XXIX. DARI MATA BARA [REVISI]

254 23 1
                                    

Helloo~ akhirnya aku tidak telat update! Masih anget banget nih ^^ yuk tinggalkan vote + komentar. Yang mau feedback boleh japri aku yaa :) selamat membaca!


Bara baru saja tiba di bandara pada sore hari, beberapa jam setelah panggilan darurat dari Rafaela. Ia mengambil penerbangan paling awal ke Singapura. Nafasnya terengah-engah, pelipisnya berkeringat, dan suhu tubuhnya terus meningkat karena penyakit yang belum juga diobati. Meski seluruh tubuhnya gemetar dan kedinginan, Bara terus memaksakan diri sampai bisa menemukan Leony.

Dengan segera, Bara menghentikan taxi Uber di gerbang kedatangan dengan membawa koper kecilnya. Tidak ada yang spesial, mungkin koper itu hanya berisi sepasang pakaian dan tidak ada lagi. Bara meminta pengemudi Uber untuk mengantarkannya ke Hotel Four Seasons dengan cepat, tempat Leony menginap, tetapi mengetahui betapa ketatnya aturan dan hukum di Singapura, Bara tidak akan bisa mencapai Leony secepat yang diinginkan.

Namun, pada akhirnya pun Bara tetap tiba dengan selamat di hotel dan berlari ke kamar Leony. Tidak tidak perlu lagi bertanya tentang nomor kamar di resepsionis karena Rafaela sudah memberitahunya bahkan sebelum Bara naik ke pesawat. Begitu ia menemukan kamar Leony, ia memencet bel pintu beberapa kali, panik dan gemetar secara bersamaan.

Begitu Leony menjawab bel tersebut dan membuka pintu, mereka saling bertukar pandangan penuh kekhawatiran.

"Pak Bara ..." napasnya tercekat, "bapak ngapain di sini?"

Bara tidak punya waktu untuk menjawab dan segera menarik Leony ke dalam dekapannya. Gadis itu terheran-heran, tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia sudah terlanjur mati rasa saat itu dan tidak yakin apakah harus merasa bersyukur karena akhirnya ada seseorang yang datang, atau marah karena orang yang datang itu adalah Bara.

Leony tidak bisa memproses situasi itu dengan cepat.

Bara mengusap punggung Leony dengan lembut, "are you okay? What happened? What did Keigo do to you?"

Leony bisa merasakan tubuh Bara yang kuat dan kokoh memeluknya, benar-benar menjulang di atas tubuh kecilnya. Bahkan ketika Leony tidak membalas pelukan itu pun, ia menuai rasa hangat, bahkan terlalu hangat untuk seseorang yang selalu bertindak dingin terhadapnya. Setelah beberapa saat, Bara melepaskan pelukannya dan memegang pipi Leony, "Len, what happened? Tolong cerita ke saya, kenapa kamu nangis? Apa yang dilakukan sama Keigo?" Serangkaian pertanyaan, namun yang bisa terbesit dalam benak Leony hanyalah wajah pucat Bara dan telapak tangannya yang hangat.

Dari sentuhan Bara saja Leony sudah cukup yakin bahwa Bara sedang dalam kondisi yang kurang sehat, lantas ia membawa Bara untuk masuk ke dalam kamar dan mempersilakan Bara untuk duduk di sofa. Leony segera menyuguhkan segelas air mineral, tetapi Bara menolak dan menaruh semua perhatiannya kepada Leony.

"Saya nggak butuh air, saya butuh tahu keadaan kamu gimana. Apa yang bikin kamu nangis?" Bara mendesak.

Leony menghela napas dalam-dalam, kemudian meletakkan air mineral itu di atas meja. "Kenapa bapak ada di sini? Rafaela bilang apa sama bapak?"

Bara menggelengkan kepalanya, mencoba untuk fokus meski suaranya serak dan tubuhnya lemah. "Rafaela bilang kamu nangis-nangis dan kamu ada masalah, saya nggak tahu detailnya tapi Rafaela bilang ini ada hubungannya sama Keigo. Rafaela lagi nggak bisa terbang ke Singapura sekarang, jadi dia minta saya untuk jemput kamu."

"Tapi kenapa ...?" Dahi Leony berkerut, "kenapa bapak mau? Bapak lagi sakit dan—" berhenti sesaat, ia tidak yakin bagaimana harus menyampaikan perasaan yang masih kalang kabut itu. "Kenapa bapak peduli?"

"Haruskah saya punya alasan untuk peduli sama kamu?" Dada Bara kembang-kempis, gigi menggertak, "dan kalau saya punya sejuta alasan untuk peduli pun, haruskah saya jabarin satu-satu, Len? Saya nggak mempercayai Keigo sama kamu karena saya tahu kamu akan berakhir disakitin."

The Art of Babygirlism ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang