Aku tiba di sebuah taman. Tentu saja aku ingin melihat kawanku, Dani, ia sedang bersama orang tuanya. Mereka tampak akrab berbincang di bangku yang biasa aku duduki dahulu. Senyum dan canda sesekali terdengar dari mereka. Aku hanya bisa berdiri di tepi lorong taman.
Pria yang ada di sebelah samping kirinya adalah ayah tirinya. Katanya, ia bisa masuk ke rumah sakit jiwa ini karena dia. Melihat Dani sudah terlihat akrab dengannya, membuatku berpikir, mungkin dia sudah memaafkannya.
Saat Dani menyadari kehadiranku, ia melihatku tajam dan memasang wajah sinis padaku. Dari sana, aku tahu ia belum memaafkan aku karena sudah hampir membunuh April. Aku tahu mereka saling mencintai, meskipun waktu itu April menolak menolak cinta Dani karena alasan yang tak bisa kumengerti.
Ada satu hal yang mengganjal sejak pertama kali aku melihat Dani di taman bersama orang tuanya tadi. Ada sesuatu yang mungkin aku lupakan tentang hubungan mereka berdua. Seperti aku satu kepingan puzzle yang hilang untuk menyempurnakan cinta mereka. Tapi aku tidak tahu apa. Aku beranjak dari sana untuk pergi entah ke mana, mencari kepingan itu.
Kamar lama April adalah tujuanku. Mungkin di sana ada petunjuk, tetapi setelah aku berada di sana, aku tak bisa masuk, pasien baru mungkin sudah menempatinya. Aku melanjutkan berjalan dan beralih tujuan ke kamarku. Namun, sebelum aku mencapai pintu, aku teringat buku yang dulu dipinjam April. Aku berbalik arah dan segera berlari menuju kantor Dr. Anna.
Beruntung pintu kantor tidak terkunci, karena memang tidak pernah terkunci di siang hari untuk memudahkan para pasien berkunjung. Aku pun masuk dan mencari buku itu. Saat kudapatkan, aku langsung membuka lembar demi lembar untuk membaca kembali tulisanku, tetapi tak mendapatkan apapun di sana.
Aku membolak-balik halaman buku itu dengan tergesa-gesa berharap ada sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk tapi nihil. Aku sempat frustasi dengan itu, hingga aku emosi dan melempar buku itu ke lantai. Namun, saat buku itu mendarat dan tanpa sengaja membuka halaman paling belakang, ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ambil kembali dan membacanya. Alangkah senangnya hai ketika aku menemukan apa yang aku cari.
Aku terburu-buru keluar ruangan untuk bertemu dengan Dani. Akan tetapi, saat aku sudah mencapai taman, Dani dan keluarganya sudah tidak ada di sana.
"Ahmad, dari mana saja kamu?" Dr. Anna memanggil.
"Apa ibu melihat Dani?"
"Dani? Oh. Dia sudah mau pulang. Barusan saja dia pamit sama ibu dan Tuan Moesas. Ada apa? Kami mau pamitan?"
"Iya. Di mana dia sekarang?"
"Mungkin dia sedang di parkiran mobil."
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari tempat yang dimaksud. Dr. Anna memanggil-manggil dan berteriak kalau ayahku menyuruhku menemuinya, tetapi tak aku hiraukan. Yang ada di pikiranku saat itu adalah memberitahu Dani pesan dari April yang ada di buku.
Alangkah terkejutnya saat aku melihat mobil yang ditumpangi Dani dan keluarganya sudah berada di gerbang yang pintunya akan segera ditutup petugas jaga. Aku berlari dan berteriak-teriak memanggil nama kawanku itu.
Akan tetapi, saat aku mencapai gerbang pintu itu sudah dikunci kembali. Mengingat aku adalah pasien, petugas itu menahan-nahan tubuhku mungkin dia pikir aku akan kabur. Petugas lain pun keluar dari pos jaganya dan membawa segera tubuhku dengan paksa.
"Pak, tolong, hentikan mobil itu. Aku ingin berbicara sesuatu yang penting dengan kawanku."
"Ada apa ini, Ahmad?" Rupanya Dr. Anna mengikuti ku.
"Aku ingin bicara dengan Dani, Bu. Ini penting!"
"Maaf, Ahmad, kamu tidak boleh keluar dari gedung ini, itu peraturannya."
"Tapi, Bu," ujarku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Bingung. Akan tetapi, saat aku melihat kembali buku di tangan, aku terpikir ide. "Aku ingin memberikan buku ini padanya, Bu."
"Buku itu? Itu kan milikmu."
"Iya, tapi...." Aku menatap wajah Dr. Anna, berpikir sesuatu dan langsung membuka lembar terakhir di mana pesan dari April, kemudian memperlihatkan tulisan itu padanya.
Mengerti dengan apa yang aku maksud, Dr. Anna langsung memerintahkan penjaga untuk menghentikan mobil itu. Beruntung, pos penjagaan di rumah sakit ini berlapis. Sebelum mencapai gerbang berikutnya, melalui handy talk mereka menyuruh petugas di sana menghentikan mobil.
Dr. Anna menyuruhku memberikan buku itu ke petugas untuk kemudian di bawa ke gerbang depan dan memberikannya pada Dani. Petugas itu berlari ke pos gerbang depan, dan memberikannya kepada orang yang ada di dalam mobil itu.
Tak lama setelah itu, Dani keluar dari dalam mobil dan melambaikan tangan padaku. Aku melihat dia tersenyum lebar. Sesuatu dia ucapkan, tetapi aku tak mendengarnya. Dani menghampiri petugas dan meminjam handy talk itu.
"Terima kasih, Djahoel," ucapnya yang terdengar melalui handy talk petugas di dekatku.
Ada perasaan senang saat mendengar suara itu. Dani pun masuk kembali ke dalam mobilnya, yang tak lama kemudian melaju keluar dari pintu gerbang depan. Aku melihatnya lega, seperti kepingan puzzle itu sudah lengkap membentuk gambar yang sempurna.
Saat aku berbalik, Dr. Anna sudah berdiri di hadapanku tersenyum. "Sekarang, bagaimana dengan buku itu? Ibu tak punya lagi buku untuk diberikan kepadamu, Ahmad."
Sejenak aku berpikir. "Mulai sekarang, aku akan bercerita tanpa buku itu, Bu, " ucapku yakin. Dr. Anna pun tersenyum lebih lebar.
°°°°°
Aku dan Dr. Anna berjalan berdampingan menuju ruang pertemuan di mana ayah mungkin sedang menunggu. Saat melewati sebuah kursi dengan meja di sampingnya, aku melihat apel di atasnya. Aku teringat dengan gadis kecil berkerudung itu.
"Ahmad, dari mana saja kamu?" Kali ini Tuan Moesas lah yang bertanya saat aku tiba di ruang pertemuan itu.
"A-Aku...."
"Dia bertemu kawannya, Dani, bukankah dia pulang hari ini. Ahmad ingin berpamitan padanya."
"Oh, begitu."
"Kalau punya kawan di sini, Ahmad?" tanya Ayah.
"Iya, Pak," jawabku. Ayahku tersenyum dengan wajah bangga. Mungkin, dia begitu senang mendengar aku mempunyai kawan, karena selama di rumah, ayahku pikir aku tak pernah punya.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, saya masih ada kerjaan, Pak. Kalau kalian masih ingin mengobrol, silahkan," ucap Dr. Anna. Ia pun bergegas pergi ke luar ruangan. Namun, saat melihat Tuan Moesas, Dr. Anna memandangnya dengan kernyitan di dahi. Seakan memberitahunya sesuatu. "Ahmad, kalau semuanya sudah selesai, kamu ke kantor ibu, ya," tambahnya.
Mengerti dengan maksud Dr. Anna, Tuan Moesas pun berpamitan pada ayahku. "Baiklah, Pak, Sahlan. Saya pergi dulu. Ada sesuatu yang harus saya lakukan."
Ayah mengiyakan pamitnya Tuan Moesas. Aku paham maksud mereka meninggalkan ruangan. Setelah mereka pergi, yang terjadi selanjutnya adalah obrolan dia antara kami; aku, ayah, dan ibu tiriku. Sebenarnya aku dan ayah sedikit canggung, tetapi aku mencoba untuk berbaur. Beruntungnya ternyata, istri baru ayahku itu pandai sekali berbicara dan mampu mencairkan suasana di antara kami. Percakapan itu pun terasa hangat.
Hingga tidak terasa waktu siang sudah menjelang sore. Setelah melaksanakan salat Zuhur berjamaah, mereka pun pamit pulang. Aku berdiri di tepi halaman lobi melihat mobil yang ditumpangi ayah melaju keluar dari gerbang. Mereka melambaikan tangan padaku yang lantas kubalas. Hingga kendaraan itu tak terlihat lagi aku pun pergi untuk menemui Dr. Anna seperti yang diperintahkan olehnya siang tadi.
Aku melihat kembali satu buah apel yang teronggok di atas meja saat berjalan menelusuri lorong. Kali ini aku mengambil dan langsung memakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DJAHOEL
Mystery / ThrillerTuhan, jika itu perintah-Mu, tunjukkan padaku bagaimana cara untuk kembali. Seorang remaja muslim dengan keterbatasan mental yang mempertanyakan Tuhannya. Suatu hari tanpa sengaja dia membunuh ibunya sendiri dan harus dijebloskan ke dalam rumah saki...