𝚌𝚑𝚊𝚙𝚝𝚎𝚛 𝟸𝟾

486 56 2
                                        

☂𝑎𝑤𝑎𝑙𝑛𝑦𝑎 ..𝑎𝑘𝑢 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑟𝑎𝑝
𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 ℎ𝑎𝑡𝑖𝑘𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑟𝑢𝑝𝑎𝑛𝑦𝑎, 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖
𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑔𝑖
ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑚𝑝𝑎
—𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑎𝑘𝑢 𝑏𝑖𝑠𝑎 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝?
𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛

—𝔸𝕟𝕘𝕖𝕃❜𝕤 𝕋𝕖𝕒𝕣𝕤—

      Napas memburu dengan tangan bergetar ia memainkan tuts yang terdengar  sumbang. Jaemin salah memainkan nada di bait terakhir. Rangkaian dari dengungan Mozart tak lagi mampu menidurkan si pria iblis.

Tuts berderet yang berada di tengah berbunyi berbarengan. Siapapun bisa tersentak dari tidur mendengarnya, begitu pula Jeno.

Pria yang merasa terusik itu bangun dari ranjang empuknya. Menanggalkan kehangatan yang sebelumnya memeluk dalam damai. Berganti mengikuti naluri pada pria manis yang terengah dengan napas pendek-pendek.

Kepalanya tergeletak menindih jemari diatas tuts menyebabkan nada berbunyi seperti lantunan kematian. Wajah memerah sempurna. Suhu tubuhnya meninggi.

Berjarak beberapa langkah didekatnya, jendela besar tanpa tirai memperlihatkan pemandangan hutan yang kelam dan suara angin yang riuh. Jeno berpikir berulang kali untuk sesuatu yang sangat berat.


“Hanya kali ini.” Ucapnya bermonolog yang entah apa artinya hanya dia yang tau.





      Di pagi hari yang masih abu-abu, Jaemin hanya mampu membuka mata dengan berat. Tidak tau itu benar terjadi ataukah hanya mimpi, dia merasakan ada seseorang yang menyuapinya juga meminumkan obat.

Kepala yang berdenyut dan mata memburam memberi keraguan apa yang dirasakan serta yang ia lihat.

Mungkin saja itu Mark?

Sofa yang biasa terasa agak keras dengan beberapa bagian mengganjal kini tak dapat ia rasakan lagi. Jaemin merasa seperti tidur diatas awan dengan beralas kain sutra.

Sangat lembut.

Baik tempat tidur, maupun perlakuan orang yang merawatnya ini.

Jaemin tidak ingat Mark bisa sehati-hati ini, yang mana dia bahkan tidak mampu merawat jari kaki yang terpotong dengan baik dan benar.

Apa Mark sudah terlatih untuk merawat orang? Tak dipungkiri setiap kali dia disiksa hanya Mark yang mau mengobatinya walaupun asal-asalan.








      Mark tersenyum.

Mengintip dari celah pintu yang tadi terbuka saat Jeno membawa makanan.

Tak ingin mengganggu, akhirnya pria beralis camar itu menuruni tangga ke lantai satu dan duduk di kursi bar dengan santai dekat pantry.

𝙰𝚗𝚐𝚎𝙻'𝚜 𝚃𝚎𝚊𝚛𝚜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang