Candu : 13

183 23 5
                                    

Naruto menatap Sasuke dalam diam. Adegan panas itu membuat Sasuke tertidur di samping ranjang rawatnya. Beruntung, Naruto memilih kamar inap VIP agar ia bisa tenang dengan pemulihannya.

Ia tidak tahu, jika akan secepat ini hanya untuk menggait si bungsu Uchiha. Naruto melirik ke dalam selimut, ia membuka kemeja pakaian rawatnya yang sudah tidak terkancing. Sasuke begitu semangat saat memberi tanda kepemilikannya di sana.

Pipinya memanas tiba-tiba, saat teringat betapa semangatnya Sasuke beradu dengan dirinya di atas ranjang rumah sakit. Ah, Naruto harus segera membuat Sasuke tunduk dan patuh akan semua perintahnya. Dia harus segera mengakhiri semua ini setelah tujuannya tercapai.

Naruto kembali menoleh, saat Sasuke merubah posisi menjadi memeluk tubuh rampingnya. "Dasar," gumamnya lirih, kemudian balas memeluk dan mencium kening Sasuke.





Dalam diam, Toneri hanya bisa menunggu kepulangan Naruto hingga malam. Dia lupa meminta nomor ponsel gadis incarannya itu. Senyuman sumrigahnya pun muncul ke permukaan, saat netra bulannya melihat siluet gadis itu yang sedang berjalan menuju ke supermarket seperti biasanya.

"Naruto!" panggil lelaki mapan itu, saat bertemu.

"Hai." balas Naruto simpul saat ia dihampiri lelaki berumur hampir kepala tiga itu.

"Kau kemana saja, aku baru melihatmu." tuturnya langsung, tanpa menyembunyikan ekspresi kekhawatirannya.

Naruto menyelipkan beberapa anak rambut ke bekalang telinga. "Hanya sakit dan butuh istirahat." jelasnya diakhiri senyum simpul.

Toneri yang sempat tersipu hanya bisa berdeham keras. " A-apa kau sakit?" balasnya terbata. "Kau mau membeli apa, akan aku temani." tambahnya, dengan cepat. Ia menggaruk bagian tengkuk yang tidak gatal, salah tingkah.

"Kalau begitu, ayo temani aku membeli ramen cup." ajaknya. Mereka berduapun berjalan beriringan menuju ke supermarket.

Toneri tidak hanya menemani Naruto, dia juga sengaja membelikan semua barang yang dibutuhkan gadis itu tanpa bertanya lebih dulu. Karena beberapa kali sering bertemu saat berbelanja, Toneri hampir hapal semua barang yang selalu dibeli gadis itu.

"Aku jadi tidak enak." awal Naruto memulai obrolan. Dia memandang malu-malu Toneri.

"Tak perlu sungkan. Aku hanya berusaha semakin akrab denganmu. Ups!" terang dan pura-pura Toneri. Dia memandang ke arah lain, menyembunyikan pipinya yang bersemu merah. Pura-pura blak-blakan membuat Toneri malu sendiri, padahal umurnya sudah hampir tiga puluh tahun.

"Besok aku akan dilantik. Apa kau tidak ingin memberiku semangat?"

Naruto yang tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa berpura-pura berpikir. Jari telunjuknya bermain di bibir bawahnya dengan cara diketuk-ketukan. Tanpa ia sadari, Toneri hanya bisa menahan degupan jantungnya dan menelan saliva.

"Aku akan pikirkan."

"Baiklah. Sebaiknya kau cepat masuk dan beristirahat. Kau harus semangat untuk besok." tukas Naruto, saat ia menyadari jika sudah berada di blok gang perumahan Toneri bertempat tinggal.

"Yah, waktu cepat sekali berjalan. Rasanya enggan untuk berpisah."

Kalimat Toneri membuat Naruto menyadari satu hal. Sepertinya, Toneri sedang tertarik pada dirinya. Jika dipikirkan ulang, jika ia bisa menjalin hubungan dengan Toneri maka masa depan cerah akan menghampirinya. Perusahaan akan lebih cepat berpindah tangan padanya, tanpa harus menunggu keputusan Kurama.

"Bolehkah aku meminta nomormu?" tukas lelaki itu.

"Tentu."

Keduanya pun bertukar nomor ponsel. Ia bisa melihat Toneri yang terlihat senang setelah mendapat nomor pribadinya. Keduanya pun akhirnya berpisah, dan melanjutkan obrolan mereka lewat ponsel.

Naruto menekan tombol kunci kata sandi apartemen dengan satu tangan yang sudah dihapalnya di luar kepala. Satu kresek besar penuh belanjaan ia letakan di atas meja counter dapur. Saat sedang sibuk mengeluarkan semua isi belanjaan, ada sepasang tangan kekar memeluk tubuhnya dari arah belakang.

"Sudah bangun?" tanyanya, dan masih lanjut dengan aktivitasnya mengeluarkan semua belanjaan.

"Hm."

Tangan Sasuke menelusup ke dalam jaket yang dikenakan kekasihnya. Entah mengapa ia tidak bisa jauh-jauh dari Narutonya. "Kenapa ini semakin besar?" gerutu Sasuke dengan manja. Ia membalik tubuh kekasihnya untuk menghadap dirinya.

Tatapan intens itu mulai lagi, batin Naruto. "Ada apa?" Ia bisa melihat Sasuke yang hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan.

"Lagi," katanya dengan manja.

"Tidak."

"Kenapa."

"Aku lelah, Sasuke."

"Kalau begitu," kalimatnya ambigu. Sasuke mengangkat tubuh ramping itu ke atas meja counter. Dengan cepat ia mengangkat rok jins pendek itu. "Di sini saja." Malam itu, menjadi malam mereka berdua menghabiskan sisa malam.






Sudah seminggu, Toneri tidak melihat Naruto karena sibuk ini dan itu di gedung White House. Dia sudah resmi menjadi wakil presiden. Dan ia sudah rindu dengan gadis incarannya itu.

Pesan dan panggilan telepon pun tak pernah Naruto balas atau angkat. Sepertinya, Toneri terlalu agresif hingga Naruto dibuat tak nyaman karenanya. Ia merasa bersalah sekarang.

Satu pesan masuk mengalihkan atensinya. Dengan gerakan tak bersemangat, Toneri mulai mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja kerja. Satu tangannya dengan bebas mengendurkan dasi kantornya yang terasa mencekik lehernya.

Rasa semangat dan jantung berdebarpun mendominasi Toneri. Itu adalah balasan pesan dari Naruto, setelah seminggu lebih tak ada kabar. Irama jantung yang semakin cepat, Toneri segera membuka pesan tersebut.

Di dalam pesan, Naruto mengatakan akan pergi bersamanya untuk makan malam bersama sebagai bentuk perayaan atas dinobatkannya Toneri menjadi wakil presiden.

Sudut bibirnya terangkat, Toneri tersenyum sumringah. Dia akan mengatakan hal penting malam nanti. "Semoga Naruto tidak menolakku."





Taksi itu menurunkan kecepatannya dan berhenti di sebuah restoran yang cukup mewah. Kaki yang dibalut sepatu hak tinggi itu turun saat pintu terbuka. Naruto menutup pintu dan sedikit membenahi gaun hitam yang dikenakannya.

Ia sengaja memilih gaun hitam panjang dengan bagian atas yang hanya sebatas dada. Rambut pirangnya disanggul rendah, dengan beberapa anak rambut menjuntai keriting gantung membingkai wajah cantiknya. Anting berlian menghiasi kedua telinganya dengan mewah.

Kaki jenjangnya memasuki restoran yang sudah dipesan oleh Toneri. Beberapa para pelayan sedikit mencuri pandang pada sosok Naruto yang terlihat mewah dan elegan. Restoran itu ternyata sudah dipesan keseluruhan oleh Toneri sendiri khusus untuk dirinya. Naruto tersenyum aneh mengingat bagaimana sikap Toneri demi dirinya selama ini.

"Hai." sapanya dengan anggun.

Toneri yang melihat kedatangannya pun langsung berdiri dari kursi duduknya. Ia menarik salah satu kursi untuk diduduki Naruto. "Silahkan, Nona." candanya.

"Terima kasih."

Keduanya pun duduk di kursi masing-masing dan memesan beberapa menu yang enak. Setelah pelayan mencatat pesanan dan undur diri, barulah Naruto memulai obrolan dengan leluasa.

"Apa aku terlambat datang?" tanya Naruto.

"Tidak. Mungkin aku yang terlalu cepat." jawab Toneri, diimbuhi senyuman teduh.

"Aku tahu kau pasti sibuk akhir-akhir ini. Maaf, aku terlambat membalas pesanmu." akunya, beralasan. Ia pura-pura memasang wajah bersalah.

Kedua tangan Toneri melambai ke depan. "Tidak, tidak. Aku yang harus meminta maaf karena memintamu untuk makan malam bersama. Harusnya aku tidak bersikap lancang seperti ini."

"Sebaiknya kita berhenti saling menyalahkan, dan menikmati makan malam ini." terang Naruto mengalihkan obrolan. "Oh, ya. Aku membawakanmu sesuatu. Semoga kau suka." lanjutnya, sembari mengambil paper bag yang ia letakan di atas lantai.

Naruto menyodorkan kado berukuran sedang ke hadapan Toneri. "Selamat atas pelantikanmu, Toneri." serunya diiringi senyuman memukau. Naruto harus menggait Toneri, agar masa depannya cerah.

tbc.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CANDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang