Chapter 1 : Jurusan

186 68 44
                                    

“Nanti, mau pilih jurusan apa?” tanya Mai dengan segenap rasa penasaran sembari mengotak-atik laptop.

“Kedokteran,” jawab gadis itu tanpa ada keraguan sedikit pun.

Mai mendongak, menatap lekat wajah sahabatnya. “Yakin? Peluang untuk lolosnya kecil, loh.”

Brie membalas menatap sang sahabat. Senyuman terlukis pada paras anggunnya. Gigi gingsul tergambar di wajahnya. “Yakin,” sahut Brie seraya mengangguk yakin.

Mendengar tutur Brie demikian, gadis yang kini duduk di sofa itu terdiam menunduk. Tidak ada senyum hari ini dari Mai. Mengapa? Apa yang sedang terjadi?

Gadis 18 tahun itu sedang sibuk menatap layar ponsel. Selang beberapa detik, dirinya baru sadar. “Mai?”

“Nih, dengerin baik-baik. Di setiap kesulitan akan selalu ada peluang untuk kamu. Apa pun dirimu, jadilah versi yang terbaik dari dalam diri kamu. Kesempurnaan ditemukan ketika bisa menerima ketidaksempurnaan. Jangan biarkan rasa takut menentukan nasibmu," ujar Brie mencoba meyakinkan Mai kalau dirinya bisa.

***

Sore itu, Brie dan Mai tampak sedang asyik berbincang—membicarakan topik yang sepertinya begitu penting. Mai sedang sibuk menatap lekat wajah ponsel sembari duduk santai, sementara Brie menggigit bibir bawahnya karena terlalu gugup. Tangan dan kakinya panas dingin. Bagaimana kalau dirinya tidak mendapatkan jurusan pilihan pertama? Atau mungkin, ditolak di universitas negeri? Ah, bising sekali kepala ini. Gadis itu mendongak ke arah jarum jam. Aspirasinya untuk hari ini adalah lulus universitas negeri dengan pilihan pertama.

Gadis itu kembali menatap sang sahabat. “Gimana? Dapet biru?” Brie bertanya. Mai yang sedang menatap wajah ponsel pun turut mendongak.
Gadis dengan balutan outfit kece dengan warna kesukaannya, yaitu warna hijau muda, membalas dengan penuh sukacita.

“Alhamdulillah!” teriak Mai seraya bangkit dari sofa. Ia langsung jingkrak-jingkrak kegirangan. Sungguh, dirinya tidak percaya akan berhasil. Netra mereka berbinar. Gadis itu pun langsung memeluk Brie. Sembari melontarkan kata terima kasih untuk beberapa hari yang lalu. Mendengar hal tersebut, Brie turut bangga dengan sang sahabat. Senyuman terlukis indah di wajahnya.

“Kamu kenapa?”

Dengan wajah masamnya, Brie menjawab, “Gak dapet pilihan pertama.”

It's okay, Brie. Mungkin ini yang terbaik untuk kamu. Siapa tau kamu nantinya sukses dari jurusan yang Allah Swt. pilih ini. Kita gak tau, 'kan? Aku aja pengin masuk Psikolog, tapi Allah Swt. berkehendak lain.” Mai berusaha keras menenangkan sahabatnya sembari mengusap pelan punggung gadis malang itu.

Helaan napas terdengar dari mulut Brie, meski kepalanya mengangguk—menyetujui kalimat yang dilontarkan oleh Mai, tetapi hatinya berkata lain. Brie masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia gagal mendapatkan jurusan impiannya. Rasa kecewa terus menyelimuti, apalagi dirinya sudah berusaha mati-matian untuk meraih jurusan tersebut, tetapi dunia seakan tidak adil untuknya. Brie menatap lekat layar ponselnya sembari membaca postingan Tiktok. “Postingan apa lagi, nih? Kok, lewat beranda?”

“Percayalah, dari setiap cobaan ini, pasti ada hikmahnya. Allah Swt. tau seberapa kuat kamu sehingga Ia memutuskan memberi cobaan ini kepadamu. Aku tau kamu sosok yang tangguh. Cobaan seperti ini pasti bisa kamu lalui.”

Lalu, ujung jempolnya kembali menggeser postingan lain. Muncul video baru yang masih berkaitan dengan suasana hati Brie saat ini.

“Astagfirullah, apa lagi ini?”

“Sejatinya dalam hidup, kita tidak mungkin bisa sepenuhnya lepas dari masalah. Satu masalah selesai, maka bersiaplah dengan masalah lainnya yang bisa lebih ringan dan bisa lebih berat.”

Loveless, Siapa Takut? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang