Candu : 10

116 20 0
                                    

"Jangan sentuh pacarku!"

Penuturan gamblang itu membuat Naruto menutup mulut dengan kedua tangannya, syok. Apa dia tidak salah dengar?

Yang benar saja!?

Tidak mungkinkan, Sasuke dengan entengnya mengatakan kalimat yang tidak pernah ia lakukan bersama Sasuke sebelumnya. Hahaha, dia pasti bercanda. Batin Naruto berusaha mengelak.

"Apa-apaan kau ini?" seru Suigetsu sinis. Ia membersit luka di pipinya dengan punggung tangan, kasar. "Sejak kapan kau memiliki hubungan dengan gadis yang baru saja kau temui?"

"Sejak kau belajar merangkak!" balas Sasuke, ambigu. Dia pun menarik Naruto pergi dari area kantin, meninggalkan desas-desus di belakangnya.

"Apa kau Sasuke?" tanya Naruto pada akhirnya. Ia takut jika yang membawanya pergi dari kantin ini bukanlah Sasuke sebenarnya.

Sasuke membawa pergi Naruto ke atap, setelah insiden pengakuan gamblang itu. Ia berdiri memunggungi gadis itu dengan perasaan campur aduk, sekalian menghindari tatapan Naruto karena wajahnya yang masih memerah.

"Sasuke?"

Gadis itu mendekat, mencoba mencari celah hanya untuk mengintip ekspresi pemuda itu seperti apa saat ini. Jujur saja, Naruto penasaran. "Kau tak apa, 'kan?" katanya, berpura-pura khawatir. Gadis itu maju ke depan, menghadap pada Sasuke yang lebih tinggi darinya.

"Kau?" Naruto menutup mulutnya dengan satu tangan. Kemudian ia tertawa keras setelahnya. "Kau bukan Sasuke palsukan, Sas?" Kedua matanya sampai berair, menertawakan pemuda yang ada di depannya. Naruto masih sibuk menertawakan pemuda itu.

Sasuke hanya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia membuang muka dengan wajah yang masih terlihat datar, namun bertolak belakang dengan kedua pipinya yang bersemu merah. "Aku tidak apa-apa." balasnya, ketus.

"Lagian, aku juga berhak menyukai siapapun itu."

Tawa Naruto mulai mereda. Ia mengambil napas besar dan menghembuskannya pelan. Kedua netra birunya memandang Sasuke menggoda. "Apa benar, kau menyukaiku?" pancingnya. Ia menatap ke arah lain, berpura-pura sedang berpikir. "Kebetulan, aku juga belum memiliki kekasih." imbuhnya, kemudian mencuri pandang Sasuke lewat ekor matanya.

Tak ada respon dari yang bersangkutan. "Yah, lagi pula masih banyak lelaki yang ada di kelas. Aku bisa mengakrabkan diri dengan mereka, dan suatu saat pasti salah satu di antara mereka akan mulai menyuka-" kalimatnya dipotong Sasuke begitu saja.

Pemuda itu mencium bibirnya dengan sensual. Naruto yang masih syok hanya bisa terpaku di tempat. Sasuke menjauhkan wajahnya. Dia menatap intens Naruto dengan pandangan buram, karena nafsu yang menggebu-nggebu. Belum sempat Naruto melontarkan jawaban, Sasuke sudah kembali melumat bibirnya dengan ciuman panjang.

"Mulai hari ini, kau milikku!" katanya mutlak. Dia pun meninggalkan gadis itu sendirian.

Naruto menatap lurus pemandangan halaman taman sekolah dari atas atap. Dia menerawang jauh. Seringaian pun tercetak di bibir tipisnya. "Kau sendiri yang menawarkan umpan, dengan senang hati aku akan menangkapnya."

Sekembalinya ke dalam kelas, meja Naruto dan Sasuke dikerubungi oleh teman-teman sekelasnya. Mereka menanyakan hubungan keduanya apakah sungguhan atau hanya bohongan. Mereka berdua memang tidak menjawab, namun sikap malu-malu keduannyapun menjadi jawabannya.

Saat pulang pun, Suigetsu masih gencar mengejar Naruto. Ia sengaja menunggu Naruto di depan gerbang. Namun, niatnya harus ia urungkan karena Naruto sudah bersama Sasuke untuk pulang bersama. "Ck, sial!" Dan dindingpun menjadi pelampiasan Suigetsu.


Naruto turun dari jok motor Sasuke. Ia melepas helm dan memberikannya pada si Uchiha. "Mau mampir?" tawarnya.

Sasuke sengaja melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Dia menjawab, "Aku ada urusan setelah ini. Sepertinya lain kali saja." Dan Naruto hanya mengangguk. Sasuke bisa melihat Naruto lewat kaca spion, jika kekasihnya sedang melambaikan tangan di belakangnya. Senyum tipisnya terkembang, dan motornya pun melaju semakin jauh.

Malam hari, Naruto sudah mengenakan setelan kemeja dengan celana jins pendek. Ia akan pergi ke supermarket lagi untuk membeli beberapa camilan. Dia pun masuk ke dalam supermarket dan segera menuju ke bagian rak camilan berada.

"Nona?" sapa suara lelaki di sebalahnya.

Naruto menoleh dan mendapati lelaki yang pernah ditolongnya waktu itu. "Tuan. Apa Anda sudah sehat?" balasnya ramah. "Kebetulan yang kebetulan." lanjutnya, berkelakar.

Lelaki yang lebih tua pun tertawa. Gurauan Naruto mampu mencairkan suasana. Obrolan pun harus berhenti karena Naruto harus membayar camilan yang ia ambil.

"Aku yang akan membayarnya." tukas lelaki itu sembari menyodorkan kartunya kepada pegawai kasir.

"Tapi-"

"Hitung-hitung aku balas budi." jelasnya dengan senyum menawan.

"Ah, iya." Naruto jadi tidak enak sendiri. Mereka berdua pun mengambil tempat duduk yang ada di depan supermarket. Keduanya mulai mengobrol.

"Namaku Outsutsuki Toneri. Kau bisa memanggilku Toneri."

"Uzumaki Naruto." Ia mulai menyibukan diri dengan mengecek beberapa camilan yang dibelinya hari ini.

"Berapa umurmu?" Toneri bertanya santai. Ia meminum kopi kalengnya. "Umurku dua puluh delapan tahun. Kau?" tambah Toneri.

Naruto bingung harus menjawab apa. Haruskah jujur atau berbohong soal umurnya. Ia melirik Toneri dalam diam.

"Pasti umurmu awal dua puluhan. Yah, tidak apa-apa jika jarak umur kita sejauh itu." jelas Toneri. Ia melihat gadis itu, yang menatapnya sedikit risih. Kedua tangannya terangkat. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud banyak bicara hal pribadi padamu. Aku hanya ingin akrab. Itu saja." jelasnya.

"Tak apa."

"Aku bulan depan akan dilantik sebagai Wakil Presiden. Jika kau mau, kau bisa menonton beritanya." katanya mulai to the point.

"Kau akan bekerja di White House?" tanya Naruto, mulai antusias. Akan menjadi hal menguntungkan jika ia bisa bekerjasama dengan Toneri di masa depan. "Selamat, ya." ucapnya, mencoba mulai akrab.

"Ya, terima kasih. Apa kita bisa menjadi akrab, sekarang?" tanyanya, tidak enak hati. Ia mencuri pandang Naruto yang sepertinya sedang menimbang-nimbang keputusan.

"Boleh. Kita teman mulai sekarang." Dan obrolan keduanya pun mengalir begitu saja. Naruto pun harus pamit saat ia teringat untuk membeli sesuatu.

Naruto memandang toko ponsel yang ada di seberang jalan. Ia kemudian menghampiri toko itu dan masuk ke dalamnya. Toko itu cukup besar dan mewah, dan terdapat kafe di lantai bawah.

Ia berjalan menaiki tangga ekskavator dengan santai. Lantai bawah berfungsi sebagai kafe dan tempat meeting, mungkin, dan lantai dua memajang berbagai jenis ponsel mulai dari yang murah hingga mahal. Salah satu desain ponsel mewah itu menarik minat Naruto.

Seorang pegawai wanita pun datang menghampiri Naruto. Ia menginginkan ponsel mewah itu. "Berapa harganya?" tanya Naruto sopan.

"Ponsel ini sangat mahal, Nona. Apa Nona akan membelinya?" balasan tak ramah itu membuat ekspresi Naruto berubah drastis.

Ia datang ingin membeli ponsel, dan bertanya harga tapi pelayanannya sangat mengecewakan. "Jika Nona tidak bisa membelinya, jangan berlagak bertanya harga barang ini. Dilihat dari penampilanmu, sepertinya kau bukan dari kalangan berada." ketusnya panjang lebar. Pelayan itu menilai penampilan Naruto dari atas hingga ke bawah.

tbc.

CANDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang