XIV. BIANG KEROK [REVISI]

271 46 7
                                    

Daaaan, surpriseeee! Aku update 2 bab hari ini. Yuk ramein dengan vote + komen. Yang mau feedback langsung japri aku, yaa! Selamat membaca!


Hari Jumat di Jakarta yang panas, sehari lagi sampai Leony akhirnya bisa bertemu dengan sang sugar daddy, Keigo. Tentunya tidak semudah itu mencapai kenikmatan yang hakiki. Sebelum akhir pekan tiba, Leony masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor.

Leony, yang langsung ditunjuk oleh Bara, telah menjadi mentor bagi seorang anak magang untuk mendesain pesanan interior dari seorang pelanggan. Magang tersebut bernama Naomi, seorang sarjana kemarin sore berusia 22 tahun yang baru mulai mengumpulkan pengalaman bekerja dari dua minggu yang lalu.

Ketika Leony sedang sibuk mengerjakan proyeknya sendiri, Naomi mendekatinya dengan beberapa lembar gambar di tangannya. "Kak Leony, boleh bantu kasih aku feedback buat gambaran ini nggak, ya?" tanya Naomi dengan suara penuh harap.

Leony mengangguk dan mengambil gambar-gambar itu. Ia memeriksa dan mempelajari semua gambaran hasil tangan Naomi dengan cermat serta mendetail. "Hmm, ini udah bagus sih sebenernya, tapi ada poin-poin yang masih harus diperbaiki," katanya sambil menunjuk beberapa bagian, "coba perhatiin lagi proporsi ruangan di sini dan penempatan furnitur di sini. Kalau peletakkan objek-objeknya bagus, maka atmosfer ruangannya juga bakal lebih seimbang."

Naomi langsung mencatat koreksi yang diberikan Leony. "Okey, ada lagi nggak, kak? Aku pikir ruangannya bagus kalau pakai warna hangat dan overhead lights-nya diminimalisir."

"Poin itu udah bagus, kok. Pastiin aja lo tahu di mana harus meletakkan furnitur. Beberapa pelanggan tuh sensitif banget soal fengshui dan hal-hal yang berbau energi di ruangan, jadi lebih baik lo benerin lagi tata letaknya."

"Makasih banyak, kak. Masukannya ngebantu banget," kata Naomi dengan senyuman yang lebar.

Leony tersenyum sebagai respon, tetapi percakapannya dengan Naomi tidak selesai sampai di sana. Ia masih merasakan kejanggalan dalam beberapa hal. "Oh ya, Naomi, yang ngasih lo proyek ini siapa? Lo kan masih magang, harusnya nggak boleh ngerjain proyek sendirian."

Naomi tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Itu ... kak Nadine yang nugasin proyek ini ke aku."

Leony terkejut mendengar nama itu. Firasat tidak enaknya ternyata benar tentang asal masalah Naomi hingga membuat anak malang itu dimarahi habis-habisan oleh Bara, "Nadine yang ngasih? Kok aneh, ya? Harusnya dia tahu kalau kamu belum boleh pegang proyek sendirian. Lo udah bilang ke Pak Bara?" kata Leony dengan nada berpikir.

Naomi mengangguk pelan, tampak bingung. "Iya, aku juga ngerasa aneh, tapi dia bilang itu bagian dari pelatihan aku, sih. Aku juga nggak bilang ke Pak Bara, soalnya ... aku nggak berani, takut Pak Bara tambah marah," suara Naomi jelas-jelas menunjukkan gemang.

Leony menghela napas, berusaha menjaga emosinya. Berbagai kata umpatan tentang Nadine sudah bermunculan di kepala. "Oke, nggak apa-apa. Mulai sekarang, kalau ada proyek yang masuk, lo harus tanya dulu ke gue, ke mbak Fitri, atau nggak langsung ke Pak Bara. Biar kita bisa dampingin lo."

"Iya, kak. Makasih udah diingetin!" jawab Naomi dengan nada serius, tetapi senyumannya tidak pudar. Leony menyeringai tipis, lalu membiarkan Naomi kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaan.

Waktu tentunya berjalan lebih cepat ketika tubuh dipadati dengan kegiatan. Keseriusan Leony dalam bekerja hari ini sangat menonjol, konsentrasi dikerahkan untuk mengerjakan semua pekerjaan. Sore hari tiba, hanya tinggal beberapa menit saja sebelum Leony bisa meninggalkan kantor. Namun sebelum itu, ia memutuskan untuk mengunjungi Bara di ruangannya, kemungkinan untuk pertama kali setelah sekian lama, Leony masuk ke dalam kantor Bara tanpa harus dipanggil terlebih dahulu.

Pintu diketuk tiga kali, sang ketua divisi pun langsung menjawab dari dalam ruangan. Leony, dengan sebuah tablet di tangannya, perlahan mendekati meja Bara dan menyerahkan tablet tersebut. Di layarnya tertera laporan kemajuan yang telah ia buat dari proyek-proyek kecil yang saat ini sedang ia tangani. Bara membaca laporan itu dengan cepat dan tampak puas dengan hasilnya.

"Good, rapi dan jelas," kata Bara singkat dan padat. "Kamu boleh pulang sekarang."

Namun, Leony tetap berdiri di tempatnya, terlihat gugup sambil menggigit bibir bawah. "Pak Bara, saya boleh nyampein sesuatu? Ini terkait Naomi ..."

Bara menghela napas, awalnya tampak tidak tertarik, "Kenapa?"

Leony menelan ludah, mengumpulkan keberanian dari setiap atom tubuhnya. "J-jadi ... karena Naomi itu masih anak magang, dia kan seharusnya nggak boleh ngerjain proyek sendirian. Tapi setelah ngobrol sama Naomi, ternyata Nadine yang ngasih tugas ini ke dia." Walaupun sedikit gelagapan, Leony berhasil menyampaikan poinnya tanpa berputar-putar.

Mendengar itu, Bara mengangkat alisnya dan mulai memperhatikan dengan lebih serius. "Kok Naomi nggak bilang ke saya kalau Nadine yang ngasih tugas itu ke dia?"

"K-kayaknya," tergagap-gagap, "kayaknya Naomi gugup dan takut pas bicara sama bapak, jadinya dia nggak sempat bicara. Saya nggak bermaksud menjatuhkan siapapun, tapi kalau boleh berpendapat, saya rasa Nadine perlu ditegur karena sering bertindak superior dan arogan sejak mengambil alih proyek Garden Rose," kata Leony, mencoba menjelaskan.

Ekspresi wajah Bara sontak berubah, dari yang tegas menjadi lebih menakutkan dan sinis."Apa yang bakal saya lakukan itu biar saya yang pikir sendiri. Kamu nggak perlu mendikte saya. Sebaiknya kamu fokus dengan pekerjaan kamu sendiri dan pastikan bahwa Naomi bisa menghasilkan sesuatu yang bagus di tangan kamu."

Sejujurnya, Leony merasa sangat jengkel dengan reaksi Bara, tetapi ia tahu bahwa membalas omongan tersebut hanya akan menambah masalah. "Maaf, pak. Saya hanya cuma ingin memastikan semuanya berjalan sesuai aturan," ucap Leony sungkan.

"Sekarang kamu boleh pulang. Saya masih ada kerjaan," kata Bara dengan nada tegas.

Leony mengangguk pelan, mencoba menahan emosinya. "Iya, pak. Terima kasih." Belum juga dua langkah, Leony berbalik badan lagi, "Pak."

"Hm?"

Jantungnya berdebar kencang. "Ini mungkin sedikit ... sedikit lancang," ia memberi penekanan pada kata 'sedikit', yang mana berhasil menarik perhatian Bara, "kalau boleh, besok jangan telepon saya ya, pak? Saya sudah ada janji sama orang dari lama. Saya mohon pak." memelas.

"Sepenting itu?" Salah satu alis Bara menukik.

"Sepenting itu. Saya mohon sekali, pak." Kedua telapak tangan Leony menyatu di depan dagu.

Balasas mata Bara sinis, pria itu pun berdecak lidah, "Saya juga nggak ada rencana mau menghubungi kamu besok. Saya sendiri ada acara."

YEEEESSSSS!!! Untung saja Leony tidak berteriak. Wanita muda itu pun membungkukkan tubuhnya beberapa kali—yang padahal tidak perlu—di hadapan Bara. "Terima kasih banyak, pak. Makasih. Semoga pekerjaannya cepat selesai." Kali ini intonasi suaranya naik beberapa oktaf, memperlihatkan rasa bersyukur tak terhingga. Sementara Bara hanya bisa meliriknya dengan apatis.

Ia pun meninggalkan ruang kerja Bara dengan suasana hati yang berbunga-bunga, bayangan sosok Keigo semakin mengental di kepalanya.


➽───────────────❥

to be continued.

The Art of Babygirlism ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang