Chapter 7 : Mencari Seseorang

61 44 11
                                    

Part telah dihapus
untuk keperluan penerbitan!🙏

‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙

“Maaf, Bu. Kira-kira sudah berapa hari Beliau tidak berada di rumah?”

“Sekitar 1 minggu.”

Mereka pun mengangguk dan pergi ke warung nasi, tempatnya tidak jauh dari masjid. Brie melamun, sedangkan Mai fokus menyantap makanannya. Mungkin karena gratis?

Sebelum mereka pergi. Gadis dengan postur tubuh 160 cm itu sudah berjanji dengan sang sahabat. Jika dirinya akan mentraktir makan siang. Mendengar hal itu, Mai langsung saja menyetujuinya.

“Rezeki tidak boleh ditolak,”  ujar Mai.
Sebenarnya, jika ditraktir atau tidak pun, Mai tetap ikhlas membantu Brie untuk bertemu Ustazah. Biar ketularan dapat pahala. Lamunan pun seketika sirna. “Mai, aku pengin jadi hafiz Qur’an.”

Mai yang sedari tadi menatap makanan pun mendongak. “Masyaallah,” balas Mai, diikuti tepuk tangannya. Brie menatap makanan yang ada di hadapan. "Mai?” Alis Brie terlihat hampir menyatu. Ekspresi mukanya tampak keheranan. “Makananmu mana?”

Mai terkekeh seraya menggaruk jidatnya yang tidak gatal. “Udah ludes. Ditelan perut, Brie.” Brie pun juga ikut tertawa. Ia menatap ada satu porsi makanan di hadapannya ini. Gadis itu memberikannya kepada sang sahabat. Seraya berkata, “Mau nambah, gak?” tawar gadis itu.

Dengan senang hati, Mai menerima. Brie memang memesan makanan langsung dua tadi. Satu porsi sudah disantap setengah olehnya. Satunya lagi masih baru, belum disantap oleh tuan.

Di warung nasi, layar televisi sedang berbicara sendiri. Bola mata Mai menatap lekat televisi itu. Tanpa menatap ke bawah. Ia berhasil mengambil cangkir berisi teh itu. Dengan kedua netra yang menatap seorang reporter. Gadis itu minum seraya mendengarkan apa yang diucapkan seorang reporter tadi.

"Halo, selamat siang buat semua, jangan lupa untuk bahagia. Semangatlah mengejar mimpimu walaupun hari ini panas dan gerah. Kamu tidak tau keringat mana yang akan mengantarkanmu kepada kesuksesan.”

“Serius amat, Mai,” celetuk Brie. Perlahan suara televisi tersebut mengecil dan digantikan oleh suara Brie yang terdengar dekat dengan daun telinga Mai.

“Harus, dong. Siapa tau ada informasi terbaru, 'kan?” balas Mai seraya terkekeh. Ia kembali menatap nasi berisi lauk dan nasi itu sebentar, kemudian kembali melontarkan pertanyaannya kepada sang sahabat.

“Memangnya, kamu gak suka berita, Brie?”

Raut wajah Brie tampak kebingungan menjawabnya. Ia mencoba membuka suaranya. Namun, mulutnya tiba-tiba tertutup lagi.  Mai si pendengar setia ini mendekatkan daun telinganya yang terbungkus oleh jilbab biru malam, tepat berada di depan mulut Brie. Katanya, supaya terdengar jelas olehnya. “Aku?” Brie mengucap sesuatu dengan tanda tanya.

“Aku, sih, tim kadang suka, kadang enggak. Jadi, netral aja,” sahut Brie terkekeh dengan tangan kanan memegang sendok stainless.

“Oalah.” Mai kembali menatap makanannya dan memakan nasi beserta lauk itu.

Brie menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya ini. Ia pun mengulas senyum dan diikuti canda tawa. Sungguh indah hari ini walau tidak sesuai ekspektasi. Niatnya untuk bertemu Ustazah Imla hari ini, terpaksa ia urungkan sementara. Di lubuk hatinya paling dalam. Ia membentuk keyakinan bahwa dirinya bisa menjadi hafiz Qur’an. Sebelum tidur, ia kerap berkhayal dan berharap khayalannya bisa jadi kenyataan.

Loveless, Siapa Takut? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang