BAGIAN 15

26 3 0
                                    

Bersama ibu, aku dibawanya menaiki bus, kendaraan berbadan besar. Sedangkan ayah sudah lebih dulu berangkat menggunakan motornya. Aku terduduk di samping ibu. Selama beberapa jam itu, aku hanya bisa melihat keluar jendela, memandangi bangunan-bangunan, kabel-kabel yang tampak berlari saat mata ini fokus pada panjangnya seiring laju bus. Kadang kumenemukan gunung yang sangat dekat, aneka pohon, serta sungai ketika kendaraan ini melewati jembatan.

Tepat di sebuah gerbang tanpa pintu, bus berhenti. Dipangkunya aku untuk turun. Setelah kendaraan berwarna biru putih itu melaju kembali, ibu tak langsung masuk. Ia seperti menunggu. Wajahnya cemas memandang jauh ke ujung jalan di mana arah bus tadi datang. Setelah beberapa lama kemudian, tampak ayah bersama motor merah putih kesayangannya.

“Kenapa tidak langsung masuk?” tanya ayah. Ibu tak menjawab dan hanya mengerutkan keningnya. “Ayo, masuk.”

Bocah-bocah dengan sarung dan peci berlalu lalang di sekitar halaman. Aku yang digendong ibu di belakang jok motor, dapat melihatnya. Mereka tampak menengok ke arah kami. Motor melesat di antara bocah-bocah itu, ada senyum di wajah mereka. Tempat tinggal kakek-nenek adalah sebuah pesantren kalafi. Pesantren yang terletak di tengah-tengah kampung, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak bisa mengakses sekolah formal. Aku tahu karena ayahnpernah menceritakannya di kamar.

Seorang wanita berkerudung putih dengan sapu lidi di tangan kirinya menyambut kami. Ia berdiri di halaman melihat ke arah kami dengan senyuman. Mendadak kerut di dahinya tampak, menambah kesan sinis yang pada matanya setelah mrlihat ke arah Ibu. Ia segera menyimpan sapu itu di dinding bak sampah tak jauh di sampingnya.

“Assalamualaikum,” salam ayah padanya setelah menghentikan motor tepat di hadapannya. “Ummi.”

panggilnya menyambut punggung tangan wanita itu dan mendaratkan ciuman padanya.

“Apa kabar kamu, Sahlan?”

“Baik, Ummi," sahut Ayah.

Ketiga giliran Ibu akan menyalami, wanita itu hanya menyentuh seujung jari tengahnya dan segera menarik kembali tangannya yang berkeriput. Kemudian merangkul lengan anaknya untuk diajaknya masuk ke dalam tanpa memedulikan ibu yang sedang menggendongku. Saat itu aku menyadari betapa buruk hubungan ibu dengan orang tua ayah.

  °°°°°

Malam itu adalah malam takbir. Ayah memangku tubuhku yang sudah lengkap dengan gamis dan peci putih yang dipakaikan ibu dan dibawanya ke mesjid yang ada di tengah area pesantren. Semalaman, ayah dan para santri mengumandangkan takbir menyambut Hari Raya. tak sedikit santri-dantri mengerumuniku, menyanjung-nyanjung si cucu pemilik pesantren ini. Senyum yang berseri-seri dari wajah mereka ketika mencoba menyuruhku untuk mengikuti lantunan takbir dengan mendekatkan mikrofon ke bibirku. Namun, aku yang terduduk di dekapan ayah, bersila, tak mematuhinya, hanya bisa diam.

Menurut cerita ayah, para santri ini adalah anak-anak yang tidak bisa pulang untuk berlebaran di rumahnya karena berbagai alasan, sebagian dari mereka adalah yatim atau piatu atau pun keduanya. Mereka memilih tinggal karena lebih senang berhari raya di pesantren, bahkan, justru keluarga mereka lah yang berbondong-bondong sengaja datang ke sana untuk mengikuti solat Idul Fitri.

Abah Rasyid adalah tokoh yang dihormati di kampung. Ayah dari ayahku ini merupakan sosok yang ramah namun tegas. Namun, entah untuk alasan apa, ia sangat membenci Ibu.

Aku melihat sendiri bagaimana kebencian itu. Saat selesai salat berjamaah di pagi hari setelah salat subuh itu, Ayah dan Ibu menangis di hadapan Kakek dan Nenek. Bersimpuh meminta maaf. Mereka mengusap-usap kepala Ayah, tetapi tidak dengan kepala Ibu.

°°°°°

Aku sedang terduduk di kamar bersama Ayah ketika suara piring pecah dari arah dapur. Kemudian setelah beberapa lama, terdengar Nenek sedang berteriak-teriak, memaki ibu. Waktu itu aku tak mengerti ada apa. Ayah lalu beranjak dan segera keluar menemui mereka.

Teriakan demi teriakan terdengar jelas, beberapa kali ibu membalasnya. Kemudian disusul suara yah yang menengahi. Melalui jendela kamar, aku melihat beberapa santri yang berada di pekarangan rumah melempar pandangan ke arah datangnya suara teriakan; dapur belakang rumah.

Hingga akhirnya, teriakan itu berhenti. Tak lama, seseorang membuka pintu kamar dengan terburu-buru dan membantingnya kemudian. Ibu terisak-isak sambil beranjak duduk di tepi dipan. Aku menengok ke arah ibu dan melihat dirinya menangis.

Pintu terbuka, ayah menyusul masuk. "Mirna, kamu kenapa?"

"Ibumu itu, Bang. Dari dulu dia memang sudah membenciku." Ibu masih terisak-isak.

"Mirna!" teriak Ayah.

"Apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Hanya hal sepele saja bisa membuatnya berteriak seperti tadi. Dia membenciku, Bang. Di matanya aku hanya seorang gadis murahan dari kota!"

"Kamu jangan berbicara seperti itu, Mirna," ucap Ayah. Ia menghampiri Ibu yang masih menangis terduduk di tepi dipan dan memeluknya.

"Ini semua salahmu. Ini semua salahmu, Bang," ucap Ibu pelan. Lalu ibu melepaskan pelukan Ayah dan beranjak berdiri. "Kalau kau tak menghamiliku, semua ini tak akan terjadi!"

"Mirna, jaga bicaramu. Ada anak kita di sini."

"Biarkan! Biarkan ia dengar! Biarkan dia tahu kalau ibunya hanya seorang pela—"

"Jaga bicaramu!" Ayah berteriak lebih keras.

"Abang tahu darimana asal nama anak kita?"

"Mirna sudah jangan kau mulai lagi!"

Ibu melirikku. Mata itu, mata yang selalu ia tampilkan di rumah sehabis menangis, entah karena apa, ia sering seperti itu. "Orangtuamu mengutukku. Sampai kapanpun mereka akan tetap membenciku, Bang!" ucap Ibu.

Saat itu aku tidak tahu kenapa ibu berkata demikian. Namun, seiring berjalannya waktu dan seiring cacian-cacian Ibu kepadaku, aku mulai mengerti bahwa namaku ternyata adalah pemberian kakek dan nenek sebagai simbol kebencian mereka kepada Ibu.

Adalah Abu Jahal, seseorang yang membenci Nabi Muhammad. Sampai akhir hayatnya, Abu Jahal masih dalam keadaan membenci dan memilih tidak beriman kepada Allah SWT. Dari nama itu lah Nenek dan Kakek memberi nama Ahmad dari Muhammad dan menyandingkannya dengan nama pembencinya. Maka dari sana lah nama itu berasal; Jahal.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang