23

163 30 4
                                    

Setumpuk buku sudah berada di hadapan Ren begitu ia terbangun. Aroma kayu tua dan halaman kertas yang sudah usang memenuhi ruangan.

"Pelajari itu, besok malam kamu harus berlatih," ujar Illia, kucing hitam kecil dengan tatapan tajam dan penuh wibawa. Suaranya dalam, berbanding terbalik dengan tubuh mungilnya.

Ren mengerutkan keningnya, kebingungan. "Kenapa kamu menjadi seekor kucing? Di buku kamu tidak dijelaskan sebagai seekor kucing," tanya Ren, menatap Illia dengan penuh rasa ingin tahu.

Illia menghela napas pelan, bulunya sedikit bergetar saat ia menundukkan kepala. "Pelajarilah buku-buku itu jika kamu tidak ingin menjadi sepertiku," jawab Illia dengan nada getir.

"Bagaimana itu terjadi?" tanya Ren, matanya menajam, terpaku pada sosok Illia.

"Dulunya aku juga manusia, tapi aku gagal… sehingga menjadi seperti ini," ujar Illia dengan suara yang merendah. Matanya yang biasanya penuh semangat kini tampak redup.

Ren merasakan ada sesuatu yang berat dalam kata-kata Illia. "Kenapa kamu ingin mengajariku jutsu itu kalau kamu sudah tahu risikonya?"

"Karena aku ingin melepaskan kutukan ini lalu mati dengan tenang. Aku mengajarimu jutsu itu karena aku percaya kamu berbeda, kurasa kamu itu spesial," jawab Illia, matanya menatap jauh ke luar jendela, seakan melihat sesuatu di kejauhan yang tak bisa diraih.

Ren terdiam sejenak, merasakan beban di balik kata-kata Illia. Betapa kesepiannya Illia selama ini? Ren menggeleng pelan, menepis perasaan sedih yang mulai merayap.

"Baiklah, aku akan mengikuti semua latihan yang kamu berikan, aku tidak akan mengecewakanmu, Illia-Sensei," ujar Ren dengan tekad yang bulat.

Illia tertawa pelan, suaranya seperti bisikan angin malam. "Baiklah, berjuanglah, bocah. Aku menaruh harapan besar padamu."

~1 tahun kemudian~

"Ren, duduklah di tengah sana," ujar Illia sambil menunjuk tanah kosong di tengah lingkaran. Ren mengangguk, lalu duduk bersila, tangan bertumpu pada lutut, matanya terpejam.

"Pejamkan matamu dan kendalikan cakramu," perintah Illia.

Ren mulai mengatur napas, berusaha mengendalikan cakranya. Tapi, cakra miliknya bergerak tidak beraturan, rasa sakit menjalar di dadanya.

"Lama tidak bertemu," tiba-tiba sebuah suara yang sudah lama tidak Ren dengar kini bergema di kepalanya.

"Sasuke, dia dalam bahaya. Kamu tidak ingin menolongnya?" Suara Kaguya menggoda di dalam kepalanya, begitu manis dan memikat.

"Ren! Fokus! Apa pun yang dikatakan olehnya hanyalah bohong!" Illia berteriak, membuat Ren tersentak, lalu mencoba memusatkan perhatian lagi.

Perlahan-lahan, cakra putih mulai menyelimuti tubuh Ren, berkilauan di bawah cahaya bulan.

"Aktifkan matamu!" perintah Illia tegas.

Ren membuka matanya perlahan. Cahaya bulan bersinar terang melalui mata Suishōnome miliknya, cahayanya begitu menyilaukan, seperti menatap matahari dari dekat.

"Ren, jangan tutup matamu! Cahayanya tidak akan membuatmu buta, tahan sebentar lagi!" ujar Illia penuh semangat.

Ren menggertakkan giginya menahan rasa sakit di matanya, tetapi ia tetap bertahan. Cahaya itu semakin terang, menyinari sekitarnya.

"Illia, mataku terasa sakit," ujar Ren, suaranya mulai bergetar.

"Bertahanlah sebentar lagi, bocah," ujar Illia dengan nada yang lebih lembut.

Naruto world x Male ReadersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang