Jangan lupa vote + comment! Selamat membaca :)
─
Mei 2023.
"Len, dipanggil Pak Bara ke kantornya."
Horor. Saking horor-nya, semua orang langsung menoleh ke arah Leony dengan tatapan menohok.
"Shit. Good luck, Len!" Seorang rekan langsung menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah kepada Leony. Bisik-bisik mulai semerbak di ruang kerja divisi perancang interior. Namun, bukan sesuatu yang negatif, melainkan doa-doa yang dipanjatkan agar nasib mereka tidak berakhir sama dengan pemanggilan Leony ke kantor kepala divisi.
Leony menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya secara perlahan lewat mulut, "Pak Bara ada nyebutin kenapa saya harus ke sana nggak, mbak Fitri?" tanya Leony kepada sang sekretaris kepala divisi.
"Nggak bilang, Len," ekspresi wajah Fitri menjadi kecut, "kayaknya nggak ada yang serius sih, Len. Tapi mood pak Bara hari ini lagi kurang bagus, jadi usahain ngomong yang baik-baik aja, ya!" bisiknya penuh kekhawatiran.
"Len, lambaikan tangan ke kamera kalau udah nggak sanggup, ya!"
"Semangat, Leony!"
Rekan-rekan kerja yang lain pun turut menunjukkan keprihatinan untuk nasib Leony selanjutnya. Namun, semua itu hanya bisa ditentukan apabila Leony sudah menghadap sang kepala divisi dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Leony beranjak pergi ke ruang kepala divisi dengan jantung yang berdebar tidak karuan. Selama perjalanan ke sana, Leony berusaha mengingat beberapa kemungkinan yang menjadi alasan pemanggilannya. Namun, sejauh Leony dapat menggali memori, tidak ada pekerjaan atau hal yang ganjil dalam urusan pekerjaan. Lantas, apa yang mengharuskan Leony menghadap langsung sang ketua divisi? Tidak melalui email atau telepon, tetapi percakapan langsung?
Isi kepala Leony sudah berantakan duluan.
Pintu ruangan diketuk tiga kali. Leony berdiri tegak dengan kedua telapak tangan yang saling terkepal di perut, "masuk!" Suara seorang pria dengan ambitus rendah menggema dari dalam. Leony menelan ludah, kemudian memberanikan diri untuk membuka pintu.
Leony tidak sempat melihat wajah sang kepala divisi, tidak juga berusaha untuk melihat sebagaimana ia tidak ingin menciptakan suasana yang lebih renggang dari yang sudah ada apabila mata mereka bertemu. Aldebaran, atau yang lebih akrab disapa Bara, sedang membaca suatu berkas ketika sosok yang dipanggil sibuk mencari posisi terbaik untuk berdiri di ruangan bak pengadilan tersebut. Sosoknya berdiri depan meja kerjanya yang tertata rapi dalam balutan jas khaki dan sepatu mengkilap. Selebihnya, Leony hanya berusaha untuk bertahan hidup setidaknya sampai ia bisa meninggalkan ruangan itu lagi.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Bara?" Leony berdiri, agak menyudut di ruangan karena tidak berani berhadapan lurus dengan tuan bergaya surai slickback tersebut.
Pertanyaan Leony tidak langsung digubris. Sebelumnya, Bara menghela napas dalam-dalam, lalu meletakkan berkas yang dibaca di atas meja. Begitu tubuh jangkungnya bergeser, nampak sebuah lempengan batu hitam persegi panjang berukir nama si penghuni ruangan: Aldebaran Ivander Danendra, kepala divisi rancang interior di Celestial Design. Membaca namanya saja sudah membuat Leony bergidik sekaligus bertanya-tanya apakah bosnya tersebut sering terjatuh sakit karena namanya yang terdengar berat. Namun, itu bukan kekhawatiran utama bagi Leony. Untuk saat ini, si nona sama sekali tidak bisa membaca raut wajah Bara. Hal itu membuat Leony semakin berkecamuk dalam diam.
"Len," merinding dangdut, "tiga minggu yang lalu kamu yang nerima proyek Garden Rose, kan? Yang perumahan baru di dekat Bintaro itu?"
"Iya, pak. Ada apa dengan proyeknya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Babygirlism ✔️ [TERBIT]
Romance"Kalau gitu kita buat perjanjian. Saya akan penuhi apa yang kamu butuhin, tapi kamu harus menjauh dari dia. Ngerti?" "Bapak ngancem saya?!" "Kenapa? Kamu pikir saya nggak bisa jadi sugar daddy buat kamu?" Perjalanan Leony mencari sosok pelarian di t...