VI. RAYUAN SUNDA KELAPA. [REVISI]

330 49 1
                                    

Hello lagi! Makasih yang sudah mau nyempetin baca dan ngasih feedback. Untuk chapter yang ini jangan lupa juga yaa :)


Nando. Bermula dari teman dekat SMP, kini menjadi patah hati terberat Leony. Seminggu setelah kembalinya Leony ke Indonesia, Nando datang untuk menemui Leony. Tidak hanya sekedar untuk bertegur sapa maupun menggali kenangan SMP, melainkan juga menjadi orang pertama yang membawa Leony berkeliling di Jakarta, menelusuri seluk-beluk kota metropolitan yang katanya padat dan sesak itu. Namun, terlepas dari kemacetan dan hutan beton, berjalan-jalan di kota Jakarta bersama orang yang tepat justru menjadikan semua problematika kota besar itu romantis.

Nahas, Nando juga menjadi alasan Leony merasakan kepedihan di kota kelahiran sendiri.

"Aku seneng banget kamu balik ke Jakarta, Len. Nggak sabar buat nunjukin semua hal yang baru di sini." Mungkin Leony yang dramatis, mungkin Leony yang berlebihan dalam menanggapi semua ini. Atau mungkin dia saja yang terlalu banyak berharap dari manusia.

Hanya ada senyum kebahagiaan di dalam foto pernikahan Nando. Wanita yang dinikahinya pun memiliki wajah bersinar, begitu cantik mengenakan gaun pengantin berwarna putih dan sasakan rambut ala Jawa di kepalanya. Semakin lama dilihat, semakin menciut rasa percaya diri Leony—semakin besar pula anggapan bahwa Nando memang lebih berhak bahagia bersama orang lain ketimbang dirinya yang menjual jiwa dan raga untuk mencari uang.

Lima menit sudah berlalu, Leony bergegas menghapus air matanya dan memasang topeng seakan-akan tidak ada yang terjadi. Ketika Leony kembali memasuki ruang rapat, yang tersisa hanyalah sosok Bara.

"Mmm, m-maaf, pak ... rapatnya sudah bubar?" terbata-bata.

"Len, duduk!"

Leony pikir harinya tidak akan berjalan lebih buruk lagi, ternyata semua itu baru permulaan dari sebuah malapetaka yang mungkin akan berpengaruh kepada perjalanan karirnya.

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Leony pun duduk di salah satu kursi rapat, menghadap ke jendela untuk menghindari tatapan langsung dengan sang bos.

"Jujur, saya nggak tahu masalah apa yang lagi kamu hadapi sekarang. Saya harap keluarga kamu baik-baik saja dan nggak ada di antara mereka yang jatuh sakit atau tertimpa musibah. Tapi," penekanan pada suara Bara sontak membuat bahu Leony merinding, "bukan berarti kamu bisa seenaknya ninggalin pekerjaan dan lepas tanggung jawab."

Tidak menjawab, Leony membungkam mulut sambil menundukkan kepala. Sama seperti satu minggu yang lalu.

"Saya nggak mau meng-invalidasi perasaan kamu, tapi semua orang yang kerja di sini juga punya masalah di dalam kehidupan pribadi masing-masing. Yang saya tuntut dari kamu adalah profesionalisme, nggak lebih. Kalau dalam rapat kayak gini aja kamu nggak bisa profesional, gimana kamu mau handle pekerjaan yang lainnya?"

Ya, Leony sadar bahwa yang dia lakukan adalah kecerobohan dan kelalaian. Leony terbawa oleh perasaan yang seharusnya tidak boleh ditampakkan ketika sudah menginjak ranah pekerjaan.

"Saya akan tutup mata untuk hari ini karena meeting hari ini mendadak, tapi ke depannya, tolong pikirin lagi baik-baik kalau kamu mau ninggalin ruang rapat di luar waktu yang diperbolehkan. Yang kamu lakukan itu nggak sopan dan nggak menghargai anggota tim yang lainnya. Jangan bikin malu CV kamu yang bawa-bawa nama sekolah di Swiss itu!"

Akhirnya Leony menganggukkan kepala, "iya, pak. Saya minta maaf." Leony menelan ludah, merasa ketakutan oleh kekesalan si bos.

Dalam detik-detik berikutnya, Bara melancarkan serangkaian kritik yang pedas, menyentil setiap kesalahan yang telah dilakukan oleh Leony. Kata-kata yang menusuk hati Leony, hampir membuatnya menangis lagi. Namun, tidak ada gunanya menangis karena semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

"All right, rapatnya sudah beres. Kamu boleh pulang."

"Terima kasih, pak. Kalau gitu saya pamit pulang dulu. Terima kasih untuk masukannya."

Leony pun meninggalkan kantor dengan langkah yang begitu cepat, namun alih-alih pulang, dia memutuskan untuk pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa—salah satu tempat yang menyimpan banyak kenangan akan Nando. Tempo kemudinya sedang, bisa berbahaya kalau kecepatannya bertambah, terutama dalam kondisi emosional yang sedang tidak baik-baik saja.

Saat Leony berjalan-jalan sendirian di Pelabuhan Sunda Kelapa, kenangan akan masa-masa bahagia bersama Nando membanjiri pikirannya. Sang nona menutup mata, membiarkan dirinya diangkut kembali ke sebuah momen yang membeku dalam ingatannya, sebuah kenangan yang terukir dalam hatinya.

•••

November 2022.

Sore hari yang hangat, dengan cahaya emas matahari terbenam yang melukis langit dengan warna oranye dan merah muda. Leony berdiri berpegangan tangan dengan Nando, dikelilingi oleh tiang-tiang tinggi dari kapal-kapal tua yang besar. Udara penuh dengan suara ombak yang lembut melambai di pelabuhan dan jeritan jauh burung camar.

Nando berpaling ke arah Leony, matanya penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. "Kalau kamu bosen di sini, kita bisa pergi ke tempat lain yang lebih seru. Mall atau bioskop," ujarnya, suaranya lembut dan penuh dengan emosi.

Leony tersenyum, hatinya berdebar-debar ketika teringat akan kenangan itu. "Siapa bilang bosan? Ini bagus banget tahu! Kayaknya aku cuma pernah ke sini sekali seumur hidup, ini kedua kalinya," jawab Leony, pandangannya tetap terpaku pada cakrawala, "yang sekarang justru lebih spesial."

Nando mendekapnya lebih erat, melingkarkan lengannya di sekitar pinggangnya, "kamu cantik banget," Nando berbisik, nafasnya hangat di telinganya.

Leony bersandar pada dekapannya, merasakan damai menyelimuti dirinya. Pipi merah merona. "Ya memang! Kalau nggak cantik nanti kamu nggak suka," jawaban tersebut sukses membuat Nando tergelitik untuk tertawa.

Mereka berdiri bersama dalam diam, menonton matahari terbenam semakin rendah, memancarkan kilau merah menyala di atas air. Pada saat itu keduanya dikelilingi oleh keindahan alam dan kehangatan cinta satu sama lain, Leony tahu bahwa dia sedang berada di tempat yang tepat.

Saat sinar matahari terakhir menghilang di balik cakrawala, Nando berpaling ke arah Leony, matanya berkilauan oleh cinta. "Aku beruntung banget punya kamu, Len," suaranya penuh dengan ketulusan.

Hati Leony hampir membludak oleh emosi saat dia menatap mata Nando, "iyaaa, I love you too, Nando!" Sang gadis menjawab penuh godaan, sekali lagi menghibur Nando dengan tingkahnya yang gemas.

"I love you most."

Seakan didorong oleh angin pantai, mereka berbagi ciuman lembut, mengikat cinta di tengah keindahan bersejarah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dan saat mereka berdiri bersama, terbuai dalam dekapan satu sama lain.

•••

Hari pernikahan Nando, 2023.

"Bullshit, anjir!" mengutuk, lalu terkekeh sarkas. Kepalanya refleks menggeleng ketika ingin menghapus ilusi kadaluarsa.

Leony berhenti berjalan sejenak, kemudian membuka ponselnya untuk melihat waktu. Kurang-lebih, ciuman itu berlangsung di jam serta lokasi yang sama. Memuakkan! Pandangan sang dara pun kembali kepada horizon membentang dan menyaksikan matahari yang lambat laun mulai tenggelam. Jakarta akan gelap, tetapi ada tempat di belahan Bumi lain yang akan terang-benderang. Mungkin sudah saatnya pula Leony membiarkan cerita bersama Nando tenggelam agar cerita lain bisa bersinar di dalam hidupnya.

Jarinya pun menyentuh lambang App Store pada layar ponsel, lalu mengetik, "METROPOLOVE."

"You better fix my whole life, you little shit!" mencaci maki layar ponselnya sendiri, Leony meletakkan banyak harapan kepada aplikasi skeptis yang baru saja diunduh di ponselnya.

Untuk pertama kali dalam seumur hidup, Leony menerjunkan diri ke dalam dunia kencan dalam jejaring.


➽───────────────❥

to be continued.

The Art of Babygirlism ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang