23 • Sandaran Terakhir

43 13 6
                                    

📌Tandai typo, revisi setelah end.
Langsung VOTE!
Jangan lupa KOMEN-SHARE, ya!^^

🦋
"Sejauh dan seberat apa pun kecewamu, tolong jangan pernah marah sama Allah, ya? Karena sungguh, yang mengecewakan itu manusia."
-Vhaisa Nurussyifa Wicaksana
🦋

Kedatangan Anna dan Rean yang masih mengenakan seragam dan baju olahraga sekolah mengubah mimik Vhaisa yang semula sendu sayu, kini tersemat tarikan sudut bibir ke atas. Anna meraih tangan Vhaisa yang terangkat perlahan ingin menggenggam tangannya. Glen hanya diam tanpa ekspresi melihat itu di sisi kiri Vhaisa. Gadis bertubuh tinggi agak kurus itu tersenyum diiringi air mata yang selama ini tertahan. Anna baru bertemu Vhaisa kembali, dia sangat merindukannya.

"Anna ...," ucap Vhaisa menyambutnya, gadis itu lalu menatap laki-laki yang berdiri di sebelah Anna yang duduk, "Rean ....," lanjutnya.

"Vhaisa, gimana keadaan kamu sekarang? Rean bilang, tengah malam tadi kamu kritis, aku khawatir." Anna menggenggam tangannya yang hangat.

Vhaisa merasa tak nyaman menggunakan alat bantu napasnya. Dia membuka paksa, dan Glen melarangnya. Namun, gadis itu ngotot ingin melepasnya, merasa dia sudah bisa bernapas tanpa alat bantu itu. Seorang perawat datang untuk melepas benda itu dari Vhaisa atas izin dari dokter. Vhaisa pelan-pelan bangun, membenarkan posisi duduknya.

Napasnya agak masih terengah-engah. Dia mengangguk pelan. "Alhamdulillah, aku baik, kok, Na. Kamu gak usah khawatir. Aku yakin, kamu pasti selalu berdoa untuk kesembuhanku. Mungkin itulah yang membuatku cepat melewati masa kritis," katanya. Gadis itu menatap wajah Anna dengan dalam.

"Alhamdulillah, syukurlah. Aku senang mendengarnya, dan aku percaya kamu itu kuat, Vhai," balas Anna tersenyum haru seraya menyeka air matanya. Namun, senyum itu luntur dalam waktu sekejap, Anna menunduk menempelkan dahinya ke tangan Vhaisa. "Maafin, aku, ya Vhai, aku gak sengaja. Semua ini gara-gara aku yang gak bisa kendaliin diriku sendiri. Aku nyesel, Vhai, gara-gara aku kamu jadi jatuh dari tangga itu, maafin aku ...," mohonnya meminta maaf.

Vhaisa menarik menepis tangannya dari genggaman Anna. Gadis itu terus menggeleng dalam kondisi lemahnya. Tangannya tergerak mengusap air mata Anna. "Na ... ini bukan salah kamu. Ini udah takdir, ini musibah, Na. Aku sama sekali gak nyalahin kamu, aku yang salah karena gak hati-hati menghadapi kamu waktu trauma itu kambuh. Jangan siksa diri kamu dengan perasaan rasa bersalah itu, ya! Aku khawatir sama kamu, Na."

Kalimatnya membuat Glen terenyuh, dan Anna menggeleng membantahnya. Kenapa Vhaisa malah mengkhawatirkan dirinya? Bukankah yang sedang berjuang atas kesehatannya adalah Vhaisa? Anna tak bisa berkata-kata. Rean menatap sendu ke arah Vhaisa yang jarinya terus membersihkan air mata Anna. Begitu juga Anna yang menyeka air mata Vhaisa.

Vhaisa, sikap lo ini yang bikin gue kagum sama lo. Di saat lo sedang bertaruh nyawa, tapi lo lebih memikirkan nyawa yang lain. Padahal, nyawa itu gak ada hubungan darah sama sekali sama lo, batin Rean.

"Papa," panggil Vhaisa menatapnya dengan suara lirih.

"Iya, kenapa, Sayang?" Glen mempelihatkan kekhawatirannya, dia selalu sigap ketika mendengar Vhaisa memanggilnya.

"Pa, aku mau bicara sama Anna dan Rean. Aku mohon Papa keluar dulu, boleh, ya?"

Glen terdiam agak lama. Berat meninggalkan Vhaisa dan membiarkannya berbicara dengan Anna dan Rean tanpanya. Tapi, tak lama kemudian Glen mengangguk. Dia pun keluar dari ruang rawat itu.

"Na, aku kangeeen ... banget sama kamu," kata Vhaisa, senyumannya begitu lepas di samping wajahnya yang pucat.

"Aku juga, Vhai," balas Anna tersenyum juga. Dia bersyukur diberi kesempatan oleh Glen untuk menjenguknya.

ANNAZEIN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang