Chapter 01

1K 98 7
                                    

"Aku turut berduka cita. Kau yang kuat ya? Jika membutuhkan sesuatu telepon aku sesegera mungkin."

Pemuda bernama Lee Jeno mengangguk. Dialah pemeran utama yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya saat mereka berlabuh menuju China. Sementara yang tengah memeluknya bernama Choi Soobin, sosok tampan itu adalah teman kerja Jeno. Kepribadiannya yang lembut membuat Jeno merasa nyaman saat bersamanya.

"Aku harus kembali karena atasan tidak memberikan libur kepadaku. Ingat, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa meneleponku atau datang langsung ke rumahku."

Lagi-lagi Jeno hanya mengangguk membalasnya. Jeno sangat terpukul kehilangan Ayah dan Ibu sampai saat kematian mereka, Jeno tetap tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil mereka terlebih dahulu. Jeno merasa selama orang tuanya hidup, Jeno belum bisa membahagiakan mereka.

Dan kini Jeno menyesalinya. Saat orang tuanya masih ada di Korea, Jeno sempat berdebat dengan Ibunya. Jeno melarang ibunya pergi berlabuh disaat badai hujan tengah berlangsung sebab mendapat panggilan dari China yang membuat mereka harus segera ke sana. Ayah Jeno seorang nahkoda sedangkan Ibunya seorang dokter bedah dan Jeno sendiri mengikuti jejak Ibunya sebagai seorang dokter.

Jeno duduk di teras rumah sembari memandang kosong arah jalanan. Pembakaran jasad orang tuanya telah selesai, bahkan menabur abu mereka ke laut sudah Jeno lakukan. Kini hidupnya terasa hampa.

"Aku rasa kau harus menemui nenekmu yang ada di desa, Jeno."

Seorang pria muda tapi sayangnya telah menikah itu duduk di sebelah Jeno. Di tangannya memegang gelas bening berisikan air putih untuk Jeno.

"Aku ingin di sini."

"Tapi nenek mencemaskan keadaanmu. Di sini kau tidak memiliki kerabat dekat. Aku berkata seperti itu bukan ingin mengusirmu, tetapi aku mempedulikan kebaikanmu sebagai seorang sahabat."

Jeno termenung. Alasan mengapa Jeno enggan mengunjungi neneknya karena Jeno pernah tinggal di sana saat usianya lima tahun, dan di sana juga banyak kenangan indah bersama orang tuanya.

"Hm."

"Minumlah, jangan sakiti dirimu sendiri. Yang ada orang tuamu tidak suka melihatmu mati menyusul mereka."

Jeno menoleh ke arah sahabatnya yang berbicara seenak jidat. Namanya Liu Yangyang. Mereka juga satu kerjaan di rumah sakit, hanya saja mereka mendapat shift berbeda. Jeno shift pagi sedangkan Yangyang mendapat shift malam.

"Terima kasih."

•••

Jeno mengemasi semua pakaiannya ke dalam koper besar miliknya. Jeno telah membuat keputusan akan pindah dan memilih tinggal di desa bersama neneknya. Masalah pekerjaan, Jeno bisa melamar pekerjaan di klinik walau pendapatannya tak seberapa asal Ia bisa bekerja memenuhi kebutuhan tanpa harus menyusahkan neneknya.

Jeno mengambil bingkai foto yang ada di atas meja nakas, itu adalah foto keluarganya. Jeno tersenyun masam kemudian ikut memasukkan bingkai tersebut ke dalam koper.

Setelah selesai mengemas, Jeno istirahat sebentar. Kemudian Ia menarik koper besarnya keluar dari rumah. Jeno berhenti sejenak memandang rumah yang bertahun-tahun Ia tempati bersama kedua orang tuanya kini harus Ia titipkan kepada orang lain. Jeno segera pergi menaiki mobilnya menuju desa tempat neneknya tinggal.

Di perjalanan Jeno hanya diam. Musik jazz lembut mengalun melalui radio mobil. Jarak kota dengan desa lumayan jauh mengingat hampir beberapa tahun ini Jeno tak pernah lagi mengunjungi pedesaan. Jeno agak lupa jalur menuju desa. Beruntung zaman sudah canggih dan ada aplikasi penunjuk jalan yang membuatnya tidak akan tersesat.

Saat memasuki area pedesaan, tiba-tiba Jeno dihentikan oleh tiga orang anak kecil. Mereka membawa alat musik seperti gitar Ukulele, Gendang dan Seruling. Jeno tersenyum simpul saat mereka menyanyikan sebuah lagu dengan begitu bagus. Jeno mengambil uang kertas lalu Ia berikan kepada pemain Seruling.

"Apa Tuan orang kota?" tanya bocah pemain gitar Ukulele.

"Ya," jawab Jeno seadanya.

"Oh, baiklah. Terima kasih, Tuan, semoga Anda diberikan perlindungan oleh Yang Maha Kuasa." Si pemain Gendang pun berbicara. Jeno sempat mengerutkan dahi. Namun, Ia tidak ingin ambil pusing dengan ucapan ketiga bocah itu.

Jeno melanjutkan perjalanannya, hanya saja tiba-tiba ban mobilnya mengalami kebocoran. Jeno memutuskan memeriksa mengapa bisa bannya bocor dan ternyata sebuah kawat besi menyangkut. Jeno mengusap gusar wajahnya. Ia membuka bagasi mobil guna mengambil ban cadangan beserta perkakas mobil yang Ia bawa. Ayolah, mengapa disaat musibah ini muncul harus berhenti di pinggir hutan belantara? Sungguh, sekitar Jeno hanya pepohonan menjulang tinggi bahkan lumayan gelap walau hari masih menjelang tengah hari.

Saat Jeno tengah bertolak pinggang, kesialan tak sampai di situ saja. Bannya menggelinding berakhir tercebur ke dalam danau. Jeno mencoba tenang, Ia memandang miris ban cadangan yang terapung terbawa oleh arus danau. Jeno membekap mulutnya kemudian berteriak kencang guna melampiaskan kekesalannya.

Jeno merogoh kantong celana jeans yang dipakainya. Ia berinisiatif menelepon temannya, akan tetapi di desa ini malah tidak ada signal sama sekali. Mengingat desa masih menggunakan cara tradisional yang mana mereka tidak memakai alat-alat teknologi canggih seperti di kota. Hampir saja Jeno membanting ponselnya, tetapi Ia urungkan karena itu barang berharganya. Banyak foto dan video kenangan bersama Ayah dan Ibunya.

Sepuluh menit Jeno berdiam diri mencoba berpikir meminta bantuan, tapi jarak rumah penduduk dengan tempatnya sekarang masih lumayan jauh. Jeno memijat pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri. Ia terjebak dikelilingi oleh hutan menyeramkan. Jika malam pasti tempat ini akan sangat gelap. Tidak ada lampu jalanan satu pun terpasang sebagai media penerangan.

Saat Jeno memejamkan mata, tiba-tiba seseorang mengetuk-ngetuk kaca mobilnya dari luar. Jeno tersentak kaget. Seorang lelaki berpakaian hitam tersenyum padanya. Jeno yang was-was merasa takut jikalau orang itu adalah penjahat, akhirnya menurunkan setengah kaca mobilnya. Dari wajah lelaki itu, Jeno menebak pasti dia seumuran dengannya.

"Apa kau membutuhkan bantuan?"

Sepertinya keberuntungan mulai membersamai Jeno. Ia mengangguk cepat kepada lelaki itu.

"Namaku Na Jaemin, aku akan menolongmu," katanya sekaligus memperkenalkan diri. Jeno bersyukur karena Tuhan masih berbaik hati mau menyelamatkannya dari situasi menyeramkan ini.

"Terima kasih, Tuan Na."

Jaemin mengangkat kepalanya. "Jangan terlalu formal. Panggil nama saja karena kita seumuran," ucap Jaemin lembut. Kerutan di dahi Jeno langsung muncul, bagaimana Jaemin bisa menebak jika mereka seumuran padahal Jeno dan Jaemin baru saja bertemu lima detik lalu.

"Kau orang kota, ya?" tanya Jaemin memecah kecanggungan.

"Iya."

Setelah itu kembali hening. Jeno memerhatikan keterampilan Jaemin dalam memperbaiki ban mobilnya. Jeno memutuskan untuk melihat-lihat sekitar hutan. Jeno benar-benar sudah lama tidak ke desa ini, jalanan yang dulu berbatu sudah menjadi aspal halus bak di kota-kota.

"Mengapa di pinggir jalan tidak di beri tiang lampu—loh, eh?" Jeno membalikkan badan, tetapi Jaemin sudah tidak ada. Ia berdiri mematung mencari keberadaan Jaemin. Bahkan kini bannya sudah tidak kempes seperti tadi. Namun, yang membuat Jeno kebingungan, ke mana perginya Jaemin?

"Ke mana dia?" gumam Jeno pelan. Masalahnya, jika Jaemin pergi pastinya Jeno masih bisa melihat keberadaan Jaemin yang berjalan tak jauh darinya, tetapi tidak ada siapa pun kecuali dirinya di sini.

Ujung jalanan begitu panjang bahkan tidak ada belokan, mana mungkin Jaemin bisa menghilang dalam waktu sekejap. Jeno mulai merinding, buru-buru Ia masuk ke dalam mobil dan langsung tancap gas. Jeno rasa desa ini benar-benar sangat aneh, penduduknya pun juga sama.

Setelah mobil Jeno pergi, sebuah mata merah muncul dari balik batang pohon besar. Memandangnya dengan seringaian kecil sebelum akhirnya menghilang entah ke mana.

Yuex BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang