Chapter 07

507 72 7
                                    

"Nenek aku membuatkanmu Bibimbap!" panggil Jeno kepada sang nenek yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Wanita tua itu terenyuh kemudian memandang sendu cucu kesayangannya. "Kau tidak perlu repot-repot membuatkanku Bibimbap, karena nenek sudah makan di rumah bibimu. Tapi nenek menghargai keteladananmu, Nak. Nenek bangga mempunyai cucu perhatian sepertimu. Kau mengingatkan nenek kepada Ayahmu yang juga sama perhatiannya kepada nenek."

Jeno terkekeh lalu menyiapkan sepiring Bibimbap untuk neneknya. Jeno juga menyiapkan bekal makan berupa sandwich karena Ia sedang malas membuat makanan yang dimasak terlebih dahulu. Bibimbap yang Ia buat khusus untuk neneknya. Jadi, Ia tidak mengambil sedikit pun makanan itu.

"Kalau begitu aku berangkat dulu ya, Nek," pamit Jeno yang kemudian mendapat anggukan dan lambaian tangan dari sang nenek.

Saat sampai di teras rumah ternyata ada Donghyuck yang menunggunya di atas motor. Sepupunya itu memang berubah dingin, tapi sifat perhatiannya tak pernah menghilang.

"Di mana Hyunjin?" tanya Jeno.

Donghyuck menyerahkan helm kepada Jeno. "Bekerja," jawab Donghyuck seadanya. Jeno cuma angguk-angguk saja lalu membonceng ke atas motor.

•••

Jeno mengembalikan helm kepada si pemilik motor. "Terima kasih sudah mengantarku," ucap Jeno. Sepupunya hanya berdehem singkat.

"Masuklah, semangat bekerja di hari kedua," ujar Donghyuck menyemangati. Jeno mengangguk lantas berjalan masuk. Sejenak Donghyuck memandang punggung Jeno yang semakin menjauh dari penglihatannya.

Dia tersenyum tipis, tapi secepatnya kembali mendatarkan ekspresi.

Seperti biasa Jeno selalu menyapa Jaehyun sebelum memulai pekerjaannya. Pria yang sudah menikah itu tampak menghindari Jeno. Bisa jadi karena kejadian kemarin di mana Jeno menyanyainya tentang tembok itu. Oh Tuhan, Jeno sudah membuat dua orang jengkel karena pertanyaannya.

Jeno duduk manis di kursi kebesarannya sembari mengisi absensi kehadiran. Setelah itu Ia akan duduk diam atau menonton movie di laptop agar suasana tidak membosankan.

•••

Drrtt Drrtt

Jeno tersentak kaget saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Jeno mengambil benda pipih persegi panjang itu untuk melihat si penelepon. Rupanya sang paman meneleponnya. Ia segera menggeser naik ikon hijau untuk menghubungkan sambungan.

"Halo Pamㅡ"

"Jeno, cepatlah pulang!"

Jeno mengerutkan dahi mendengar suara terburu pamannya seolah tengah menahan tangis. Terdengar pula sayup-sayup suara tangisan lain dari seberang sana membuat Jeno khawatir.

"Tapi ada apa, kenapa aku harus pulang?"

"Nenek, Jen ... nenek meninggal."

Jeno melebarkan kedua kelopak matanya. Untuk sejenak waktu seolah berhenti berputar. Debaran jantungnya berpacu tak beraturan setelah pamannya mengatakan itu kepadanya. Jaehyun yang melihat itu hendak bertanya, tapi Jeno sudah berlari seedan-edannya.

Jaehyun berteriak memanggil, tapi Jeno tetap pergi. Lantaran tidak ingin Jeno kenapa-kenapa, Jaehyun pun mengikuti Jeno dengan ikut berlari selepas meninggalkan pesan kepada salah seorang perawat untuk menggantikan sebentar tugasnya.

Di perjalanan Jeno menangis keras. Air matanya tidak berhenti untuk keluar. Ia benar-benar ditimpa kesedihan yang sulit sekali dijelaskan. Hatinya hancur mendapatkan kabar yang membuka luka lama karena kehilangan orang tersayangnya.

'Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi. Baru tadi pagi aku membuatkannya Bibimbap dan sekarang nenek meninggalkanku? Mengapa engkau memberikan kesedihan yang berlarut-larut padaku Tuhan ...."

Jeno bisa melihat beberapa warga sudah bersinggah di kediaman sang nenek. Jeno berlari masuk, menerobos beberapa orang yang juga ingin melayat. Neneknya terbaring dengan kain putih menutup seluruh tubuhnya. Jeno menangis sejadi-jadinya memandang wajah keriput neneknya yang terpejam damai.

"Kenapa nenek pergi terlebih dahulu? Aku belum bisa menjadi cucu yang membuat nenek bahagia. Maafkan aku ... maafkan aku, Nek ...." Jeno memeluk tubuh neneknya dengan tangisan pilu. Beberapa pelayat memandang iba sosok lelaki muda yang tengah berduka.

Ibu Hyunjin mendekat guna merengkuh tubuh Jeno, berniat menenangkannya. Jeno memeluk wanita itu, isakan tangisnya bertambah pilu membuat beberapa orang yang melihat ikut bersimpati.

"Sudah, jangan menangis, nenek tidak akan suka melihat cucu kesayangannya menangis seperti ini."

•••

Acara pembakaran jasad neneknya sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Jeno termenung di dalam kamar dengan jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di kedua mata sipitnya. Jeno masih tidak terima jika neneknya pergi meninggalkannya secepat itu.

Pintu kamarnya dibuka oleh Donghyuck, sepupu Jeno itu sejak tadi memandang sedih sosok Jeno yang terus-terusan menangis.

Setelah pintu tertutup, Donghyuck mendekati Jeno. Ia mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada sang sepupu. Jeno hanya melirik, enggan mengambilnya.

"Jeno!"

Si pemilik nama mendongak menatapnya. "Aku mohon keluarlah, aku ingin sendiri," ujar Jeno berucap lirih. Tangisan tiada henti tadi membuat suara Jeno menjadi serak.

Namun, bukannya keluar, Hendery malah duduk di samping Jeno. Membawanya ke dalam dekapan hangat walau tubuhnya sendiri bersuhu dingin.

Jeno kembali terisak tatkala usapan lembut Ia rasakan. Donghyuck mengusap pundak Jeno agar sepupunya itu tenang, tetapi Jeno justru kembali mengeluarkan air mata.

"Kenapa nenek setega itu meninggalkanku, aku begitu menyayanginya tetapi dia malah pergi."

Donghyuck hanya diam mendengarkan Jeno berbicara. Tangannya masih setia mengusap pundak dan punggung Jeno. Ia cukup mendengar tak perlu berkomentar, meskipun turut merasakan lara di lubuk hatinya.

"Apa vampir bisa menangis? Kulihat sejak tadi kau tidak merasa kepedihan seperti yang aku rasakan? Kau itu cucu macam apa?!"

Donghyuck mengembuskan napasnya berat. "Aku sedih kehilangan nenek, tapi kesedihanku tak perlu aku tunjukkan kepada orang-orang. Dalam lubuk hatiku aku juga merasakan kesedihan, hanya saja air mata tidak mau keluar. Aku bukan tipikal orang seperti itu," balas Donghyuck tenang.

"Jadi, berhentilah menangis. Aku tahu kau baru saja kehilangan orang tuamu dan sekarang nenek kita. Kau jangan merasa seolah-olah kau sendiri, karena di sini masih ada aku yang akan menjagamu. Ada Hyunjin, Ayah, Ibuku bahkan kedua orang tua Hyunjin juga, kita keluarga asal kau tahu," lanjut Donghyuck. Jeno tak membalasnya, Ia hanya diam melamun. Namun, Ia mulai sedikit lebih baik.

"Terima kasih, Hyuck."

"Hm, apapun untukmu."











Yuex BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang