BAGIAN 4

33 5 0
                                    

Suara petikan gitar yang mengalun indah terdengar, seketika setelah kumatikan radio. Sayup dan syahdu. Suara itu mengusik sore yang seharusnya kunikmati dengan mendengarkan saluran radio yang sering menyiarkan lagu berbahasa Inggris. Aku pun beranjak dari kamar untuk melihat siapa yang memainkannya. Dan ternyata itu April, perempuan itu berada di balkon lantai dua, tempat yang seharusnya tak diperbolehkan untuk dikunjungi. Entah kenapa.

Dia menghentikan permainan gitarnya setelah melihatku di antara palang tanpa pintu dan mengajakku untuk duduk bersama di pagar tembok balkon dengan menganggukkan kepalanya.

Sebenarnya aku tidak ingin menerima ajakannya itu. Meskipun tertarik dengan benda yang ia pegang, tetapi tidak ada yang aku lakukan untuk mengisi sore selain mendengarkan radio yang telah dia gangu. Jadi, aku putuskan untuk menghampirinya, kemudian berdiri di satu sisi balkon, menghadap kearah perempuan yang terduduk bersandar pada sisi tembok lainnya dengan posisi kepala hampir sejajar dengan bahuku.

"Kau pandai bermain gitar?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Yaah. Kenapa nggak bisa?"

Aku menggeleng.

"Mau aku ajarkan?"

Aku menggeleng lagi.

"Kenapa nggak mau?"

Untuk yang ketiga kalinya, aku menggeleng.

"Ih. Dasar! Geleng-geleng melulu kayak orang penyakitan!" Alisnya terangkat satu saat menatapku. Kemudian perhatiannya kembali pada gitar yang ada di pangkuan, dan mulai memainkannya.

Aku tidak mengerti dengannya. Sudah beberapa hari ini saat pertemuan, dia selalu bercerita hal-hal yang menyedihkan tentang dirinya. Namun, apa yang ada di hadapanku adalah gadis yang terlihat ceria, sama sekali tidak menunjukan bahwa dirinya pernah mengalami hidup yang tragis.

Alunan gitar mulai terdengar kembali. Masih seperti yang sebelumnya kudengar. Hanya kali ini, dia membarenginya dengan suara yang keluar dari bibir yang tertutup rapat. Syahdu lagi menghanyutkan. Seakan mengantarkan matahari sore yang mulai menjingga pada malam dan akan menyembunyikannya di balik cakrawala.

"Hei, mau kemana kamu?" tanya April saat aku beranjak dari tempatku dan melangkah pergi.

"Pergi."

"Pergi ke mana?"

"Menurutmu?"

"Hei, jangan keluar dari gedung ini. Kau tidak tahu kabar pasien yang sering menghilang di sini?"

Aku mengernyitkan dahi. "Menghilang? Pasien?"

"Iya. Ah. Kau benar-benar tidak tahu tentang rumah sakit ini?" April mengubah posisi duduknya menghadap ke padaku yang sudah berdiri di tengah balkon dan berbalik ke arahnya karena penasaran. Lalu ia meletakan gitarnya di lantai. "Kau tidak tahu di sini sering terjadi penculikan pasien?" Ia mengatakannya seakan-akan itunadalah sesuatu yang menyenangkan.

Aku menggeleng. Mataku lekat menatap perempuan itu yang mulai beranjak dari tempat duduknya, menghampiriku, dan berdiri di hadapanku. Aku sempat berpikir kalau dia berbohong, hanya saja aku ingin tahu cerita itu, mengingat seseorang yang pernah yang pernah kujumpai di belakang gedung utama dan hampir menembakku.

"Kau tahu dari mana?"

"Ah. Kau memang benar-benar tidak tahu." Perempuan itu menyunggingkan senyum dan sedikit mengangguk-anggukkan wajah. "Aku ingin tahu, sebenarnya siapa yang mengirimmu ke sini?"

"Aku tidak tahu. Mungkin ayah."

"Owh. Pasti ayahmu kaya."

"Tidak juga."

"Ini rumah sakit mahal. Mana mungkin bisa dirawat di sini kalau bapak lu nggak kaya."

Mendengarnya berkata demikian, aku jadi teringat pria berjubah hitam yang sering terlihat di persidangan-persidanganku, juga pernah beberapa kali berbicara pada ayahku. "Aku tidak tahu."

Ia menyunggingkan senyum itu lebih lebar, seakan muak dengan sesuatu yang aku tak mengerti. "Aku cuma mau bilang, hati-hati, jangan keluar malam-malam. Apalagi tampangmu itu terbilang cukup tampan."

Dahiku semakin terkernyit. Perempuan itu tertawa pelan. Mungkin menertawakan wajahku yang bingung karena tidak mengerti dengan perkataannya.

"Apa maksudmu, April?" Tiba-tiba saja seseorang di balik palang tanpa pintu muncul. Itu Dani, dengan mimik wajah yang bingung sekaligus heran melihat aku dan April saling berhadapan-hadapan.

"Eh, sayang." Perempuan itu tersenyum manja pada Dani. Aku terkejut saat mendengarnya memanggil kawan sekamarku dengan kata 'sayang'. Apakah mereka?

"Jangan aku panggil seperti itu, perempuan bodoh!"

"Idih, galak betul, kamu, Say."

Dani berjalan ke pagar tembok dan duduk di sana. "Apa yang kau ceritakan tadi padanya? Ap itu benar?"

"Kamu juga belum tahu?" tanya April. Kemudian ia menghampiri Dani dan duduk di sampingnya. Ia bertingkah genit kepada lelaki yang memang tampan itu.

"Dari mana kamu tahu?"

Sebenarnya aku ingin tetap di sana saat April bercerita.tentang kabar itu. Namun, aku tidak tahan dengan tingkah centil perempuan itu. Jadi, aku berbalik dan melangkah pergi dari sana. Meninggalkan mereka berdua di sana. Meski sempat berpikir kalau Dani mungkin jadi korban April selanjutnya, tetapi, mengingst sosok Dani yang sangat 'laki-laki' itu, aku yakin ia akan baik-baik saja.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang