Regan menstandarkan motornya ketika sampai di depan pagar sebuah rumah bertingkat 2, dengan cat dinding dominan warna putih. Lantas seorang gadis turun dari jok belakang motor Regan. Gadis itu terlihat kesusahan untuk melepas pengait helmnya, mengundang tawa keluar dari mulut Regan.
"Bisa nggak?" tanyanya sambil ikut mengulurkan tangan membantu.
"Susah banget sih?"
Hingga akhirnya setelah butuh waktu sekitar satu menit, pengait itu pun mampu terlepas. Aleta menghela panjang, sedang Regan menatap helmnya kebingungan.
"Waktunya ganti itu. Udah seret banget engsel pengaitnya," celetuk Aleta bernada gurau.
Sembari menggaruk tengkuk, Regan mengangguk mengiyakan. Memang helm yang selalu Aleta pakai itu adalah helm lama. Dulu helmnya punya Nila, dibelikan Ditya. Karena jarang dipakai, Regan berinisiatif meminjam awalnya, waktu itu ia dan Aleta masih dalam masa PDKT. Helmnya selalu ia bawa-bawa untuk jaga-jaga barangkali nyalinya sudah cukup guna membawa Aleta jalan. Namun rupanya, helm pink tersebut baru terpakai saat keduanya sudah menjalin hubungan.
"Hehe iya nanti deh, aku beli baru."
"Mau masuk dulu?"
"Mamamu sudah pulang?"
Setiap datang ke rumah Aleta, sebisa mungkin Regan selalu memastikan kalau orangtua pacarnya itu ada di rumah. Menghindari tuduhan yang tidak-tidak, Regan hanya ingin cari aman. Mengingat mereka berdua tinggal bersinggungan dengan tetangga yang bisa saja omongannya jadi mancing perkara.
Refleks Aleta mengangkat tangannya, ada smartwatch melingkar di pergelangan tangan kiri gadis itu. Layarnya menyala menunjukkan pukul 3 sore.
"Sejam lagi sih harusnya, tapi nggak apa-apa kok, mampir dulu ya? Duduk-duduk di teras sama ngabisin jajan. Kamu juga gak lagi buru-buru kan?"
Regan sempat terdiam, mengingat aktivitas apa yang akan dilakukannya nanti. Selain harus mengerjakan tugas dari semua mata pelajaran hari itu, Regan tidak punya list pekerjaan lain. Mungkin boleh main sebentar. Toh, di rumah juga tidak ada yang seru. Regan tidak punya saudara, kalau pulang, paling ia akan di rumah doang sama Nila, saling diam-diaman, atau kalau enggak nonton tv jika keduanya sama-sama tidak sibuk.
"Ya udah, boleh deh. Di teras ya?"
"Okey!"
Aleta berseru senang. Dengan gerakan sangat cepat sebab antusias, ia dorong pagar rumahnya lebar-lebar, memberi jalan yang luas supaya Regan dan motornya dapat masuk dengan mudah.
Aleta menggelarkan karpet kecil sebagai alas duduk, sebelum kemudian ia izin masuk untuk ambil minum dan cuci muka. Di depan, Regan langsung mengeluarkan semua snack belanjaan mereka. Tadi, di perjalanan keduanya sempat mampir di minimarket. Mulanya cuma untuk nganterin Aleta beli stok pembalut, tapi karena lihat jajan yang banyak, Regan dan Aleta yang notabenenya sama-sama doyan makan jadi tidak bisa melepaskan ciki-ciki itu begitu saja. Alhasil, sekantong kresek penuh kini yang mereka bawa pulang.
Tak lama Aleta kembali dengan seliter air putih dingin dalam botol dan dua buah gelas. Ia duduk tepat di depan Regan, menyilakan kakinya lalu menyomot sebuah snack dengan bungkus warna kuning.
"Aku belum pernah makan ini sebelumnya. Sering lihat, tapi kayak gak tertarik," ucap Aleta saat membolak-balik snacknya.
Regan sudah memasukkan kripik kentang ke dalam mulut. Dagunya bergerak seperti menunjuk Aleta, menyuruhnya untuk makan. "Cobain gih, kalau aku bilang enak, pasti enak."
"Iya deh, iya, percaya."
"Gimana? Enak kan?"
Bola mata gadis itu spontan melebar. "Woaaahhh! Jinjja?! Neomu mashita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On, Regan!
Teen Fiction[Spin off Malven Alvito] Move on gak hanya tentang melupakan, tapi juga tentang bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu. Regan akui jika masa remaja adalah masa yang paling indah. Lebih sempurna lagi kebahagiaan itu ketika ia bertemu dengan Alet...