21

157 25 18
                                    

"Oh ini yang namanya Binar? Cantik Mas, pantesan kamu senyum-senyum terus." Mia tersenyum lebar saat melihat Binar yang datang bersama anak laki-lakinya saat ini.

"Bu," tegur Mahesa pelan, MALUUUUUUUUUUUUUU.

"Lah, Ibu bener kan? Mas jadi sering senyum-senyum sambil ngelamun." Mia masih gencar menggoda Mahesa, sementara Binar menahan tawanya.

"Udah ah, masuk yuk. Panas," ujar Mahesa dengan wajah yang memerah karena salah tingkah.

"Merah banget mukanya," kali ini Binar yang menggoda Mahesa.

"Panas ini," jawab Mahesa seraya mendahului Binar ataupun Ibunya memasuki Rumah. Melihat gelagat Mahesa yang seperti saat ini, membuncahkan tawa di antara Mia dan Binar.

"Maaf ya Rumah tante segini adanya, nggak besar." Mia merangkul Binar.

"Lha kok minta maaf sih Tante? Nggak apa-apa, lagian aku yang harusnya minta maaf kalo  repotin Tante sama Mahesa di sini." Binar tersenyum ramah.

"Panggil Ibu aja ya, Binar. Biar samaan kayak Mas Esa." Mia menatap Binar seraya mengelus pipi gadis itu dengan lembut.

"Kalo gitu, Ibu juga harus panggil Bibi. Biar samaan kayak Keluarga aku," ealah ini Binar pinter bener mencuri hati calon mertua. 

Pipipipip calon mantu.

"Misi, Mas mau ajak Binar ke belakang boleh?" ujar Mahesa. Mia melayangkan tatapan jenaka, menggoda anak laki-lakinya ini memang sangat lucu.

"Kamu sama Mas Esa dulu, Ibu mau nyiapin makan siang kita," 

"Aku bantu Ibu aja," ujar Binar.

Mia menggelengkan kepalanya. "Mas Esa mau ngasih tau kamu sesuatu, ini lebih penting dari sekedar siapin makan siang. Have fun ya sayang-sayangnya Ibu."

"Ibu baik banget ya, Sa. Kaya Mama gue," ujar Binar saat mereka berdua sampai di halaman belakang rumah Mahesa.

Halaman belakang Rumah Mahesa tidak terlalu besar, hanya ada sedikit space teras yang diisi dengan dua buah kursi besi dan meja, di hadapannya ada taman kecil, berisi pohon-pohon kecil dan kolam ikan kecil.

"Kapanpun kamu boleh main ke sini kalau kangen Mama, Ibuku ya ibu kamu juga." 

Binar terkekeh, Mahesa ini lagaknya udah kayak suami Binar aja.

"Lucu lo, lagian gue tau diri lagi. Malu banget masa tiba-tiba gue dateng terus menel-menel ke Ibu lo?" ujar Binar.

Mahesa tidak menjawab, pria itu sibuk menatap ke depan, membuat Binar yang melihat pria itu, melakukan hal yang sama.

Suasana di tempat itu hening, tapi Mahesa maupun Binar bisa merasakan nyaman. Mahesa melirik Binar yang saat ini tengah tersenyum menatap salah satu Hiasan gantung di hadapannya, ada rasa lega yang menyusup di hatinya kala melihat sikap Binar yang tidak berubah sama sekali setelah kejadian di Rumah Sakit kemarin. 

"Sa,"

"Bi," Binar menoleh pada Mahesa yang ternyata saat ini sedang menatapnya dengan tatapan yang lekat.

Keduanya tertawa saat menyadari bahwa mereka saling bertatapan.

Binar menghentikan tawanya. "Lo duluan,"

Mahesa menggeleng, lalu tangannya menunjuk ke arah Binar. "Ladies first,"

Binar melirik Mahesa sekilas, lalu duduk dengan posisi kaki menyilang seperti yang Mahesa lakukan saat ini. Tatapan mata gadis itu menatap lurus pada Mahesa yang berada di hadapannya.

"Ada hal yang mau gue sampein ke lo," manik coklat Binar menyusup pada mata bening Mahesa.

"Mungkin lo kaget kali ya denger ini dari mulut gue, tapi bener-bener harus gue akuin dan selesain semuanya sekarang. Sa, lo tau kan gue udah lumayan lama sendiri?" Tanya Binar dengan nada suara serius yang membuat Mahesa ikut tegang di kesempatan ini.

"Mungkin kesannya gue ketemu sama lo ini baru sebentar dan bisa dibilang kita nggak kenal-kenal amat. Kita juga sekarang kayak keombang-ambing gitu, lo ngerti nggak sih?" Binar kembali melanjutkan perkataannya, dengan Mahesa yang selalu serius dan mengangguk cepat setiap kali gadis itu berbicara.

Tapi tunggu, mendengar apa yang Binar ucapkan, membuat Mahesa berdebar. Apakah gadis itu? Tidak, ini tidak bisa dibiarkan, jangan sampai niat Mahesa untuk menyatakan rasa sukanya pada Binar, keduluan.

"Bi, percaya nggak selama aku sekolah di Cendrawasih, selama itu juga aku nunggu hal ini terjadi. Aku udah suka kamu dari pertama aku lihat kamu di kelas sepuluh, pas kamu dihukum saat upacara karena nggak pake dasi." Mahesa membasahi bibirnya yang mendadak kering setelah mengatakan hal tersebut.

"Selama itu, tapi aku juga sepengecut itu buat bilang ke kamu. Aku milih buat diem selama ini, saat-saat sekarang ini yang aku tunggu-tunggu. Bahkan kadang aku mikir ini semua kayak mimpi," sambung Mahesa.

"Gue sendiri bimbang Sa, sama semua ini. Menurut gue semua ini terlalu apa ya? Terlalu cepat. Gue nggak bisa, ah belum bisa ngimbangin semuanya,"

"Tanpa lo tau, gue sebenernya banyak kekurangan. Banyak banget sebenernya yang belum lo tau tentang cewek di depan lo yang seringkali belagak sok kuat di hadapan semua orang ini," Binar tertawa hambar, kali ini Mahesa hanya menatap lurus pada matanya.

"Tapi gue ngizinin lo kok, gue ngasih lo akses bebas masuk buat ngenalin diri gue lebih jauh dari saat ini. Tapi, gue nggak mau terlalu cepet. I mean kayak, let it flow aja. Lo sendiri tau kalo gue sempet punya trauma pacaran gara-gara Genta. Gue Cuma mau satu buat selamanya, makanya gue ngasih lo tanjakan saat ini, buat ngelakuin semuanya dengan tenang dan nggak terburu-buru." Binar menghembuskan napasnya lega saat ia berhasil menyelesaikan kalimatnya. Disusul dengan senyuman paling manis yang Mahesa berikan, sembari membelai rambut gadis itu dengan berani.

"Thank you, aku nggak akan jadi pengecut buat yang kedua kalinya. Aku akan gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya." Mahesa dengan berani menggenggam tangan Binar.

"Jangan dipukul rata semuanya ya, cantik. Aku nggak akan sebrengsek Genta," Binar kembali tersenyum setelah mendengar hal itu dari bibir Mahesa.

Perasaan yang ia dapatkan dari Mahesa, adalah hal tulus yang selalu ia dambakan. Dahulu gadis ini berpikir bahwa tidak akan pernah ada pria yang bisa memberikannya rasa dan hati yang tulus, namun kini Tuhan memberinya seorang Mahesa.

Binar tidak buta dan tidak cukup bodoh untuk bisa mengartikan bahwa betapa seriusnya rasa yang Mahesa miliki. Gadis itu merasa bersyukur walaupun hatinya kini berkecamuk, saling denial terhadap perasaannya.

"Mahesa," Binar berkata lirih, tatapannya beradu dengan manik mata bening pria di hadapannya ini yang tengah menatapnya dengan lembut.

"Gue juga suka sama lo selama ini, ayo kita pacaran aja. Gue nggak mau HTS-an!" 

"Nah, sekarang udah resmi jadi calon mantu Ibu. Yuk, makanan perayaan jadian udah siap!" Bukan Mahesa yang menjawab, tapi Ibu. Dengan riang dan ceria.

"Kamu kalo butuh apa-apa hubungi aku ya, aku bantu sebisaku. Jangan minta tolong sama Aidan lagi, ya?" ujar Mahesa seraya berdiri dan tersenyum.

"Kenapa? Santai aja lagi, nggak akan kalah saing juga," jawab Binar.

"Mahesa berhenti, membuat Binar ikut berhenti. "Kenapa?"

"Aidan tuh suka sama kamu, sayang. Masa nggak ngerti sih?" 

ANJIRLAH ini Binar pengen teriak, apa tadi katanya? Sayang?

"Ya kan gue nggak suka sama Aidan?" Binar denial.

"Tapi aku pacar kamu," 

"Terus?" Binar udah ngerti sebenernya, tapi dia pengen godain Mahesa.

"Ya aku cemburu, lah!" 

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang