15. Hujan di Pengujung Senja

67 6 0
                                    

"Menurut kamu, bahagia itu apa sih, Egan?"

"Hm? Bahagia ya?"

Aleta menganggukkan kepalanya, lalu membiarkan Regan bergumam sembari menerawang jauh seperti sedang memikirkan jawaban atas pertanyaannya.

"Apa ya?"

Suara deburan ombak yang memecah karang serta air laut yang menyentuh kaki menjadi pengisi kesunyian setelah Regan mengeluarkan dua kata dari mulutnya. Cowok itu masih belum melanjutkan, kepalanya masih sibuk merangkai kata yang pas, sebelum meluncurkan apa itu bahagia versinya.

Di bibir pantai mereka berdua berdiri, menghabiskan sisa waktu di hari libur singkat, di tengah padatnya waktu sekolah. Sesekali Aleta memejamkan mata saat angin menerpa wajahnya, membawa anak rambutnya beterbangan.

"Bahagia itu banyak, Ta."

"Hm?" Refleks Aleta menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Bahagia menurutku itu banyak. Kadang, aku udah bisa merasa bahagia hanya karena aku berhasil naik satu level dari diriku yang sebelumnya. Aku juga bahagia saat bisa melihat orang terdekatku tersenyum karenaku. Aku bahagia ketika aku sama kamu. Aku bahagia ketika aku bisa makan makanan favoritku, dengerin lagu kesukaanku seharian, melakukan hobi di tengah kesibukan. Bahagia itu luas, Ta. Even hanya dengan bisa membaca satu buku sampai tamat tanpa gangguan pun, aku sudah bahagia."

"Kenapa memang tanya begitu?" Regan melempar pertanyaan yang hanya dibalas dengan gelengan kepala pelan oleh Aleta.

Regan melihat gadis itu menunduk, kakinya bergerak-gerak tidak nyaman di bawah sana, memainkan pasir pantai yang lembut. Hingga ia memutuskan untuk pelan-pelan menyematkan jemarinya di antara jari-jari mungil Aleta. Gadis itu langsung mendongak.

"Apa yang buat kamu kepikiran?"

Aleta kembali melihat ke depan. "Aku gak tau apa bahagiaku."

"Mau cerita?"

Aleta diam.

"Apa pun itu, Ta, aku akan selalu di sini, selalu siap mendengarkan jika kamu juga sudah siap untuk menceritakan. Sama aku, kamu gak perlu jadi orang lain, Ta."

"Aku bingung, Egan."

"Mau menepi sebentar? Kita duduk, kamu cerita dan aku mendengarkan. Mau?" Alun-alun tatapan lembut dan hangat Regan mampu membuat Aleta mengangguk. "Yuk, di sana." 

Akhirnya cowok itu membawa Aleta ke sebuah warung kecil yang tidak jauh dari bibir pantai. Tempatnya agak sepi, sengaja, supaya Aleta nyaman jika ingin bicara. Mereka hanya memesan es kelapa muda dan beberapa gorengan. Regan dan Aleta duduk berhadap-hadapan. Tangan kanan Regan masih setia menggenggam tangan kekasihnya erat-erat.

Aleta merasa gelisah. Sesekali ia menunduk, menatap kosong gelas minumannya, memainkan cabai di piring gorengan.

"Kamu ingat gak, waktu itu kamu pernah bilang ke aku untuk jangan pernah menyimpan satu kebahagiaan besar kepada manusia. Aku nangkap artinya, aku tau, kalau kamu ingin bilang jika aku jangan berharap penuh ke kamu. Iya kan? Kamu ingin supaya aku gak bergantung sepenuhnya ke kamu."

"Iya. Lalu?"

"Aku jadi kepikiran, kamu ngomong kayak gitu bukan semata-mata karena kamu mau ninggalin aku kan, Egan?"

Kemudian tanpa Aleta sangka, Regan malah tertawa. "Bodoh kalau aku ninggalin kamu," jawabnya.

Jari telunjuk Regan mengusap pelan punggung tangan Aleta. "Jangan khawatir, aku gak akan ke mana-mana, Ta."

"Tapi aku beneran gak bisa cari kebahagiaan lain selain kamu, Egan. Hidup aku beneran datar, gak ada yang spesial selain kamu. Aku sama sekali gak bisa menemukan satu hal yang bisa buat aku lebih bahagia seperti saat aku sama kamu. Beneran nggak ada, aku nyerah carinya."

Move On, Regan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang