Bersama hati yang dag-dig-dug gak karuan, Regan berdiri di depan sebuah ruangan. Masih berada dalam kawasan SMA Brawijaya. Ia sedang menunggu seseorang di dalam sana. Orang yang sama, seperti yang selalu ia tunggu pada beberapa bulan lalu. Namun bedanya, kini Regan tidak kabur-kaburan lagi saat sudah berhadapan dengan orang itu.
Menit demi menit berlalu. Hingga di menit ke-10 Regan menunggu, barulah pintu ruangan itu terbuka. Murid-murid berseragam putih-abu yang tidak Regan kenal terlihat mulai berhamburan keluar, sementara yang Regan nantikan belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sampai mungkin hanya tinggal 2 murid tersisa, salah satunya Aleta, yang paling terakhir keluar. Regan melihat gadis itu masih sibuk mengunci pintu, Regan menatapnya dengan sabar. Lalu saat Aleta menyadari keberadaannya, kedua ujung bibir Regan terangkat membentuk senyum tipis.
"Hai!" Sapa cowok itu.
Kedua alis Aleta spontan mengerut keheranan. Bukan karena seorang Regan, tapi karena bagaimana cowok itu berpenampilan. Cara Aleta menatap cukup mengintimidasi bagi Regan. Aleta melihat pacarnya yang aneh dari ujung kaki sampai ujung kepala. Hal itu dilakukannya sebanyak 2 kali, berujung dengan menempelkan punggung tangan di dahi Regan guna memastikan.
"Kamu sakit?"
"Kenapa?"
"Aneh," aku Aleta terang-terangan. "Kayak orang gila di lampu merah noh. Ngapain sih, pakai kalungan permen dan jajan kayak gini? Mau ngulang LPKS atau apa? Ini lagi, baju kuning siapa yang kamu pakai? Ih, sumpah, aneh banget kamu."
Regan meringis, ia ikut melihat penampilannya. Gak salah memang kalau Aleta ngatain Regan aneh bahkan sampai nyamain Regan kayak orang gila. Karena sebelum Aleta bilang begitu juga Regan sebenarnya sudah sadar diri, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Namun ini kan bentuk suatu upaya, effort Regan, untuk mengembalikan rasa percaya Aleta. Untuk meminta maaf, menghilangkan rasa kecewa Aleta terhadapnya yang telah melakukan salah.
"Aku kayak gini buat minta maaf sama kamu, Ta. Anak OSIS yang dandanin aku."
Seketika Aleta memalingkan muka, menepuk jidat lalu menutup wajah dengan sebelah tangan. Kalau gak ingat jika ia masih kesal dengan Regan, mungkin sekarang juga tawanya sudah meledak. Sungguh, mati-matian Aleta menahan tawa.
"Kamu ... masih belum mau maafin aku ya?"
Aleta akui, Regan bodoh sekali soal cinta. Maksudnya, apa tidak ada cara lain, yang lebih normal untuk minta maaf?
Sembari mengambil napas, Aleta menggeleng. "Belum."
Lalu bibir Regan membentuk kurva tipis ke bawah, ia segera merogoh saku celananya. Cowok itu mengeluarkan ponsel, mengotak-atik sebentar gawai pintar tersebut sebelum kemudian menunjukkannya kepada Aleta. Dengan begitu percaya diri Regan memperlihatkan room chat WhatsApp keluarganya.
"Dua hari yang lalu kamu bilang ke aku, kalau mama dan papa udah mau ngobrol normal sama aku, artinya kamu juga udah mau maafin aku," Regan menjelaskan. "Pagi ini mereka sama-sama udah mau ingetin aku buat gak lupa makan siang dan istirahat. Mama juga sampai kirim makanan dari rumah buat aku. Kekecewaan mereka sudah reda, Ta."
"Aku udah gak dapat silent treatment lagi."
Membaca tiap bubble chat Regan bersama orangtuanya, jujur akhirnya membuat Aleta merasa lega. Ia juga merindukan Regan, lama sekali mereka tidak saling berbicara. Aleta kangen saat ketika ia bertukar cerita dengan Regan. Namun di satu sisi, Aleta juga ingin memberikan efek jera kepada cowok itu.
"Gimana? Apa sekarang aku sudah bisa dapat maaf kamu?" Regan mengulang pertanyaan.
"Gimana ya, Gan ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On, Regan!
Teen Fiction[Spin off Malven Alvito] Move on gak hanya tentang melupakan, tapi juga tentang bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu. Regan akui jika masa remaja adalah masa yang paling indah. Lebih sempurna lagi kebahagiaan itu ketika ia bertemu dengan Alet...