26

17 2 26
                                    

Aidan masih tetap setia, sepertinya cintanya memang sudah habis untuk Binar. Siang ini jam pelajaran olahraga kelas Binar, namun Aidan sengaja membolos hanya untuk melihat Binar. 

Apakah Aidan mengetahui tentang Binar dan Genta? Tentu. Aidan langsung menghajar Genta pada malam saat Binar berhasil melarikan diri dengan Mahesa. 

Malam itu, Aidan dan kedua sahabatnya hendak bermain billiard. Aidan menghentikan sepeda motornya saat melihat Binar berlari ketakutan, namun saat hendak menghampiri Binar, ia melihat Mahesa.

Aidan pikir, Binar pasti akan lebih merasa aman dan tenang saat bersama Mahesa, jadi pria itu memilih untuk mengejar Genta dan javier, yang tentu saja mendapat umpatan kesal dari Dewa dan Chandra.

"Aidan goblog ih!" ujar Chandra kesal.

"Bego, tiga taun lo nggak ngapa-ngapain. Sekarang diem aja pas ada kesempatan?" Dewa pun ikut menghardik.

"Kita nanganin Genta," ujar Aidan yang mendapat dengusan kesal dari kedua temannya.

"Ada kesempatan, malah nyari kesempitan." Dewa maupun Chandra mau tidak mau menuruti apa yang Aidan ucapkan.

"Dan, gue hubungin temen-temen yang lain ya? Hati-hati lo," Dewa menahan tangan Aidan.

"It's okay. Gue bakalan ngalihin Genta, lo sama anak-anak urus sisanya." 

Dewa dan Chandra menjadi saksi, bagaimana brutalnya kemarahan Aidan malam itu. Menghajar Genta tanpa ampun hingga beberapa warga sekitar ngeri dan menelpon polisi.

"Anjing! Lo ganggu Binar sekali lagi, Mati lo di tangan gue!" Aidan meludah di wajah Genta yang saat ini cukup mengerikan. 

Pelipis mata sebelah kanannya bengkak, hidungnya berhasil Aidan patahkan, dan kedua ujung bibirnya robek, meninggalkan noda darah yang pasti membuat orang menjengit ngeri ketika melihat wajahnya.

"Gue udah ngajak lo ngobrolin ini baik-baik ya, terus lo diem aja dan ngehindarin gue. Giliran sekarang aja lo malah beraninya keroyokan. Jadi mau lo apa nih sekarang?" tanya Aidan.

Saat itu, otak Aidan tidak dapat memikirkan hal lain selain melampiaskan emosinya dengan memukul perut Genta.

Gentya yang sudah lemas dan kaget tidak sempat bersiap dengan pukulan yang di layangkan oleh Aidan tersebut kembali jatuh tersungkur. Pria itu terlihat meringis setelah mendapat pukulan dari Aidan. Sementara pikiran Aidan tiba-tiba kosong. Rasanya tidak ada yang bisa ia lakukan selain memukul laki-laki di hadapannya ini.

Sebelum Aidan kembali melayangkan pukulannya pada Genta, pria itu terlebih dahulu melindungi dirinya dengan meenendang kaki Aidan. Membuat pria tu jatuh tersungkur. Rasa sakit yang amat berdenyut saat ini tengah Aidan rasakan kala Genta kembali menendang tulang keringnya.

Aidan meringkuk memegangi betisnya, sementara Genta setelah kembali menendang Aidan kini hanya terdiam seraya mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. Dengan rasa kesal yang bergemuruh di dada Aidan, pria itu bangkit dengan tertatih.

Lalu Aidan kembali menarik pakaian Genta hingga pria itu terhuyung ke belakang. Melihat ketidakseimbangan Genta, tentu menjadi momen yang pas bagi Aidan untuk mendaratkan kembali pukulannya pada pria itu. Kali ini, pukulan tersebut mendarat dengan sempurna pada rahang Genta, tepat pada tulang pipi, meninggalkan bekas kemerahan yang pasti akan menjadi memar keesokan harinya.

Tinjuan yang cukup keras itu membuat Genta terlentang tak berdaya sekarang. Jangankan untuk balas memukul Aidan, untuk sekedar berdiri pun sepertinya ia tidak bisa. Aidan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan Genta, hingga sekarang pria itu merasakan sesak di dadanya. Ia lalu menghirup napas sebanyak-banyaknya yan berbaring di samping Genta yang sedari tadi sudah terkapar.

"Beneran udah bego dia, Chan." Dewa menyenggol lengan Chandra.

"Udah abis nih anak cintanya sama Binar, udah nggak bisa lihat kemana-mana lagi, Wa." Chandra mengangguk menyetujui apa yang Dewa katakan.

"Sekarang lo tinggal nyari aja momentum yang pas, kalo nunggu doang ya mau sampe kapan, Dan?" ujar Dewa seraya menepuk pundak Aidan.

Aidan terdiam, mungkin ucapan Dewa memang betul, ia yang harus mencari peluang, ia yang harus aktif bergerak. 

"Loh?! Dan!" Chandra berdiri kaget seraya menepuk pundak Aidan dengan tidak sabar.

"Dan, Binar tuh!"

Aidan langsung berlari ke ujung lapangan, tempat berkumpulnya banyak orang di sana.

"Aku kan udah bilang nggak sengaja, Binar. Kenapa kamu malah marah-marah, sih?" suara Kesya terdengar cukup kencang.

"Gue lagi jalan terus lo tiba-tiba selonjorin kaki dan bikin gue kesandung, gue harus apa selain marah sama lo? Gue tau lo sengaja ya Kesya!" Binar berteriak marah.

"Kamu tuh emang nggak bisa ya ngomong pake kepala dingin? Kenapa sih selalu bentak-bentak? Kamu nggak suka sama aku kan? Kamu iri kan sama aku?" Tanya Kesya.

Karina membantu Binar untuk berdiri. "Udah dong Kesya, kita semua lihat kali lo tuh sengaja bikin Binar jatoh. Kenapa pas Binar lagi gini baru lo berani? Pas kemaren Binar sehat-sehat aja, lo kemana? Ciut kan nyali lo!" 

"Ini lagi apaan sih anak-anak kelas Failure, nggak usah nyambung-nyambung. Aku nggak punya urusan sama kalian!" Kesya mengeraskan rahangnyaa kesal. Begitu banyak yang membela Binar, padahal gadis itu jauh tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.

"Heh si paling pinter, mulut lo jaga! Gue nggak segan ya walaupun lo cewek!" Edwin bersuara, pria itu tampak kesal.

"Temenmu duluan yang nggak bisa jaga mulut. Pantesan ibunya mati gantung diri, lha wong anaknya kayak gini," ujar Kesya berapi-api. 

Kesal, Binar mendorong Kesya hingga jatuh tersungkur. Viola yang sejak tadi bersama Kesya segera menolong gadis itu.

Keributan itu berhasil memancing guru-guru yang mengajar di kelas yang berdekatan dengan Lapangan, salah satunya adalah kelas Mahesa.

"Bi," Bisik Aidan seraya membawa Binar ke pinggir lapangan karena beberapa guru mulai datang, Aidan tau saat ini para guru pasti lebih mendengarkan Kesya si siswi berprestasi dibandingkan semua yang menyaksikan kejadian siang ini.

Beberapa siswa yang gurunya turun ke lapangan ikut keluar, mengerubungi suasana lapangan siang ini, melihat Binar yang sedang ditenangkan oleh Aidan dan teman-temannya, Mahesa yakin bahwa ini semua pasti ada hubungannya dengan Binar.

"Kenapa?" tanya Mahesa berlutut di hadapan Binar saat ini.

"Temen cewek lo tuh, tolong diajarin mulutnya." ujar Aidan tanpa menatap Mahesa.

Ini kalau aja lagi nggak gini situasinya, Binar udah pengen teriak kegemesan lihat Mahesa pake kacamata, tapi karena lagi kacau dan sedih, euphoria lihat Mahesa seganteng ini pun jadi redup lagi.

"Bentar, ya!" Mahesa berjalan menghampiri gerombolan orang di sana setelah mendengar apa yang Aidan ucapkan.

Mahesa melihat jelas bagaimana Kesya menangis seraya memeluk bu Shofi, guru matematika sekaligus pembina olimpiade. 

"Jahat banget cewek lo!" Viola mendorong dada Mahesa.

"Bu, nggak usah percaya sama air mata buaya deh Bu. Kita semua saksinya, sekelas. Yang harusnya ibu tenangin tuh Binar, untung dia nggak gila habis denger omongan nih orang pinter!" ujar Ares kesal.

"Aduh, udah deh kalian bubar aja. Dengan belain temen kalian yang jelas salah itu, nggak bikin penilaian saya berkurang, bubar-bubar!"

"Cewek uler lo!" desis Karina kesal.

Melihat Mahesa yang diam saja membuat Edwin berdecak kesal, "Kenapa lo diem aja? Cewek lo tuh dikata-katain, dicelakain."

Tepat saat Mahesa hendak membuka suara, suara Bu Shofi menginterupsi. "Mahesa, tolong bantu Ibu untuk antar Kesya ke Kelas ya,"

Mahesa terdiam sampai teman-teman sekelas Binar satu per satu meninggalkan Kesya dan Mahesa, mereka melemparkan senyum aneh pada Mahesa.

"Nggak usah berkomitmen buat pacaran kalo masih bingung harus belain yang mana!" 

"Nggak usah pacaran dulu deh kalo masih belum selesai sama masa lalu lo, kasian pacar lo tuh!"

"Asem, asem. Segini doang cowok yang ditaksir setengah mampus sama si Binar?" 

Mahesa bisa mendengar umpatan-umpatan teman sekelas Binar yang langsung menghampiri dan mengerubungi Binar di pinggir lapangan.

"Bangun Key, yuk ke Kelas."

Ini yang namanya peluang, Aidan tersenyum miring. "Gue anter ke kelas ya, Bi."




EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang