11. Regan dan apa yang terjadi dengan orangtuanya?

100 18 0
                                    

"Siapa yang ngajarin kamu kayak gini?"

Plak!

"SIAPA YANG NGAJARIN KAMU CLUBING? MINUM?! SIAPA?!"

Suara bernada tinggi milik Ditya menggema di seluruh penjuru rumah. Pria itu sedang memarahi anak laki-lakinya yang telah melakukan kesalahan besar. Suatu hal yang sukses memancing amarah seorang ayah yang selama ini ditahan. Regan sangat berhasil membuat segala macam amukan terpendam Ditya meluap. Tepat di depan Nila, Ditya memarahi Regan habis-habisan. Wanita di ujung ruangan itu hanya bisa menangis tersedu-sedu, ia tidak bisa membela karena putranya memang salah. Nila menangis, mengigit jemarinya sambil sesekali menutup mata saat Ditya mengangkat tangan untuk menampar anaknya.

"Bukankah kamu pernah bilang ke Papa, that you will always follow me in good things, but will never want to be compared to me in bad things. Mana? MANA BUKTINYA?! You're lying!"

Ditya mengacungkan telunjuknya untuk Regan yang terus menundukkan kepala. Mendorong jidat Regan dengan jari telunjuk sampai anak itu sedikit kehilangan keseimbangan. Regan masih menunduk, ia mengaku salah, tapi jujur, Regan tidak bisa berpikir jernih kemarin dan sekarang, ia tengah menahan mati-matian air matanya supaya tidak keluar. Regan menyesal telah membuat papa dan mamanya kecewa. Sekali pun Regan membenci Ditya, tapi mendengar Nila sesenggukan di belakang, hati Regan hancur.

Maaf, Ma.

Ditya kembali memicingkan matanya. Pria itu memegang sebelah bahu Regan, menatapnya dengan sangat tajam.

"Kamu tau, hanya laki-laki pecundang yang gak bisa pegang omongannya sendiri."

Plak! Lalu tamparan ketiga dari Ditya melayang.

"Papa sama sekali gak pernah ngajarin kamu kayak gini, Re! Kayak anak kecil. Kabur-kaburan, mabok, main di club. Semuanya bisa diomongin baik-baik! Kamu udah dewasa, udah bisa mikir, gunain otakmu itu buat mikir. Apa pantes seorang pelajar di bawah umur ngelakuin hal kayak gitu, ha?"

Regan sedikit meringis akibat bekas tamparan yang terasa panas mulai menjalar ke seluruh wajah. Namun ia tetap diam, mengunci mulut rapat-rapat.

"Papa dan Mama sengaja gak ngejar kamu kemarin karena kita tau, kamu pasti butuh waktu untuk nenangin pikiranmu sendiri. Tapi Papa sama sekali gak nyangka, Re, kalau kamu akan pergi ke tempat clubing."

Hening sebentar mengisi keduanya. Sebelum Ditya kembali berucap dengan nada suara yang lebih rendah.

"Sekarang lihat Papa."

Mendengar itu, sambil kepayahan menelan salivanya, perlahan Regan mendongak. Kedua matanya bertemu dengan milik sang papa.

"Gimana, sudah bisa mikir, hm? Tindakanmu salah apa enggak?"

"S—salah, Pa."

"Lihat ke belakang."

Regan nurut, ia memutar kepala dan setengah badannya. Cowok itu menemukan posisi Nila berdiri. Hancur, hancur sekali perasaannya saat itu. Apakah Regan sudah keterlaluan sampai membuat mamanya sendiri menangis seperti itu? Untuk pertama kalinya Regan melihat muka Nila yang merah, ada kekecewaan besar di sana. Lantas cepat-cepat Regan membuang pandangan, tidak kuat untuk terus-menerus melihat Nila.

"Gak kasihan kamu sama Mama? Anak yang udah dibesarin, dididik supaya tumbuh dengan baik, disekolahin, dipinterin supaya pikirannya terbuka lebar, tapi malah ngelakuin hal yang diluar batas."

"Papa kayak gini juga bukan karena Papa benci kamu Re, bukan karena Papa udah gak sayang lagi sama kamu. Justru Papa kayak gini karena Papa gak mau kamu tumbuh jadi anak yang nakal, anak gak bener, anak yang gak tau batas dan aturan."

Kedua tangan Ditya terangkat, memegang penuh kedua bahu Regan, menatapnya dengan dalam sambil menggeleng pelan. "Papa nggak mau kamu jadi kayak Papa, Regan."

"Pa ...."

Ditya melepas tangannya, tiba-tiba ia berbalik badan, memunggungi Regan. Di sana, Regan bisa melihat Ditya yang sepertinya sedang mengusap air mata. Papanya juga menangis?

"Masuk kamar kamu!"

"Aku minta maaf."

"Papa dan mama gak perlu maafmu. Kita hanya perlu kamu buktiin kalau kamu gak akan mengulangi hal yang sama kayak kemarin." 

Meskipun Ditya tidak mau maafnya, tapi dalam hati, Regan terus mengucap maaf beribu kali. Pandangannya kembali jatuh, menatap keramik putih yang ia pijak. Kemudian dengan langkah gontai cowok itu berjalan masuk ke kamar. Kala melewati daksa Nila, lagi-lagi hati Regan teriris. Mama melengos, enggan beradu tatapan dengan anaknya. Mati-matian Regan menahan diri, mengepalkan tangan sekuat tenaga.

Regan salah, cowok itu salah, ini adalah hukuman.

Baru ketika mendengar suara pintu tertutup, Nila dan Ditya secara bersamaan bergerak dari posisi awal. Keduanya dengan kompak menoleh ke sudut yang sama. Kamar Regan.

Helaan napas kasar dari Nila terdengar jelas. Setelah memastikan air mata pada wajahnya kering, wanita itu segera menghampiri Ditya. Ia menarik pundak Ditya dari belakang, disusul tamparan saat tubuh Ditya sudah berbalik menghadapnya.

Kedua mata Ditya jelas membulat kaget. Ia memegangi pipinya. Namun, di depan muka ia dapat lihat kobaran amarah pada wajah Nila.

"Lihat? Regan udah berani nyontoh tingkah bejat bapaknya!" bentak Nila, suaranya agak tertahan supaya tidak meledak terlalu kencang—takut Regan dengar. "Sia-sia aku nasehatin dia, sia-sia aku didik dia supaya gak jadi kayak kamu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia malah niru kamu. Regan masih 17 tahun, Dit!"

"Ya aku mana tau, Nila?!"

"Kamu gak tau karena emang kamu bodoh! Gak pernah mikir panjang! Kamu cuma mikirin gimana hari itu, kamu cuma mikirin napsu bejatmu! Padahal hari itu Regan masih belum genap sebulan ada di kandunganku, Dit!"

"AAARGGGGG!! Bisa gak sih jangan bahas itu terus?!"

"APA?!" refleks Nila membentak keras sembari mengangkat tangan, menahan tangan Ditya yang tiba-tiba berada di udara, akan mengarah ke wajahnya.

Wanita itu terkekeh, ia menggelengkan kepala. "Aku gak akan kaget Dit, kalau besok Regan udah berani main tangan. Mungkin gak sama kita, tapi entah sama siapa di luaran sana."

"Buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya. Entah sadar apa enggak, Regan mirip sekali sama kamu sekarang. Jadi aku mohon, jaga sikapmu selagi kamu masih tinggal sama aku dan Regan."

Nila menghempaskan tangan Ditya begitu saja. Ia lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Hanya tinggal Ditya sendiri di sana. Menatap kosong ruangan yang Nila masuki. Ditya berlutut di lantai sambil mengusap muka. Mengacak-acak rambutnya, hampir mirip kayak orang frustasi yang hilang akal.

Apakah dunia benar-benar adil? Regan, Nila, kenapa mereka terus menyiksa Ditya seperti ini? Pria itu sudah meminta maaf, bahkan bersujud di kaki Nila, di kaki semua orang yang ia sakiti hatinya. Orangtua Nila dan orangtuanya. Ditya rela bersujud bahkan sudah berjanji akan melakukan apa saja asal kesalahannya dimaafkan. Namun mereka tidak ada yang menuntut Ditya. Dan sekarang, Ditya malah terus-terusan dihakimi, terus disalahkan oleh istrinya seolah manusia kayak Ditya selamanya akan dicap sebagai manusia bejat yang gak layak dapat maaf.

Ditya capek saat semua orang terus mengungkit kesalahannya.

Keluarganya benar-benar berantakan. Bahkan Ditya yakin, kalau tidak karena Regan, pasti Nila sudah mendepaknya jauh-jauh hari.

Nila bertahan demi Regan. Begitu juga dengan Ditya, ia bertahan demi anaknya. Ia bertahan untuk menebus dosanya. Keluarga itu bertahan tanpa cinta yang tulus. Lalu jika tanpa cinta, kenapa tidak selesaikan saja semuanya?

Iya kan?

****

1098 kata
Jujur benci banget sama orangtua yang selalu ngomong, "Mama sama Papa kayak gini, bertahan juga demi kamu." Buat apa? Buat apa gue tanya?
Dikira sebagai anak, kita gak sumpek tiap hari harus denger orangtua bertengkar terus?

Move On, Regan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang