24

153 20 26
                                    

Kalau Binar bisa memilih dan mengulang waktu, ia hanya ingin tidak bertemu dengan Genta dan tidak pernah mengenal pria itu sepanjang hidupnya. Genta berubah menjadi pria abusive di enam bulan sebelum hubungan mereka kandas, Binar juga tidak tau kenapa. Bahkan sampai saat ini, Binar sama sekali tidak mengenal Genta yang dulu.

Dengan kondisi yang begitu menyedihkan, Binar terdiam seraya menutup mata saat seberkas cahaya menyilaukan penglihatannya. Apapun yang terjadi kedepannya, entah Binar harus mengakhiri hidupnya saat ini, atau mungkin apapun, Binar sudah benar-benar berserah pada Tuhan.

"Bi, ayo naik!" 

Bahkan apabila Tuhan saat ini sudah menyelesaikan hidupnya, Binar benar-benar sejatuh cinta ini pada Mahesa, suaranya terdengar begitu nyata.

Kesal karena Binar tidak bergerak sama sekali dan kendaraan lain di belakang motor Mahesa sudah mencak-mencak kesal, Mahesa turun dari motornya untuk menarik Binar.

"Ayo! Ini aku!" Dengan sekali tarikan, mampu membuat Binar mendapatkan kesadarannya kembali, sementara kendaraan di belakang motor Mahesa yang terparkir di tengah jalan terus menerus menekan klakson.

"WOI MAU KE MANA LO JABLAY?" Teriak Genta marah, Mahesa dan Binar dengan cepat menaiki motor, beruntungnya walaupun Mahesa bukan tipikal pria yang jago berkelahi, namun Mahesa begitu mengenal daerah sekitar sini, karena ia sering menjadi guru tutor anak SD atau SMP di daerah ini.

"Kamu kok bisa di sini?" tanya Binar dengan kondisi yang masih linglung. 

"Pegangan dulu, ceritanya nanti aja." Binar bisa melihat sorot mata yang petang ini mendadak tajam, tatapan teduh Mahesa tidak bisa Binar temukan sore ini.

Sepanjang jalan Binar terus mengamati jalanan dengan cemas, ia takut Javier mengikuti mereka, Binar sangat tau bahwa perintah Genta merupakan sebuah keharusan bagi mereka, pantang anggota Javier untuk tidak menuruti apa yang Genta perintahkan.

Di satu sisi Binar berterima kasih pada Tuhan, Mahesa datang di waktu yang tepat, walau ngaret dikit karena pria itu harus muter muter jalanan di sekitar Mall biar ga dicurigai sama Javier.

Binar menatap pantulan wajah Mahesa lewat kaca spion motor pria itu. hari ini Mahesa terlihat sangat berbeda, sebuah kacamata bertengger di hidungnya. Diam-diam Binar memperhatikan, Mahesa ini cakepnya di segala sisi nggak, sih?

Dengan cepat Mahesa berbelok ke arah sebuah perumahan di sana, "Ini mau ke mana?" tanya Binar panik.

"Kita sembunyi dulu, ulur waktu. Ujung jalan perumahan ini bisa jadi jalan keluar, nanti kita keluar dari Minimarket yang ada di perempatan, tau?" tanya Mahesa.

"Nggak," jawaban Binar membuat Mahesa menipiskan bibirnya.

"Kita harus cari bantuan nggak sih?" tanya Binar semakin panik. Mahesa mengangguk.

"Telepon polisi aja, jangan Aidan." Permisi??? Tiba-tiba banget Aidan???

"Ya iya lah!" Balas Binar dengan alis berjengit.

***

"Yaampun ini sih harus ke Dokter, Bi!" Seru Mira seraya memangku Rachel yang memperhatikan kaki Kakak perempuannya dengan berjengit ngeri. Kepulangan Binar malam ini dengan posisi dalam kawalan polisi, satu hal yang Mira khawatirkan saat dua orang aparat kepolisian mengetuk pintu rumahnya adalah bagaimana bila Binar sudah membuat masalah besar?

Namun sepertinya satu-satunya yang menjadi masalah besar di sini adalah Binar denga kondisinya yang memprihatinkan.

"Gausah," jawab Binar dengan datar, gadis itu tidak ingin menunjukan rasa tidak suka pada Mira di hadapan Mahesa yang sedari tadi memperhatikan interaksi Binar dengan Mira.

"Yaampun, mami lupa. Ini temenmu lho sampe nggak dikasih minum. Bentar Mami ke belakang dulu ya, yuk Achel bantuin Mami!" Ujar Mira seraya berjalan mundur perlahan.

"Nggak usah repot-repot, tante. Nggak apa-apa kok," ujar Mahesa sopan, Mira mengibaskan tangannya seraya tersenyum ramah. "Nggak repot, tunggu ya!"

Hanya ada hening menyergap mereka berdua, Binar masih berfokus dengan rasa sakitnya yang tiba-tiba berdenyut hebat.

Melihat Binar menggigit bibirnya menahan sakit, Mahesa mengelus pelan lutut gadis itu. 

"Kalau masih sakit, kita ke klinik aja ya? Atau mau aku panggil tukang urut langganan Ibu?" tanya Mahesa, Binar menggeleng lemas.

"Aku tau mungkin susah banget rasanya, tapi jangan ketus gitu sama Ibumu, care loh dia kalau aku perhatiin," tegur Mahesa dengan hati-hati.

"Tadi gimana ceritanya?" Mahesa kembali mengajukan pertanyaan pada Binar, setelah ucapannya sebelumnya tidak mendapatkan respon apapun.

"EH IYA! Gelang yang aku beli mana ya, paper bag nya?" Alih-alih menjawab pertanyaan Mahesa, Binar teringat akan suatu hal yang sengaja ia beli tadi.

"Kalau nggak ada, nggak apa-apa. Nanti aku yang gantian beliin buat kita." ujar Mahesa, Binar menggeleng cepat. 

"Aku udah beliin buat kita, tapi masa hilang?"

"Hey, lihat aku dulu." Mahesa menangkup wajah Binar, bahkan gadis itu masih terlihat begitu cantik di mata Mahesa walaupun sudah seberantakan ini.

"Tadi kok Genta bisa ngejar-ngejar?" tanya Mahesa, wajahnya masih menatap Binar dengan dalam. 

Satu detik

Dua detik

Tiga detik


Binar meneteskan air mata yang sejak tadi ia bendung, Mahesa dengan telaten mengusap setiap air mata yang mengalir di wajah cantik kekasihnya itu. Enggan membiarkan bulir bening tersebut jatuh.

"It's okay loh sayang, kamu udah aman. Take your time kalau kamu belum sanggup buat cerita," ujar Mahesa.

"Tadi sebenernya takut banget," cicit Binar, Mira yang hendak memberikan minum pada Mahesa pun mundur lagi, tidak mau mengganggu kebersamaan Binar dengan Mahesa.

"Kamu di apain aja sama dia?" tanya Mahesa, Binar mengelengkan kepalanya.

"Kejar-kejaran doang kayak game subway surf," jawaban Binar membuat Mahesa menipiskan bibirnya sejenak, sempet-sempetnya becandain hal serius kayak gini.

"Aduh! Malah dijitak!" Binar mengaduh saat jemari Mahesa menyentil keningnya dengan gemas, meninggalkan warna merah tepat di tengah-tengahnya. Gadis itu menggosok hidungnya, Mahesa segera mengambil beberapa lembar tissur yang ada di meja.

"Bi, serius dulu bisa?" tanya Mahesa, udah geregetan banget karena sejak tadi Binar nggak bisa diajak serius dulu buat ngomongin masalah yang menurut Mahesa nggak bisa disepelein.

"Seriusin dong," lagi-lagi Binar malah menggoda Mahesa.

"Mau kapan? Nanti biar aku yang bilang sama Ibu," jawaban Mahesa sukses membuat Binar tercekat, dan kaget. Gadis itu memukul tangan Mahesa.

"Ngawur!" 

"Loh, kok ngawur? Katanya tadi minta di seriusin?" tanya Mahesa.

"Ya tapi nggak detik ini juga kan?—"

"—Mana Bibi?!" Suara teriakan Dirga menggema, membuat Mahesa dan Binar yang sedang hadap-hadapan dengan jarak dekat itu terlonjak kaget. Mereka berdua sudah seperti pasangan yang ke-gep mesum.

"Loh kalian ini lagi ngapain?" tanya Dirga kaget, mendengar suara Dirga membuat Mira buru-buru menghampiri seraya membawakan minuman yang gelasnya sudah dipenuhi embun karena sudah cukup lama dibiarkan.

"Loh, Mas Dirga udah pulang?" Sapa Mira yang diikuti oleh Rachel yang mengekor di belakangnya.

"Ini dari tadi, Tante?" tanya Dirga pada Mira.

"Barusan aja kok, tadi Tante tinggal bikin air doang ke belakang." ujar Mira sambil menatap geli ke arah Mahesa yang saat ini salah tingkah, bingung harus bicara apa di hadapan Dirga.

"Mana kakinya Bibi?" tanya Dirga seraya menghampiri adik kesayangannya tersebut.

"Keseleo doang ini," ujar Binar.

Dirga tidak mempedulikan apa yang Binar ucapkan, si anak sulung tersebut berjongkok untuk melihat lebih detail kaki Binar yang sengaja diselonjorkan ke atas meja tersebut.

"Lo habis ngapain sih gue tanya?" tanya Dirga seraya menatap Binar, bingung menjawab pertanyaan Dirga. Karena pasalnya Binar tidak pernah mau membicarakan tentang Genta lagi pada Dirga, bisa mati Genta kalau Mas Dirga udah marah.

Lalu, Binar hanya tidak ingin menambah beban Mas Dirga. Mereka berdua sama-sama kehilangan, tapi Binar tau pasti bahwa Dirga menanggung beban yang lebih besar dari dirinya. Semua tuntutan kini pasti mengarah pada Dirga, si anak sulung.


EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang