadis yang sedari tadi memenuhi pikiran Mahesa.

Mahesa lalu memberanikan dirinya untuk mengirimi Binar pesan terlebih dahulu, tidak tau apakah akan bebalas atau hanya berakhir di pesan yang ia kirimkan.

Mahesa: Kamu di mana?

Mahesa: Nggak apa-apa, kan? Sorry tadi kalut banget jadi mungkin agak gak nyambung diajak ngobrol. 

Mahesa: Kamu ke sini kenapa? ada sodara kamu yang sakit? 

Mahesa mondar-mandir menunggu jawaban dari pesan yang ia kirimkan pada Binar, pria itu mendecak kesal saat rentetan pesan tersebut tidak membuahkan jawaban. Mahesa tidak berani menelpon gadis itu, karena pria itu takut mengganggu Binar. Lagipula, mereka ini di Rumah sakit.

Kedua bola mata Mahesa nyaris keluar, pria itu terbelalak beberapa saat. Pria itu bahkan memerlukan waktu untuk memastikan jika Binar baru saja membalas pesannya, Mahesa pikir Binar tidak akan membalas pesan darinya karena gadis itu marah.

Binar: Ketemu Aidan. Bonyok dia habis berantem. 

Dengan cepat Mahesa membalas pesan dari Binar,

Mahesa: Aku di ruangan mawar. Kamu ada di mana sekarang? Mau ketemu?

Binar: Ntar aja, gue masih sama Aidan nih kebetulan. Udah dirujuk ke RS ya? Gue sm Aidan di klinik, ini nunggu jemputan Aidan. Mau pulang. 

Senyum di wajah Mahesa perlahan mulai memudar. Pria itu lalu beranjak menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu mendudukkan diri di sofa kecil yang berada di sudut ruangan. Dengan suasana hati yang panas terbakar api cemburu saat mengetahui Binar yang sedang berduaan bersama Aidan.

***

"Papa nggak pernah ngajarin kamu buat kabur-kaburan kayak gini ya, Bi. Kamu itu kenapa sih? Lihat dong sekarang ada Mami sama Adik-adik kamu. Kamu harusnya jadi panutan, bukan malah kelayapan tengah malam," hardik Ilham saat melihat Binar yang pulang sekitar pukul satu dini hari.

Dirga yang mendengar suara Papanya itu langsung terbangun dan turun.

"Kenapa, Pa?" tanya Dirga.

"Nih, adik kamu baru pulang jam segini. Kamu itu gimana sih Mas? Kamu kan kakak tertua di sini, adik kamu udah mau empat. Tolong dong kasih tau adik kamu buat belajar disiplin," ujar Ilham. Binar kesal setengah mati, Dirga yang tidak tahu apa-apa pun harus mendapatkan cecaran Papanya.

"Maaf Pa, Mas lalai." hanya itu yang bisa Dirga ucapkan.

"Ngapain Mas minta maaf? Ini yang kabur kan Bibi, bukan Mas." Binar berujar dengan lantang.

"Lalu, kamu kenapa nggak minta maaf sama Papa?" tanya Ilham.

"Papa juga, kenapa nggak minta maaf sama Bibi, sama Mas Dirga?" mati-matian Binar menjaga nada suaranya. Ratusan kali Binar melihat Debbi menangis dahulu, tapi ribuan kali Debbi mengatakan bahwa bagaimanapun Ilham tetaplah Papanya, Binar harus bersikap sopan pada Papanya.

"Untuk apa Papa minta maaf Bi? Ini yang keluar malem kan kamu? Yang nggak ngawasin kamu kan Mas-mu." Ilham mash denial.

"Ini bukan soal Bibi pulang malem, Pa. Yang bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya bukan si sulung. Bukan Mas Dirga. Tapi Papa! Papa tuh kenapa sih, hal ini selalu ada di dalam kepala Bibi sampe rasanya kayak mau pecah. Pertanyaan Bibi cuma satu, Mama tuh kurang apa sih, Pa?" tanya Binar dengan air mata yang mulai menetes.

Ilham mematung. 

"Bi, masuk kamar." titah Ilham dengan tatapan kosongnya. "Mas juga, masuk kamar." 

"Papa nggak tau gimana menderitanya Bibi denger tangisan Mama tiap hari, Papa juga nggak tau kan alasan Bibi malam ini keluar? Bibi mau berterima kasih sama Aidan, dia sampe dilarikan ke klinik karena berantem sama orang yang jelek-jelekin nama Bibi. Papa bisa nggak?" Binar si kepala batu. Dirga berkali-kali berharap adiknya menoleh ke arahnya.

Pintu kamar yang semula menjadi kamar Mamanya terbuka, memperlihatkan sosok Ibu tirinya saat ini.

"Mas?" panggil Mira dengan lembut seraya menghampiri Ilham.

Melihat bagaimana Papanya yang melunak dan mengecup kening Ibu tirinya itu membuat Binar sakit hati. Seharusnya Mama Debbi yang ada di sana.

"Nggak bisa kan, Pa?"  tanya Binar dengan suara yang bergetar.

"Bi, ayo." Panggil Dirga, si anak sulung yang selalu memikul bebannya sendiri itu tak ingin adiknya menjadi korban abuse verbal Papanya malam ini.

"Kenapa, Kak?" tanya Mira.

"Diem lo! Gue nggak lagi ngomong sama lo!" 

PLAK.

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi sebelah kanan Binar, tamparan dari laki-laki yang selama ini Binar pikir akan selalu menjadi cinta pertamanya.

"PAPA UDAH GILA?!" Teriak Dirga seraya mendorong jauh Papanya. 

"MAS UDAH BILANG, JANGAN SEKALI-SEKALI PAPA MAIN TANGAN SAMA ADE! NGGAK CUKUP PAPA MAIN TANGAN SAMA MAS?!" Teriak Dirga marah.

Binar hanya diam seraya matanya terus mengeluarkan air mata.

"Bi sayang, maafin Papa." Tersadar atas perbuatannya, Ilham mendekati Binar.

Tidak ada tatapan penuh cinta seperti yang biasa Binar berikan pada pria paruh baya itu. Yang ada saat ini adalah kobaran api kemarahan yang jelas terpancar.

"Bibi udah nggak butuh Papa, Bibi benci sama Papa!" 

Malam yang panjang. Binar kehilangan kedua orang tuanya. Ditinggalkan selamanya oleh mamanya, dan kehilangan kasih sayang dari papanya.

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang