14 • Dia adalah Aku di Masa Lalu

60 21 2
                                    


📌Tandai typo revisi setelah end.
Langsung aja VOTE!

"Hati siapa yang gak hancur ngeliat orang yang udah deket sejak kecil ketawa bahagia bersama orang barunya?"
—Anna Srinavasha

Banyak orang bilang, masa kecil itu masa emas tanpa menanggung beban, masa yang hari-harinya menciptakan episode terbaik tanpa memikirkan problematika hidup. Di masa itulah kenangan-kenangan indah tertulis, meskipun sebagian orang tak merasakannya. Jika dulu terlibat konflik pertemanan yang cukup sengit, maka pada akhirnya berbaikan kembali dengan sendirinya dan masalah terlupakan begitu saja. Berbeda dengan masa remaja yang sulit meniru lagi kebiasaan dulu itu. Karena, perasaan yang dalam sudah ikut andil dalam pertemanan. Itu yang sedang Zein rasakan sekarang.

Laki-laki itu sekarang tengah bermain basket sendirian di lapangan. Beberapa kali melambungkan bola dan mengarahkannya masuk ke ring. Seragamnya basah berkeringat. Mungkin, murid lain memperhatikan dirinya benar-benar sedang berlatih dengan sangat fokus, tapi tidak dengan isi kepalanya yang seperti benang kusut. Anna terus memenuhi benaknya.

Untuk sekali dalam hidup, seseorang tidak harus berusaha bahagia. Ketika sepasang makhluk bersama, itu terjadi begitu saja. Memang benar, tidak ada pertemanan yang murni antara laki-laki dan perempuan, karena pasti salah satu di antaranya menaruh lebih perasaan. Sudah hampir 10 tahun Zein menyembunyikan perasaannya pada Anna. Pertemuannya di bangku yang sama ketika SD mampu mengubah hidup Zein yang pemurung.

Jangan salahin gue karena gue suka sama lo, Na. Semua ini salah lo karena punya semua yang gue suka. Hanya dari satu percakapan kecil kita hari itu, bisa mengubah segalanya. Sulit bagi gue buat berpura-pura bahwa kita hanya sehabat, padahal pada kenyataannya gue pengen lebih dari itu, batinnya.

Zein men-dribble bola dengan cepat, wajahnya berlumur keringat bak embun. Dia meloncat menembuskan bola pada ring. Dia lakukan secara berulang walau kadang bola itu tak berpihak pada ring. Dia mengingat percakapan dirinya bersama Anna ketika kelas 1 SD, yang mana Anna menghibur Zein yang menangis ingin didampingi mamanya dalam kelas.

"Mama kamu itu mau kerja, jadi gak bisa lama-lama di sekolah," kata Anna kecil berkepang dua, duduk bersebelahan dengan Zein.

"Kenapa? Emang gak boleh ditemenin Mama di sini?" tanya Zein kecil cemberut.

"Kata Kakakku, kelas satu itu udah gede. Gak boleh cengeng!"

"Aku gak cengeng, aku cuma pengen ada Mama di sampingku." Zein matanya berkaca-kaca dan mulutnya mulai melengkung ke bawah.

Anna kesal padanya. Dia pun menarik dasi Zein. "Ih, kelas satu itu udah gede, tau! Gak boleh ditemenin Mama! Aku aja deh sekarang pura-pura jadi Mama kamu, Zein!" geram Anna seolah-olah kakak yang sedang memarahi adiknya.

"Beneran? Tapi kamu gak mirip Mama. Aku gak mau punya mama baru yang masih kelas satu SD." Zein menggeleng.

"Ih, Zein!" Anna geram. "Ya, udah. Kita sahabatan aja sekarang, kalau ada apa-apa bilang ke aku. Jangan lagi cengeng gara-gara gak ditemenin Mama kamu!"

Zein tersenyum getir mengingatnya. Rasa kecewanya yang begitu dalam, dirinya enggan dekat-dekat dengan gadis yang bernama Anna Srinavasha. Perasaan itu sekarang sedang dia luapkan lewat bola basket.

Gue hampir berhasil ngungkapin perasaan gue ke lo, Na, tapi syukur itu gagal. Tuhan udah nunjukkin kelakuan busuk lo. Gue yakin lo bohongin keluarga lo juga. Fakta bahwa lo itu cewek murahan! lanjutnya dalam hati.

Zein melempar bola itu dengan kasar hingga terpantul dan mengenai seorang gadis di belakangnya yang baru saja tiba.

"Aduh!"

Zein terkejut bola itu kencang menghantam wajah cantik Oliv hingga terjatuh. Gadis itu menutupi wajahnya dan merintih. Cepat-cepat Zein menghampirinya.

"Maaf, Liv, gue gak tau lo ada di belakang. Sakit banget, ya? Sorry banget, ya!" ucapnya panik.

Oliv masih merintih dan belum menunjukkan kondisi wajahnya. Oliv pun semakin menunduk. Zein mendengar, perlahan gadis itu terisak-isak.

"Lo nangis?" Zein makin panik dan mencoba menyentuhnya.

Namun, tak lama kemudian Oliv menunjukkan wajahnya.

"Wleee!" Dia menjulurkan lidah padanya.

Zein tercengang. Seketika raut paniknya telah berubah menjadi datar dan sontak menjauh.

"Cieee, panik!" goda Oliv seraya bangun dan menahan tawa.

Zein jadi kikuk. "Te-tentu aja panik. Tadi itu pantulan bolanya kenceng. Lo yakin gapapa?" tanyanya serius.

Oliv menggeleng dan tersenyum. "Gapapa. Lo gak perlu minta maaf, Zein." Gadis itu berjalan mengambil bola dan menggenggamnya."Sebagai best girl, gue tertarik tantang lo, Zein." Dia pun menoleh. "Battle basket, yuk!" ajaknya menantang.

Cukup lama Zein terdiam. Dia merasa tertantang. Sepertinya menarik! "Oke, gue terima tantangan lo!" balas Zein menyeringai, berharap akan menang.

Dua remaja itu pun memulai battle basket satu lawan satu. Zein sebijak mungkin merebut bola itu dari Oliv. Dia tak menyangka dengan kemampuan siswi ter-eligible itu yang pandai mempertahankan bola. Sedikit kesalahan yang dilakukan Oliv, membuat Zein mendapatkan bola itu dan terus mencoba melemparnya ke ring. Oliv tertawa karena lemparan Zein malah memantul ke tiang. Gadis itu bersorang mengejek.

"Yah, payah! Kasian!" Oliv terus mengusili.

"Cih! Ini mah belum apa-apa kali!" tembal Zein.

🦋🥀🦋

Vhaisa berjalan ke arah Anna di balkon yang sedang berdiri sendirian sembari menopang dagu. Dia tahu Anna sedang sedih. Sedari tadi dari kejauhan, Anna masih tetap bertahan di posisinya. Setelah perdebatannya dengan Zein, Vhaisa menemani Anna makan di Kelas XI-MIPA-2, dan tak lama ditinggal sebentar untuk menyimpan kotak bekal di kelas XI-IPS-1, Anna sudah tidak berada di kelasnya. Sekarang, pelan-pelan Vhaisa mendekatinya.

"Anna," sapanya lemah lembut.

Sorot mata Vhaisa pun ikut mengaraapke apa yang sedang Anna lihat. Di bawah sana, di lapangan itu Zein dan Oliv begitu asyik bermain basket.

"Vhaisa ..., apa di sini aku yang salah? Semua yang terjadi salahku?" tanyanya lirih.

Dengan tegas Vhaisa menggeleng. Dia sudah tau kisah persahabatan Anna dan Zein yang sekarang tiba-tiba berada di tangga konflik. "Nggak, Na. Ini bukan salah kamu, kok," ucapnya.

"Liat, Zein seneng banget, kan, sama Oliv?"

Pertanyaan Anna sama sekali tidak Vhaisa jawab. Tangannya terus mengusap pelan lengan Anna.

"Hati siapa yang gak hancur ngeliat orang yang udah deket sejak kecil ketawa bahagia bersama orang barunya?"

Vhaisa tak menjawab lagi. Dia mengerti perasaan Anna sekarang. Vhaisa hanya bisa menghela napas panjang. Daripada Anna terus menyaksikan mereka yang mallah membuat hatinya sakit, Vhaisa berinisiatif untuk memperkenalkan Anna pada teman-temannya.

"Anna, daripada kamu sedih berlarut-larut, aku mau kenalin kamu sama temen-temen aku. Mau, ya?"

Anna pun menatapnya, lalu mengangguk. Dia menghormati usaha Vhaisa yang mencoba menghiburnya. Vhaisa pun membawa Anna ke perpustakaan. Ada 4 orang sedang duduk diskusi melingkar di lantai paling ujung rak.

"Assalamualaikum, guys! Aku ke sini bawa Anna!" katanya. Vhaisa mengajak Anna duduk bergabung. Keempat orang itu tersenyum hangat kepadanya sembari membalas salam.

Anna tersenyum kaku. Namun, ada satu orang yang dia kenal. Ada Caca si gemuk berkacamata di sana. Lalu, pandangannya mengarah ke seorang siswa yang senyumannya melekuk sangat manis dan lembut. Matanya teduh seperti memayungi hati Anna yang rapuh.

Syahrean Bhakti Andaru, batin Anna ketika melihat nama di seragamnya.

[To be continue]
🥀🦋🥀

A/n:
Buitenzorg, 28 Mei '24 | ©️tukangcerita_wrd

ANNAZEIN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang