Chapter 02

905 109 2
                                        

Mobil Jeno berhenti di depan rumah yang terbuat dari papan kayu serderhana, tapi tampak berkelas seperti rumah pondok yang ada di dalam cerita fantasi. Jeno mengeluarkan koper lalu menariknya masuk ke area rumah sang nenek.

Knock, knock, knock!

Jeno mengetuk pintu tiga kali. Tepat saat itu juga, Jeno mendengar suara pintu dibuka dari dalam. Sosok wanita tua muncul sembari tersenyum lebar. Jangan lupakan kacamata yang bertengger manis sebagai salah satu alat bantu untuk wanita tua itu kenakan agar bisa digunakannya untuk melihat.

"Astaga, cucuku, kau tidak mau memeluk nenekmu, huh?"

Jeno terkekeh kemudian memeluk erat tubuh rapuh sang nenek. Jujur, Jeno memang merindukan neneknya. Dulu setiap Jeno berkunjung, neneknya suka sekali menceritakan sebuah kisah legenda yang membuat Jeno betah berlama-lama di tempatnya.

"Bagaimana keadaanmu saat di kota?"

"Baik, Nek."

Wanita tua itu mempersilakan Jeno masuk. Rumah neneknya sama sekali tidak pernah berubah. Jeno selalu suka dekorasi batik yang terukir di dinding kayu dekat ruang tamu.

Nenek Jeno pun mengantarkannya sampai di depan pintu bercat cokelat. "Kau bisa tinggal di sini. Nenek tahu kau sangat terpukul kehilangan kedua orang tuamu, sama halnya denganku sebagai Ibu dari Ayahmu. Istirahat dulu, hmm, biar barang-barangmu paman Minseok yang mengangkatnya."

Jeno mengangguk, lantas Ia masuk ke dalam kamar. Sementara neneknya pergi ke dapur berniat membuatkan cucunya segelas minuman.

Jeno memandang bingkai foto berukuran besar terpajang di dinding kayu. Itu adalah foto saat dirinya masih berusia tujuh tahun. Sekeluarga berfoto di dekat sungai sebagai kenangan manis sebelum dirinya kembali ke kota saat itu.

Jeno membuka kopernya, memasukkan seluruh pakaian ke dalam lemari kayu besar. Setelah semuanya selesai, neneknya datang membawa segelas es teh untuk dinikmati cucunya. Jeno tersenyum simpul, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada nenek kesayangannya karena telah repot-repot membuatkan minuman untuknya.

•••

Mata Jeno memicing saat sinar matahari menusuk penglihatannya. Saat ini Jeno tengah berada di belakang rumah neneknya. Rumah pohon yang pernah ayahnya buat masih berdiri kokoh di tengah-tengah batang pohon ek. Tempat itu menjadi tempat favorit Jeno saat bersama orang tuanya dulu.

Jeno berada di ujung pohon ek, Ia melihat belakang rumah neneknya yang menghadapkan langsung ke sebuah hutan di penuhi oleh pohon pinus. Sayangnya, ada tembok besar menutup pekarangan belakang rumah neneknya sehingga Jeno tak tahu bagaimana suasana hutan yang cukup menarik perhatiannya itu.

Dulu Jeno pernah mencoba membuka pintu yang menghubungkan antara belakang rumah neneknya dan hutan, tapi tiba-tiba neneknya muncul dan melarang keras agar Ia tidak mencoba membuka pintu itu.

Jeno turun dari rumah pohon. Ia mendekati pintu besi berkarat tak jauh dari rumah pohonnya berada. Setahu Jeno, tembok itu sudah ada sejak dirinya belum lahir, atau mungkin lebih?

Tangan Jeno menyentuh badan pintu. Ia menundukkan badan sedikit lalu mengintip dari lubang kunci.

Wush!

Jeno memundurkan langkahnya. Ia terkejut sampai terjatuh ke tanah saat sebuah benda asing melintas cepat tepat di depan matanya. Pergerakannya sangat cepat bak angin berlalu. Tidak mungkin jika ada seseorang di balik pintu besi ini. Samar-samar Jeno mencium aroma darah hewan menyeruak indra penciumannya.

Saat Jeno hendak memeriksanya lagi, tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya.

"Aaaaaah!" jerit Jeno terkejut.

"Hei, ini aku, sepupumu."

Jeno membalikkan badan. Ia menyentuh dadanya sambil membuang napas lega. Sepupunya selalu saja datang disaat yang tidak tepat.

"Maaf membuatmu terkejut, nenek memanggilmu."

"Oh, benarkah? Baiklah, aku ke sana."

Jeno berlari meninggalkan sepupunya yang menatap kepergiannya tanpa ekspresi. Dia menoleh ke arah pintu dengan tatapan sulit diartikan, kemudian ikut pergi dari sana.

•••

Malam telah tiba dan kini keluarga kecil neneknya berkumpul di meja makan. Ada kedua paman dan bibi beserta kedua sepupu Jeno. Lama tak berjumpa membuat Jeno agak canggung berbicara kepada mereka semua termasuk neneknya juga.

Rumah paman dan bibinya kebetulan berada tak jauh dari rumah neneknya. Saat kematian orang tua Jeno, mereka tidak sempat berkunjung. Jadi, mereka memutuskan menjenguk Jeno yang ada di rumah nenek.

"Besok kau bisa melamar pekerjaan di klinik terdekat. Donghyuck akan mengantarmu."

Wanita setengah baya yang merupakan Ibu Dinghyuck itu berbicara lembut kepada Jeno. Yang di ajak berbicara hanya tersenyum tipis sambil memasukkan nasi ke dalam mulut.

"Ouch ... kau tetap baby Samoyed yang menggemaskan."

Bibinya yang lain menarik gemas pipi Jeno. Ia memekik kesal mencoba menjauhkan tangan sang bibi darinya, membuat yang lain tertawa terbahak melihat ekspresi tertekan Jeno, kecuali kedua sepupu Jeno yang hanya memerhatikan dalam diam.

Makan malam hari ini berjalan sangat menyenangkan. Jeno bersyukur masih memiliki kerabat yang begitu menyayanginya.

Yuex BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang