21 • Dia Menyebutnya Malaikat Kecil

38 17 0
                                    

📌Tandai typo, revisi setelah end.
Langsung VOTE aja, jangan lupa KOMEN ya plissseu🥺⭐

*
"Lo harus bisa ubah rasa sedih itu jadi senyum tanda syukur, temukan kebahagiaan di dalamnya, meskipun kebahagiaan itu gak bisa menutupi sepenuhnya kesedihan lo."
—Syahrean Bhakti Andaru
*

Sejak beberapa hari setelah kejadian itu, akibat ulah dirinya yang membuat Vhaisa hingga saat ini masih terbaring di rumah sakit, Anna menjadi lebih hampa dan terpuruk. Anna merasa kehilangan sebagian dari hidupnya lagi. Rasa bersalahnya pada Vhaisa terus menghantui pikiran dan hatinya. Dua terus lebih memikirkan kondisi Vhaisa dibandingkan dirinya sendiri.

Langkahnya berat setiap menginjakkan kaki ke sekolah. Segala harapan perlahan pupus ditelan kebohongan dari manusia-manusia yang senang melihat dirinya terpuruk. Anna hanya bisa diam tanpa pembelaan. Dia hanya sendirian menghadapi kejamnya fitnah yang membanting dirinya.

Terkadang, Anna bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia hanya diam? Kenape tidak melawan? Sayang, gadis itu hanya menentawakan dirinya yang pilu di cermin. Bukankah sudah dipastikan bahwa semua orang di sekolah atau pun du asrama lebih mempercayai perkataan dan bukti palsu dari Oliv? Si siswi paling eligible dan model terbaik sekolah yang dikenal ramah dan penyayang oleh mereka, tapi nyatanya itu hanya topeng pemikatnya?

"Anna!" sapa Caca si gemuk berkacamata dari kejauhan tersenyum berjalan ke arahnya.

Anna membalas tipis senyuman itu seraya melambaikan tangan. Namun, beberapa detik setelahnya, langkah itu terhenti. Aidhen dan Melitha datang dan langsung menarik Caca pergi.

"Ih, kenapa? Gue kan sekelas sama dia?" Caca cemberut.

"Lo pilih mana, cewek gak bener itu apa gue sama Aid?" Melitha memberikan tatapannya yang menusuk.

Caca pun tertunduk. "Gu-gue pilih kalian," jawabnya.

"Makanya jangan deket-deket dia! Main aja dulu ke kelas kita, bel masuk masih lama," tambah Aidhen yanh suaranya sudah terdengar menjauh.

Anna tersenyum kecut mendengar percakapan mereka. Tentu saja Caca akan memilih Aidhen dan Melitha. Anna harus sadar diri bahwa dirinya hanya pendatang baru di sekolah ini. Ya, tentu saja Caca akan memilih mereka. Sekarang Anna menunduk. Itulah cara Anna menghindari tatapan sinis dari sekitar. Gadis itu mempercepat langkahnya.

Anna mematung ketika sampai di pintu kelas. Keberadaan Hito dan Afgan menutupi jalan masuk kelas. Dua laki-laki itu sedang tertawa lepas membicarakan sesuatu. Entah tidak sadar atau memang pura-pura tak melihat keberadaan Anna, Hito dan Afgan malah makin menghalanginya.

Anna pun bersuara. "Permisi, gue mau lewat!" ujarnya geram.

Hito, dia pura-pura kaget, memegangi dadanya. "Eh, ada elo, Na. Iya, ada apa, ya?" tanyanya.

"Permisi, gue mau masuk!" Anna mencoba menerobos lewat sedikit celah.

Afgan dan Hito malah semakin menguji kesabarannya. Mereka menghalanginya lagi. Anna mencoba lewat celah sebelahnya, lagi-lagi dua laki-laki itu mengunci rapat lawang pintu itu dengan tubuhnya.

Anna mengembuskan napas berat. "Hito, Afgan, gue mau masuk!" ucapnya tegas.

"Hah? Masuk?" Hito menempelkan tangannya di telinga. "Apa? Mau masuk? Masuk ke mana? Emang kelas lo di sini, ya? Kok, gua baru tau," katanya ngeyel.

"Iya, ya, To. Gue juga baru tau." Afgan menyetujui sambil tersenyum mengejek.

"Gua kira lo cuma bisa masukin benda itu ke alat bawah di tubuh lo," sindir Hito menahan tawa.

ANNAZEIN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang