Sebenarnya aku tidak tahu apa itu cinta. Walaupun sering mendengar kisah-kisahnya melalui cerita radio, lirik-lirik lagu yang sering aku dengar. Akan tetapi, aku tak pernah merasakannya. Seakan-akan itu memang tak pernah ada dalam hidup.
Aku diasuh oleh ibu tanpa ayah. Tidak. Ayahku tidak meninggalkan ibu, hanya pergi, pergi dalam waktu yang sangat lama. Yang aku ingat, ayahku pulang hanya sekali-sekali saja dalam beberapa bulan. Ia pergi untuk mengajar di sebuah pesantren. Ah, mungkin cerita ini akan aku tulis di buku yang Dr. Anna berikan. Sekarang aku sedang tidak ingin memikirkannya.
Intinya: aku dibesarkan tidak dengan cinta, mengingat perangai ibu yang tidak baik kepadaku. Ia tidak membenciku, hanya saja setiap kali ia memandangiku, wajah itu selalu dipenuhi dendam. Mungkin, karena itu juga aku memb- Ah. Sudah kubilang, aku tidak ingin menceritakannya!
Aku sangat sering melihat Dani mencuri pandang pada April; saat pertemuan, saat makan bersama, saat berkumpul di balkon, ataupun saat perempuan itu lewat di hadapannya. Dani akan tersenyum, lekat menatap, dan hanya berpaling jika April berbalik memandangnya. Namun, yang aneh, lelaki itu akan memasang wajah benci saat April mengetahui ia sedang dipandanginya, seolah ia ingin mengenyahkan ekspresi genit itu yang perempuan itu tampilkan setelahnya.
Aku tahu, bahkan semua penghuni gedung ini mengetahui kalau Dani menyukai perempuan yang pandai bermain gitar itu. Namun, entah kenapa, sampai perempuan itu dikabarkan sudah diperbolehkan pulang, Dani tidak pernah berani menyatakan cintanya.
Suara ketukan di pintu kamar terdengar saat aku dan Dani sedang menghabiskan malam sebelum tidur, yang dilanjutkan suara perempuan memanggil, "Hei, ada orang di dalam?"
Dani tahu itu April. Namun, ia hanya sekilas menengok ke arah pintu dan merebahkan kembali kepala di atas bantal setelah sejenak berpikir dan melirik ke arahku. Melihat tatapan itu, aku langsung bangun, segera berjalan menghampiri pintu, dan membukanya.
"Djahoel, apa kau bisa membantuku?" tanya April dengan gaya songong.
"Bantu apa?"
"Mengangkat barang. Kau tahu kan, hari minggu aku akan pulang? Aku sedang mengemas barang-barangku. Besok hari Jumat adalah hari terakhirku berkonsultasi bersama Dr. Anna dan Dr. Dodi sekaligus. Hanya untuk tes terakhir katanya."
"Oh. Selamat, ya, Pril."
Aku sempat melirik kepada Dani yang sepertinya sedang melihat ke arah kami. Namun, ia menurunkan kepalanya kembali saat April dan aku melihatnya.
"Mmm, mungkin, Dani bisa membantumu." Sengaja aku mengatakan itu, agar Dani, mungkin, bisa berbicara pada April saat membantunya. Aku pikir ada yang harus lelaki itu katakan pada perempuan yang disukainya. Selain itu, aku yakin, jikalau aku membantu April, kawanku itu akan cemburu.
Namun, Dani bergeming di atas ranjangnya, menatap ke langit-langit kamar sambil melipat tangannya. Aku yakin kalau ia mengerti kata-kataku tadi, tetapi ia berpura-pura tak mendengarnya.
Sejurus kemudian, April melangkah masuk jauh ke kamar. Bukan untuk menghampiri Dani, akan tetapi, ia menghampiri ranjangku dan melihat buku bersampul cokelat kemerahan.
"Djahoel, aku pinjam ini, boleh?"
"Untuk apa?"
"Lihat saja nanti."
Aku tidak tahu apa itu diperbolehkan Dr. Anna. Namun, mengingat buku catatan itu masih kosong tanpa ada tulisan apapun, aku mengangguk padanya.
"Ambil saja."
April tersenyum, "Terima kasih." Kemudian ia berjalan menghampiriku, mengambil tangan , dan segera menarikku keluar tanpa menutup pintu kembali, meninggalkan Dani yang masih terbaring di atas ranjang. Sekilas, aku melihat Dani mengangkat kepalanya untuk menengok ke arah kami saat aku berjalan di belakang April melalui pintu yang masih terbuka.
°°°°°
"Apa kau punya pacar, Djahoel?" tanya April yang terduduk di bawah ranjang, sementara aku berdiri di atas kursi sedang mengambil barang di atas lemari.
"Panggil aku Ahmad saja," titahku.
"Oh, oke. Apa kau punya pacar, Ahmad?"
Aku menggeleng.
"Apa kau pernah menyukai seseorang?"
Tentu saja, aku tak bisa menjawab pertanyaannya, membisu, dan perempuan itu menyungging. "Bagaimana denganmu? Apa kau punya pacar? Apa kau sedang menyukai seseorang?" Aku balik bertanya padanya, meskipun aku tahu jawabannya, jawaban yang mungkin tak akan ia berikan.
"Aku?" ucapnya, ia mengangkat bahu sesaat kemudian.
Setelah berhasil mengambil koper di atas lemari yang ukurannya besar dan tinggi itu, aku langsung melemparkannya ke atas kasur. Kemudian turun dari sana.
"Apa kau tahu, Dani menyukaimu?" tanyaku. Aku masih berdiri di hadapannya yang tengah sibuk melipat baju. Ia tak menjawab, walau kuyakin dia mendengar dengan jelas pertanyaanku.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan, mungkin ia sedang tidak ingin membicarakannya. Terdengar senandung darinya kemudian. Hatiku tergelitik, dan berandai bisa menyingkap rambut panjang itu yang menjuntai menutup wajahnya saat tertunduk fokus pada apa yang sedang dikerjakannya, aku ingin melihat wajah dibaliknya agar bisa membacanya. Penasaran.
"Apa kau menyukai Dani?" tanyaku lagi. Entah kenapa aku sangat ingin mengetahui dari mulutnya langsung. Walaupun aku tahu pertanyaan itu merupakan bentuk ketidaksopanan. Ia melirikku, sekejap saja, lalu menyingkap rambut itu dengan telapak tangan dari depan ke belakang yang langsung menampilkan wajahnya yang cantik, kemudian tersenyum dengan kedua alis terangkat. Aku tahu, ada yang sedang dipikirkannya.
Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat, aku berbalik, berniat untuk pergi dari kamar itu. Namun, belum juga mencapai pintu, April lantas berkata, "Kenapa kau memberitahuku?"
Aku berhenti melangkah dan langsung berbalik ke arahnya. Ternyata ia sudah dalam posisi berdiri. "Aku hanya ingin kau tahu."
"Lancang sekali, kau!" ucapnya lantang. Aku mengernyitkan dahi. "Bukannya kau temannya? Kau seharusnya merahasiakan itu!"
"Aku tahu."
"Lantas, kenapa kau memberitahuku?" tanya perempuan itu lalu melipatkan tangan di dada. "Kalau memang dia sungguh-sungguh menyukaiku, kenapa tidak dia katakan langsung kepadaku!"
"Aku, a-aku..."
"Sudahlah! Aku tidak ingin tes terakhirku besok terganggu karena harus memikirkan laki-laki seperti kalian!" ucapnya. Ia melepaskan lipatan tangan itu hingga menjuntai di kedua sisi tubuh kurusnya. Kemudian beranjak duduk di ranjang, mengambil koper dan memasukkan pakaian-pakaian yang sudah ia lipat sebelumnya. Gerakannya cepat dan tegas, cenderung tergesa-gesa. Hingga ia berhenti dan menghembuskan napas berat. Kesal.
"Kau tahu keadaan dia, kan?" tanyaku. Ia melirikku. "Aku yakin kau tahu. Dan dia pun tahu bagaimana keadaanmu. Maka dari itu, aku berpikir, jika salah satu dari kalian tidak ada yang mengungkapkan, kalian tidak akan pernah bersatu."
Aku berbalik kembali dan mulai melangkah pergi dari hadapannya. Ketika aku akan menutup pintu kamar, aku melihat ia masih menatapku dengan dahi yang berkerut, sampai daun pintu benar-benar menghilangkan pandangannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DJAHOEL
Mystery / ThrillerTuhan, jika itu perintah-Mu, tunjukkan padaku bagaimana cara untuk kembali. Seorang remaja muslim dengan keterbatasan mental yang mempertanyakan Tuhannya. Suatu hari tanpa sengaja dia membunuh ibunya sendiri dan harus dijebloskan ke dalam rumah saki...