Pagi sekali aku sudah terbangun dari tidur, setelah semalaman tidak bisa tidur nyenyak. Aku menunggu langit menjadi cerah dalam kegelisahan di pembaringan. Hingga waktu itu tiba, aku lekas bersiap untuk menuju kantor Dr. Anna. Meskipun aku tidak tahu apakah dia sudah berada di sana atau belum.
"Main ke mana kau?" tanya Abraham yang tampak baru saja membuka mata.
"Aku akan melaporkan kejadian semalam pada Dr. Anna," jawabku sambil melangkah pergi ke pintu.
"Hah, apa? Sialan! Ahmad, jangan!"
Aku mendengarnya berteriak, tetapi aku hiraukan dia. Abraham segera bangkit dari tempat tidurnya, memakai baju dan celananya kemudian menyusulku.
"Apa kau sudah gila? Aku bilang kita yang akan menghukumnya?" teriakannya menggema di lorong gedung.
Entah bagaimana ia menyebutku dengan kata itu. Bahkan dirinya ingin membunuh, dengan sadar pula. Apa itu menjadikan dia lebih gila dariku?
"Aku hanya ingin dia mengetahuinya."
"Ahmad!" teriaknya, mencoba menghentikanku. Namun, dua orang pasien lain memperhatikan perangainya di hadapanku, yang membuatnya berhenti melakukan tingkah lakunya itu, meski masih berjalan di sampingmu. Sepertinya dia akan ikut bersamaku ke kantor.
"Apa yang kalian lakukan di kantorku pagi-pagi sekali?"
Dr. Anna baru saja tiba di ruangan dan mendapati Abraham terduduk di kursi pasien sementara aku melihat-lihat koleksi buku-buku yang terpajang di rak-rak tanpa niat mengambil apalagi membacanya. Kami berdua sama sekali tidak terkejut akan kedatangannya karena memang sudah menunggu.
"Abraham ingin mengatakan sesuatu padamu, Bu."
"Aku?"
"Abraham? Siapa Abraham?"
Aku dan Abraham saling menatap. Sengaja aku menyebut dengan nama aslinya, agar dia mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Sedangkan yang disebut tampak agak kesal dengan memasang mata tajam mengarah padaku.
"Ronny? Ada apa, siapa Abraham?"
"Aku Abraham. Aku, aku...."
"Dia anaknya Tuan Moesas," ucapku karena gemas mendengar dia yang agak ragu.
"Apa? Kau anak Tuan Moesas? Apa maksud kalian?" tanya Dr. Anna. Wanita berparas sangat Indonesia dengan rambut agak kemerahan itu melangkah ke kursi belakang mejanya. Wajah itu menjadi agak lebih tenang, walau aku yang melihatnya agak aneh karena seperti yang dibuat-buat. Ada sisa gurat keterkejutan dari ekspresi wajahnya. Namun, karena dia adalah seorang dokter psikolog sekaligus psikiater bagi para pasien, Dr. Anna mencoba menempatkan diri sebagaimana mestinya. "Apa kalian bisa menceritakan semuanya pada ibu?"
Aku menoleh pada Abraham, menyuruhnya untuk duduk dengan menggerakkan kepalaku ke arah kursi di sebelahku. Dia paham dan langsung menurutinya.
"Abraham akan bercerita semuanya."
"Abraham?" Tatapan mata Dr. Anna berpindah ke orang di sebelahku. Kemudian, lelaki jangkung bertampang setengah eropa itu menceritakan apa yang diceritakannya semalam padaku, juga apa yang dilakukan Tuan Moesas padaku–dan pasien lainnya.
Tentu saja, Dr. Anna tak percaya. Wajahnya tenang walau mimik keterkejutannya masih ada. Beberapa saat dia diam menatap kami dengan mimik itu. Terutama menatap Abraham, seseorang di mana cerita itu berasal.
"Apa buktinya kalau kau anak dari Tuan Moesas?"
Abraham terdiam. "Aku tak perlu membuktikan apapun. Jika dokter percaya, aku bersyukur. Kalau tidak, ya tidak apa. Aku sudah bilang pada Ahmad kalau ibu tak akan percaya padaku, pada ceritaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
DJAHOEL
Mystery / ThrillerTuhan, jika itu perintah-Mu, tunjukkan padaku bagaimana cara untuk kembali. Seorang remaja muslim dengan keterbatasan mental yang mempertanyakan Tuhannya. Suatu hari tanpa sengaja dia membunuh ibunya sendiri dan harus dijebloskan ke dalam rumah saki...