Happy Reading!
Janlup tinggalin jejak!!•
Rhea mengedarkan pandangannya, menatap reruntuhan rumah-rumah warga yang hancur akibat serangan dari Kerajaan Terranova.
Dirinya berada di dalam kereta kuda, kebetulan kediaman Baron Fredrin terletak tidak terlalu jauh dari alun-alun kota.
Untung saja, jalan yang dilalui oleh Rhea telah dibersihkan, sehingga tidak menghambat perjalanannya. Rhea merasa iba terhadap warga yang rumahnya hancur.
Satu jam kemudian, Rhea tiba di tujuan dengan selamat. Ia turun dari kereta dibantu oleh sang kusir, satu-satunya pengawal yang ia bawa.
Kepala pelayan di kediaman Baron Fredrin, James, menyambut Rhea dengan senyuman hangat. James membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat.
“Selamat datang, Duchess,” sambut James.
“Terimakasih, paman. Emm di mana Serena dan Ayah?” Rhea mengedarkan pandangannya, namun tak melihat tanda-tanda sang pemilik kediaman datang untuk menyambutnya.
“Baron Fredrin sedang berada di istana kerajaan, sedangkan nona Serena sedang menyiram bunga di taman belakang,” jawab James dengan sopan.
Rhea tersenyum. “Terimakasih, paman James,” ujarnya.
Rhea mengangkat sedikit roknya, kemudian berlari menuju taman belakang. Terlihat Serena sedang menyiram bunga sambil bersenandung.
Sebuah ide jahil tiba-tiba terlintas di benaknya. Rhea berjalan mengendap-endap, ia mendekati Serena dari belakang. Lalu...
Dor!
Serena terperanjat kaget, gembor yang ia pegang terlempar ke sembarang arah.
Serena memanyunkan bibirnya, membuat Rhea tergelak.
Rhea membiarkan tawanya memenuhi udara taman, dengan kepala yang melambung ke langit, matanya memancarkan cahaya karena keceriaan yang melimpah. Senyumnya merekah, mengungkapkan keindahan deretan gigi putih yang bersinar, sementara tangannya berpangku di perut yang terasa sakit karena tertawa berlebihan.
“Sudah selesai tertawanya?” tanya Serena, wajahnya semakin cemberut.
Rhea meredakan tawanya. “Sudah, kau jangan cemberut seperti itu, wajahmu menjadi semakin jelek.”
Serena membulatkan matanya. “Kau mengejekku?” tanya Serena dengan nada tak terima.
Rhea,“Tidak, tidak. Aku hanya bercanda,” ujarnya sembari mengunyel-unyel pipi Serena.
“Kemarilah, aku akan menunjukkan sesuatu untukmu.”
Serena menggenggam tangan Rhea, membawa gadis itu menuju pohon besar yang berdiri anggun di tepi kebun.
Hei! Sejak kapan ada pohon di sana?
"Woah, sejak kapan ada pohon di situ?" tanya Rhea dengan mata yang melebar, baru menyadari kehadiran sebuah pohon yang kokoh dan megah di kejauhan. "Mengapa aku tidak pernah memperhatikan keberadaannya sebelumnya?”
"Matamu sudah rabun, ya? Sayang sekali, padahal usiamu masih muda," ujar Serena sambil menggelengkan kepala dengan sedikit senyum di bibirnya.
Mata Rhea melotot tajam. "Kau mengejekku?" tanyanya dengan nada tidak terima.
Serena menggeleng polos, lalu tersenyum manis. "Tidak, tidak. Aku hanya bercanda," ujarnya sambil mencubit pipi orang di depannya dengan lembut.
Rhea menatap manusia didepannya dengan tatapan horor. Sejak kapan Serena-nya yang lugu dan polos ini, pandai mengejekku?
“Rasah mbaten.”
Rhea terkejut, dari mana Serena tahu kata-kata itu? Yang Rhea tahu, kata tersebut berasal dari daerah Jawa. Ah, Rhea ingat! Kata tersebut sering diucapkan oleh Bu Lek Wiwik di sinetron "Amanah Wali".
"Lo siapa?" tanya Rhea dengan penuh intimidasi, matanya menatap tajam ke arah lawan bicaranya.
“Lah, lo juga siapa?” tanya Serena.
“Malah balik nanya, lo transmigrasi juga ya?”
“Iya nih, mayan lah masuk tubuh putri bangsawan.”
Rhea mengulurkan tangannya. “Kenalin gue Rhea, anak baik, imut serta rajin menabung. Mak gue Rani, bapak gue dah mati.”
“Gelap anying gelap, heh tunggu, lo anaknya tante Rani? Gue Nesha tetangga nenek lo,” ungkap Serena.
“Akhirnya gue nemu teman seperjuangan. Kok lo bisa disini?” tanya Rhea, penuh selidik.
“Duduk dulu, yakali cerita sambil berdiri.” Serena menarik lengan Rhea, membawanya untuk duduk di bawah pohon rindang.
Serena mulai bercerita, berawal dari dirinya yang sedang melayat di rumah nenek Rhea. Dia ikut bersedih mendengar bahwa cucu dari tetangganya meninggal.
Setelah diselidiki, warga mengatakan bahwa Rhea terpeleset kulit pisang di gudang. Serena yang penasaran, mendekat ke arah TKP.
Tapi, ketika ia mendekati tempat kejadian, dia melihat sebuah kristal berwarna hijau yang memancarkan keindahan yang menawan. Begitu ujung jari Serena menyentuh permukaannya, tanpa disangka, dia terseret dalam sebuah petualangan di dunia lain, menjelma sebagai seorang putri bangsawan yang anggun.
Rhea manggut-manggut. “Jadi, gue dah metong?”
“Udah, mana matinya konyol lagi.”
Rhea mengangkat pandangannya ke langit, merasakan pesona warna biru yang memukau, tanpa satu pun jejak awan yang mengganggu.
Ia menerawang, membiarkan bayangan ekspresi sedih di wajah Mamanya, saat melihat anak kesayangannya mati.
Melihat Rhea yang tengah memandang ke atas dengan penuh kekaguman, Serena ikut merenungkan keindahan langit yang sama.
Rhea menundukkan kepalanya, merasa terhimpit oleh kesedihan yang mendalam. "Pasti mama sedih, liat anak kesayangannya mati," ujarnya dengan suara yang terdengar penuh empati.
Serena menoleh ke samping, ia mencebikkan bibirnya, mendengar ucapan penuh percaya diri dari gadis di sampingnya.
“Nggak anjir, mak lo lagi kesenengan ngitung duit, hasil layatan warga,” ungkap Serena.
Rhea mendesis pelan, mendengar ungkapan jujur Serena.
“Sialan, dasar mak durhaka,” cibir Rhea.
Bersambung...
30 Mei 2024
Haloo, apa kabar nieh?
Ada yg mau disampein buat,
Rhea?
Arthur?
Serena?
Nata?komen ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Melintasi Garis Waktu (On Going)
FantasyFOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA! Rhea Dhaneswari gadis pengangguran yang hobinya rebahan. Tiba-tiba masuk ke dalam novel yang dibacanya semalam? Bahkan Rhea masuk ke dalam tubuh istri dari pahlawan perang, yang ditakdirkan akan mati dengan tr...