XXI. FEVER DREAM [REVISI]

235 35 5
                                    

Surprisee! Aku datang membawa 2 bab sekaligus hari ini. Yuk bantu ramein dua-duanya, jangan lupa vote + komen, yang mau feedback-an yuk langsung japri aku ^^


"Terima kasih banyak karena sudah mau datang ke sini ya, Pak Bara, mbak Leony," kalimat tersebut diucapkan dengan begitu sumringah.

Keluarga kecil tersebut baru saja melakukan konsultasi yang mendalam tentang rumah mereka bersama Leony dan Bara. Tidak hanya tentang pipa air yang sempat mengganggu pikiran karena harus dibangun di tengah-tengah ruang tamu, melainkan juga ruangan-ruangan lain di mana Leony melihat adanya potensi untuk berkreasi dengan rancangan interior. Walaupun Bara berada di sana untuk memantau kinerja Leony, ia tidak banyak ikut campur dan membiarkan Leony bekerja sesuai dengan kapasitas dan kreativitasnya. Tidak ada masukan-masukan yang seolah-olah meremehkan ide Leony.

"Mudah-mudahan akhir tahun ini kami sudah bisa tinggal di sini, ya. Mbak Leony harus datang ke acara munggahannya karena udah banyak bantu," ucap Keniza sambil memegang lengan Leony, meremasnya dengan gemas karena terlalu bersemangat.

Leony pun tertawa kecil, sangat menikmati interaksi di antara mereka. "Kalau diundang, saya pasti datang kok, mbak."

"Kami tuh buta banget soal interior design rumah, mbak," Enrico melanjutkan, "tapi karena ini rumah pertama, kami tuh pengen banget punya rumah yang bagus biarpun kecil. Ngeluarin uang agak banyak juga nggak apa-apa, yang penting rumah impian kami dari zaman sebelum menikah tercapai. Untungnya ada mbak Leony."

"Tahun berapa menikahnya, mas?" tanya Bara.

"Dua ribu dua puluh," jawab Enrico.

"Ooh, udah agak lama, ya," Bara menganggukkan kepala.

"Iya, habis itu kami kerja dulu karena kan punya anak tuh nggak mudah ya, pak. Kebutuhan anak zaman sekarang mahal, jadi kami persiapan dulu sebelum punya anak. Alhamdulillah, uangnya udah lumayan cukup untuk bangun rumah sendiri dan punya anak satu."

Tanpa disadari, Leony tersenyum lebar ketika mendengar cerita Enrico tentang perjuangan keluarga kecil mereka dalam pernikahan. Entah mengapa, Leony merasakan keteduhan di dalam hatinya, mungkin karena banyak pasangan muda masa kini yang lebih mementingkan kebahagiaan sendiri daripada nasib anak yang mereka ciptakan lewat egoisme. Berita perceraian, anak yang ditelantarkan, dan jeratan hutang membludak pada zaman di mana gengsi manusia lebih besar daripada kemampuannya untuk menghidupi diri sendiri, tetapi di tengah-tengah itu semua, masih ada manusia dengan akal sehat yang menginginkan kebahagiaan untuk orang-orang terdekat mereka.

Leony kemudian meraih kaki kecil bayi yang sedang tertidur di dalam pelukan ayahnya. Kaki itu ia goyang-goyangkan dengan lembut. "Syukur, deh. Semoga nanti betah tinggal di rumah ini, ya. Siapa nama adiknya?"

"Annisa. Annisa Salsabila," jawab Keniza.

"Wah," kedua mata Leony membulat, "sama dong kayak nama saya, Leony Salshabilla."

"Tuuuh, namanya sama kayak tante Leony. Nanti jadi cantik dan pintar kayak tante, dong?" Lagi-lagi pujian itu membuat pipi Leony merah merona. Bukan, bukan karena Leony tidak biasa menerima pujian, tetapi karena keberadaan Bara yang di tempat dan waktu yang tidak biasa. Dan siapa yang menyangka bahwa Bara juga ikut tersenyum sebagai reaksi pasif terhadap pujian yang dilontarkan oleh sepasang suami-istri tersebut?

Mereka berempat berbincang cukup lama, hingga akhirnya kata perpisahan pun diucapkan. Leony dan Bara kembali ke dalam mobil mereka yang kurang-lebih suhunya sudah setara dengan ruang sauna, sabuk pengaman dipasang, dan Bara berniat untuk mengantar Leony pulang ke apartemennya.

The Art of Babygirlism ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang