E M P A T P U L U H T I G A

2.4K 147 31
                                    

Bantu revisi yaw 🤍🖤🌖

Di antara kepungan awan tipis serta surya yang menyengat hangat, dua pria berbebda generasi tengah bercengkrama selayaknya seorang pria, tanpa urat, tanpa otot. Hanya saja tatapan mata tajam keduanya tak bisa melembut sedikitpun. Daren masih mempertahankan wajah angkuh serta aura mendominasi yang tak ingin luntur, sedangkan Skala masih dengan wajah datar dengan pengendalian atmosfer yang tiada banding.

Bahkan Alana yang biasa menjadi objek ajang pamer di depan anaknya pun tidak diperkenankan menghadiri ruang kerja ini. Hanya tersisa ayah dan satu anak beserta tumpukan berkas serta matahari sore yang begitu hangat. Asap tipis mengepul lembut di atas cangkir penuh kafein, manis bercampur pahit ketika melewati lidah.

"Kamu mau nikahin Gaia?" Sejujurnya itu adalah kalimat pertama yang Skala keluarkan meski sudah belasan menit mereka duduk di ruangan yang sama. Ketidak dekatan mereka akhir-akhir ini membuat suasana akward. Tidak ada wajah tengil Daren yang selalu membuatnya emosi justru membuat Skala bingung hendak mulai dari mana.

Siang tadi, lebih tepatnya ketika makan siang ia langsung mendapat laporan dari anak buahnya, mengatakan jika putra tunggalnya itu beberapa kali menghubungi WO ternama dan berkonsultasi sendirian. Daren yang biasa anti ribet dan gemar menyuruh orang untuk menyelesaikan hal-hal merepotkan tiba-tiba terjun langsung ke dalam rumitnya persiapan pernikahan. Pantas saja saldo rekening milik Daren yang masih dipantau Skala kerap berkurang dalam jumlah besar.

"Iya, aku mau dia seutuhnya." Dari suara tegas saat pengucapan, Skala paham anaknya sedang tidak bermain-main.

Ada sedikit rasa tidak terima ketika buah hati yang dahulu selalu menjadikannya saingan kini hendak mempersiapkan pernikahan. Umur Daren memang sudah legal apabila memutuskan untuk menikah, namun masih tergolong muda jika menggelar hubungan serius. Memberi saran untuk menunggu kuliah putranya selesai  S1 juga bukan keputusan yang baik, mengingat Daren yang tak pernah mendengar perkataan siapapun ketika sudah mengambil keputusan.

"Menikah bukan cuma bisa sama Gaia selamanya, tapi juga siap menanggung banyak masalah kedepannya." Skala sesekali melirik jam tangan bermerek ternama yang terus berdetak. Ia tidak memiliki banyak waktu, ada berkas-berkas penting yang perlu dibacanya seletah ini.

Cangkir putih tulang itu masih tersisa setengah setelah diteguk dua kali oleh Skala tanpa meniupnya terlebih dahulu. "Daddy sebenarnya nggak setuju kalau kamu sama Gaia. Dia bukan perempuan dari keluarga terpandang. Citra keluarga kita sudah retak sejak kamu masuk penjara, ditambah berita kedekatan kamu sama anak korban pemerkosaan, sekarang kamu mau menikahinya. Kita ini punya perusahaan cukup besar, Daren. Reputasi keluarga sangat berpengaruh. Berita kecil seperti kamu ketahuan merokok di tempat umum saja sudah bisa menurunkan penjualan." Skala menghela napas berat. Jemari panjangnya memijat pangkal hidung, dengan niatan membantu meringankan rasa pening yang kerap hadir.

"Aku tetap nikahin Gaia. Aku nggak butuh restu siapapun."

"Iya, saya juga sudah menduga kamu akan bilang begitu." Skala kembali melirik jam tangan. Sebelum asistennya menelpon untuk mengingatkan jadwal, Skala lebih dulu mengakhiri pembicaraan dengan putranya yang tidak akan pernah berujung.

Kepribadian Daren yang keras kepala tidak mudah untuk diberikan masukan. Selama apa ya g dianggapnya benar pasti akan dilakukan. Tidak peduli seberapa banyak orang menentang. Skala menyesap kopi terakhirnya. Ia lantas pergi setelah menepuk pundak putranya. "Kali ini tolong jangan kecewakan Daddy. Jangan buat orang menderita lagi."

Daren hanya bergeming, tidak menanggapi perkataan Skala meski sejujurnya ia tersinggung. Siapa pula yang ingin membuat orang menederita? Hidup dengan pengendalin emosi yang lemah bukanlah keinginannya.

Darenio [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang