Candu : 01

672 67 1
                                    

Naruto by Masashi Kishimoto.













Suara 'prak' yang terdengar cukup keras, mengagetkan sang sekretaris yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. Bahkan sekretaris itu hingga berjengit kaget. Jantungnya berdegup sangat kencang. Suasana mendadak menjadi tegang.

Naruto baru saja membanting laptop yang menampilkan hasil rapat meeting pertemuan penting antar jajaran para investor. Dadanya naik-turun. Deru nafasnya tak terkendali. Buncahan emosi siap meledak saat ini juga.

Suara 'brak' kembali terdengar, saat Naruto memukul meja kerjanya dengan keras. "Pergi!" katanya terdengar dingin dan menusuk. Dia memutar kursi kerjanya, memunggungi sang karyawan. Tanpa suara sang karyawan hanya bisa patuh, menundukkan kepala, dan izin pergi dari hadapan pimpinannya.

Tangan kanannya terkepal erat di atas pegangan kursi putarnya. Dia memandang ke depan dengan tatapan tajam, menusuk. "Sialan!" makinya, pada udara.








Rapat antar jajaran para investor berjalan lancar, siang ini. Kurama, atau yang dikenal sebagai Namikaze Kurama, sedang menyalami para investor yang hendak pergi dari ruang rapat.

"Senang bekerja dengan Anda, Namikaze-san." seru salah satu investor.

"Terima kasih, Uchiha-san. Saya yang harusnya lebih berterimakasih kepada Anda." balasnya, yang tak kalah sopan.

"Semoga proyek ini berhasil. Saya pamit undur diri."

"Ah, iya. Terima kasih, dan hati-hati di jalan."

Kurama hanya bisa tersenyum bisnis ke arah beberapa investor yang menanamkan sahamnya di perusahaan ini. Setelah ruangan sepi, senyum itu berubah menjadi senyuman licik. Dia merogoh kantong celana kerjanya, mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

Setelah beberapa detik, ponsel tersambungkan ke nomor tujuan yang diteleponnya. "Bagaimana perasaanmu, siang ini?" tukasnya, dengan seringain.

Kurama diam, menunggu jawaban dari seberang, namun hening. Bibir tipisnya terkekeh pelan, mengejek. "Selamat berjuang,-" ada jeda di akhir kalimatnya.

"-Adikku." dan sambungan pun dimatikan. Kurama menatap penuh kemenangan pada layar ponselnya. Kemudian, dia berlalu pergi meninggalkan ruang rapat yang sudah sepi, sunyi.








Suara bantingan benda keras kembali terdengar, di dalam ruangan kantor. Naruto marah, benar-benar marah. Dia baru saja mendapat telepon dari Kurama. "Sialan!" makinya, keras, menjerit.

Dadanya naik-turun. Dia menghirup udara dengan rakus, namun sulit bersamaan. Emosinya sedang meluap, dan Naruto harus bisa mengendalikan dirinya kembali. Belum saatnya dia menyerah. Dia harus merencanakan sesuatu untuk membalasnya. Harus! Batinnya, di dalam hati.









Kurama berjalan santai memasuki lift, setelah menekan tombol lift untuk turun ke lantai dasar. Hanya beberapa menit, pintu lift pun terbuka. Dia keluar dari dalam perusahaan, menuju parkiran yang berada di ruang bawah tanah.

Kurama tersenyum licik, saat netra merahnya melihat siluet seseorang yang sangat dikenalnya. "Hallo!" sapanya ringan, masih dengan senyum licik penuh kemenangan.

Dia sudah berdiri tepat di depan Naruto, yang sedang meneteng tas kantornya, hendak masuk ke dalam mobil. Wanita itu berbalik dan langsung menatap dengan sorot tajam, menusuk ke arah Kurama.

"Ah, kau jahat sekali." gurau Kurama, garing. "Harusnya kau menyapa balik Kakakmu ini, kau tahu." katanya, sembari mengayunkan satu tangannya ke udara.

Naruto masih diam, bergeming di tempatnya masih dengan tatapan tajam.

Kurama yang mendapat perlakuan tidak bersahabat dari sang adik pun, hanya tersenyum menyeringai. Wajah tampannya terlihat menawan, namun memuakkan bagi Naruto. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana kerjanya.

Satu tangannya terkepal erat, saat Kurama semakin mempersempit jarak antar mereka berdua. Tubuh Kurama condong ke depan. "Bagaimana, rasanya kalah?" bisik Kurama, tepat di samping telinganya.

Sumpah! Rasanya Naruto ingin memaki laki-laki yang ada di depannya ini. Rasa bencinya semakin mendalam, meski laki-laki ini satu ayah dengan dirinya. Naruto ingin sekali menampar Kurama dengan penuh kekuatan.

"Hm?" gumam Kurama, meremehkan. Dia mundur ke belakang, memberi jarak dengan Naruto yang terlihat menahan kesal.

Satu tangannya terangkat, dan mengelus sudut bibir Naruto dengan halus. Tatapan meremehkan itu berubah menjadi tatapan begitu mendamba dan ingin. Kilat obsesi pun hanya mucul di sepersekian detik saja.

"Andai kau tidak menolak tawaranku, Naruto." monolog Kurama, yang masih sibuk mengelap bibir Naruto.

Sedangkan Naruto, ia menggigit bibir dalamnya keras, menahan luapan emosi yang semakin ingin memberontak. Darah pun merembes ke sudut bibir kirinya. Kurama bahkan tak melewatkan hal itu begitu saja.

Tatapan begitu ingin itupun tertuju lurus ke sudut bibir Naruto yang mengeluarkan darah. "Kau jangan melukai bibirmu sendiri, Naruto. Aku menyayangimu -"

Naruto menepis tangan Kurama yang semakin intens mengelus bagian luar, bibirnya yang terluka. Tatapan tajam itu tertuju lurus ke arah Kurama, begitu penuh benci dan begitu menusuk. Tanpa kata, dia berbalik, masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Kurama sendirian.

Kurama menatap kepergian mobil Naruto dengan diam. Ruang parkir bawah tanah itu sepi dan hening. Kurama menyeringai. "Aku akan memilikimu, Baby." Dia pun berbalik pergi menuju mobilnya sendiri yang tidak jauh terpakir dari mobil sang adik.













"Kakak!" sapa suara cempreng dari kejauhan.

Naruto menoleh ke asal suara. Di sana, di pintu utama sudah ada sang adik yang menunggunya pulang. Bibirnya tersenyum tulus, saat setelah menutup pintu mobil dia melihat sang adik yang mencoba berlari dan menghampiri dirinya.

"Kak Naru!" panggilnya, dengan suara ciri khas anak kecil.

Naruto berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu. "Kakak pulang, Naruko." balasnya.

"Kakak menepati janji. Kakak Naru hebat!" tukas Naruko dengan gembira. Gadis berusia lima tahun itu tertawa lucu saat mencubit kedua pipi milik sang kakak.

"Ini sudah siang. Waktunya apa?" awal Naruto mencari topik pembicaraan. Keduanya pun berjalan memasuki mansion keluarga Namikaze.

"Makan!" balas Naruko yang terlalu bersemangat. Dia melepaskan genggaman tangan Naruto yang menggandengnya, dan berlari semakin masuk ke dalam mansion. Naruto hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum simpul melihat kelakuan sang adik bungsu.

"Hati-hati, jangan berlarian, nanti jatuh!" seru Naruto yang juga ikut masuk ke dalam mansion.











Naruto memasuki ruang kantor, yang bersebelahan dengan kamarnya. Kantor itu berada di dalam kamar Naruto, memudahkan dirinya untuk bekerja meski di dalam rumah.

Dia mendudukkan diri di kursi kerja dan membuka map laporan sekretarisnya. Satu tangannya mengambil ponsel, dan menelepon seseorang di seberang sana.

"Hallo!"

"Cari tahu seluk-beluk keluarga Uchiha. Dan laporkan padaku!" sambungan pun ia tutup secara sepihak.

Naruto memandang jauh ke dinding ruang kerja, kantor pribadinya. Dia menatap penuh benci pada bingkai foto yang terhias di sana. Foto yang berisi dirinya, ayah, ibu dan musuh bebuyutan sialan itu.







TBC.

Nuansa baru dengan segelas ide yang muncul ke luar.

CANDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang