Sore itu, selepas berkonsultasi di ruang kerja Dr. Anna, aku memutuskan duduk di bangku taman seperti kebiasaanku dahulu. Kepalaku diliputi pikiran tentang benda itu–kamera–. Benda yang membuatku penasaran. Terlebih tentang apa yang bisa dibuat oleh benda itu: film.
Aku tahu apa itu film dan pernah sekali menontonnya bersama ayah dahulu saat mengunjungi pasar festival. Gambar-gambar bergerak yang waktu itu membuatku terpana. Ada orang-orang yang berbicara, pemandangan kota, seakan-akan kehidupan lain sedang berjalan di dalam sana.
Aku ingat betul dalam gambar bergerak itu ada orang saling bicara, kadang tersenyum dan tertawa, kadang bersedih sampai menangis, kadang pula takut akan hantu yang melotot. Hingga pada satu adegan seorang perempuan melucuti pakaiannya di depan lelaki, aku tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi saat itu, karena ayah langsung menutup mataku dengan tangannya lalu memangku tubuh kecilku. Kemudian berjalan dengan tergesa-gesa.
Saat itu aku dengar ibu berkata, "Dasar tidak waras! Kenapa hal seperti itu harus direkam dan di pertontonkan di masyarakat!" ucap ibu. Setelah kami berada di luar area pasar festival, Ayah membuka mataku dengan menyingkirkan tangannya. Masih di gendongan ibu, aku melihat kembali ke arah area kerumunan itu dan tampak layar tancap masih menampilkan dua insan manusia sedang bercumbu.
"Melamun apa kau, Ahmad?" Tiba-tiba saja Abraham muncul dan kemudian duduk di bangku di sampingku. Tentu saja aku tak menjawabnya. "Kau belum mandi? Ini sudah mau sore, tumben kau masih di sini, biasanya sudah anteng di kamar sambil mendengarkan radio bututmu itu," ujarnya. Dan aku masih tak berniat menjawabnya.
Namun, saat aku melihat lelaki yang merupakan seorang perawat di rumah sakit ini dengan benda seperti yang ada di ruang Dr. Anna itu, aku bertanya pada Abraham perihal benda itu. "Kau tahu dia sedang apa?"
"Siapa?"
"Lelaki itu yang sedang memegang benda itu ... kamera?"
"Oh. Dia sedang merekam aktivitas para pasien dan yang bekerja di rumah sakit ini." Setelah mendapatkan jawaban darinya, aku terdiam kembali dan memperhatikan perawat berseragam hijau itu. "Mereka memang melakukan setiap tahun, sebagai dokumentasi kegiatan rumah sakit. Biasanya memang terjadi di akhir tahun seperti ini."
"Bagaimana kau tahu?"
"Hei. Bukankah aku sudah menceritakannya padamu. Aku sudah lama berada di sini, Ahmad. Aku hanya sedang mengincar seseorang di sini.'
"Mengincar?" Seketika aku menoleh dan menatap padanya.
"Oh, tidak. Maksudku, aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengaku pada ayahku itu."
"Bukankah kau membencinya?"
"Walau bagaimanapun ia ayahku. Suatu hari nanti aku akan mengakui kalau bajingan itu ayahku."
"Bajiingan?" Aku menoleh kembali padanya dan mengernyitkan dahi. "Sebenarnya apa yang kau–"
"Lihat, dia datang," potong Abraham.
Aku mengalihkan pandangan ke arah taman gedung. Di seberang sana, seorang berpakaian batik dan celana hpandng berwarna hitam datang berjalan sambil memperhatikan para pasien. Senyum itu masih melekat di wajahnya. Tak lupa satu lelaki yang selalu berada di sampingnya ikut serta.
Pria itu tampak menunjuk-nunjuk sesuatu atau seseorang di tengah taman. Kemudian berjalan ke arah lelaki yang sedang memegang benda bernama kamera. Lelaki itu menundukkan kepalanya tanda hormat lalu mulai merekam kembali. Kali ini sepertinya akan merekam Tuan Moesas yang sedang berbicara pada perawat sambil mengusap-usap kepala pasien yang berobat ada di sampingnya.
"Lihat, mereka sedang merekam ketidawarasan para pasien di sini." Abraham mengatakan dengan bibir menyungging.
"Bukankah itu yang biasa dia lakukan. Katamu tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
DJAHOEL
Mystery / ThrillerTuhan, jika itu perintah-Mu, tunjukkan padaku bagaimana cara untuk kembali. Seorang remaja muslim dengan keterbatasan mental yang mempertanyakan Tuhannya. Suatu hari tanpa sengaja dia membunuh ibunya sendiri dan harus dijebloskan ke dalam rumah saki...