12 • | Kita Seperti Medan Magnet?

57 21 0
                                    

📌Tandai typo, revisi setelah end.
Langsung VOTE yok!

"Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu kutub utara dan kutub selatan yang selalu berpasangan. Apakah kita sama seperti magnet itu juga?"
—Anna Srinavasha

Tungkai cantiknya melangkah di belakang sosok tinggi agak gemuk yang di depannya. Di sepanjang koridor mengikuti guru yang akan menjadi walikelasnya, Anna bersedekap memeluk dirinya sendiri. Vhaisa sudah pergi ke kelasnya, yaitu XI-IPS-1. Bayangan tentang pertemuannya dengan Zein pagi tadi, Anna tak bisa berhenti memikirkannya. Gadis itu terkesiap setelah Pak Tamrin memanggilnya beberapa kali.

"Ya, ke-kenapa, Pak?"

Pak Tamrin menghela napas. "Loh, harusnya saya yang tanya, kamu kenapa?"

"Oh? Nggak, Pak, gapapa." Anna menggeleng yakin. Dia baru sadar, ternyata dirinya dan Pak Tamrin sudah berada di dekat pintu Kelas XI-MIPA-2.

"Baiklah. Apa kamu sudah siap?" tanyanya. Sebuah kacamata bertengger di hidungnya.

Anna mengangguk. "Siap, Pak."

"Baiklah, ayo masuk!"

Mereka pun masuk dan disambut dengan tatapan yang bertanya-tanya. Ada juga yang terkejut melihat Anna, dan berasumsi Anna adalah murid baru. Sebisa mungkin Anna menunjukkan senyumnya yang manis meski berat ketika tahu bahwa Zein justru memalingkan muka. Hampir siswa dan siswi di kelas itu terpesona dengan kecantikan Anna.

Pak Tamrin mengumumkan kedatangannya bersama Anna ke kelas itu. Anna akan bergabung di Kelas XI-MIPA-2. Pak Tamrin pun mempersilakan Anna memperkenalkan diri.

Anna menarik napas dalam-dalam dan sekejap memejamkan mata. "Halo! Salam kenal, nama saya Anna Srinavasha. Saya penerima beasiswa unggulan tahun ini, dan sebelumnya saya bersekolah di SMA Wilyacitra."

Oliv terkejut. Apa?! SMA Wilyacitra? Itu, kan, sekolah Zein yang dulu, batinnya. Di meja paling depan, Oliv mengernyit dan menoleh ke arah Zein di jajaran kanan barisan ketiga. Lelaki itu masih memalingkan muka.

"Semoga kita bisa berteman dengan baik," katanya dengan santun. Senyumannya masih bertahan.

"Hai, Anna!" sapa siswi yang berbulu mata lentik, senyumannya manis.

"Salken, Anna! Gue Afgan!"

"Gua Chiko!"

"Gua Hito. Deket gue aja sini duduknya, Anna, gapapa sini," tawar siswa berkulit agak gelap itu. Dia menoleh ke temannya yang di belakang. "Eh, Jil, lo pindah ke bangku kosong di belakang sana!" usirnya.

Plak!

Fajril memukulnya dengan buku. "Berani ngusir gua, lu gua sunatin lagi!"

"Ampun bang jago!" Hito mendengus kesal, mengusap-usap kepalanya.

Ulah dua siswa itu menjadi sorakan dan bahan tawa para siswa lain. Tapi, Anna tak menikmati hal yang menurut anak-anak lainnya lucu itu.

"Cukup! Saya gak rela Anna duduk di deket kamu, Hito," kata Pak Tamrin, menekankan.

"Huuuu!" sorak yang lainnya pada Hito. Dia jadi kikuk sendiri.

"Anna, silakan kamu duduk di bangku yang tersedia," ujar Pak Tamrin menyilakannya.

Anna pun berjalan menuju kursi yang masih kosong paling belakang. Seluruh murid duduk sendiri-sendiri sesuai keadaan kursi yang hanya cukup untuk satu orang. Pandangan Anna tak lepas dari Zein, meski laki-laki itu enggan membalas tatapannya. Ada getaran yang Anna rasakan di hatinya ketika sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata milik Zein.

ANNAZEIN (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang