BAGIAN 22

22 3 0
                                    

Dr. Anna memeriksa satu persatu berkas-berkas yang tertata rapi di atas mejanya. Sesekali kernyitan di dahinya tampak dan semakin kuat saat membaca satu berkas terakhir. Aku terduduk di kursi sambil memandanginya, menunggu, sepertinya dia akan berbicara hal penting padaku.

"Ibu tidak mengerti, kenapa Tuan Moesas dengan lancangnya mengambil keputusan sendiri. Tiba-tiba saja dia berkata kau harus hari ini, padahal sebelumnya dia sendiri yang bersikeras untuk kau tetap di sana." ucap Dr. Anna. "Entah ada apa dengannya," tambahnya.

"Aku pindah hari ini?" tanyaku, mempertanyakan satu-satunya kalimat yang kumengerti dari ocehannya tadi.

"Iya. Kau pindah ke gedung belakang lagi." Dr. Anna menutup berkas itu dan meletakkannya di atas berkas lain dengan hati-hati. "Oh, iya. Kau ada teman baru yang sekamar denganmu."

"Siapa?"

"Kau mengenalnya. Dia pernah beberapa kali ikut pertemuan kita. Ronny namanya. Kau kenal dia, kan?" tanya Dr. Anna.

Aku sedikit terkejut, kenapa lelaki itu bisa ikut bergabung di rumah sakit ini sebagai pasien. Apa dia sedang merencanakan sesuatu? Kalau dari ucapan-ucapannya terdahulu saat kami bertemu di belakang gedung itu, sepertinya demikian. Aku jadi penasaran, siapakah dia sebenarnya?

Tapi, tunggu! Aku jadi teringat tulisan yang terukir di batu besar belakang gedung itu: Abraham van de Moesas'. Dia memperkenalkan namanya padaku sebagai Abraham. Dan Moesas adalah nama pemilik rumah sakit ini. Lalu, apakah dia...?

"Ibu, aku ingin bertanya. Apakah Tuan Moesas mempunyai anak?"

"Anak?" Dr. Anna tampak terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa kau tanyakan itu?"

"Aku hanya ingin tahu."

"Oh. Setahu Ibu, Tuan Moesas tidak menikah." Dr. Anna menatap mataku saat mengatakannya. Seakan ia tahu sesuatu yang tak boleh kutahu. Merasa terintimidasi oleh tatapannya. Aku menengok ke arah lain.

Hingga akhirnya aku mulai jengah dengan suasana di dalam ruangan. Dia terus menatap. Aku pun memutuskan untuk pergi ke kamarku. "Aku pergi dulu, Bu," ucapku untuk berpamitan. Aku beranjak berdiri untuk segera pergi.

"Baik, Ahmad," ucapnya. "Oh iya, Ahmad, satu lagi. Sekarang di gedung itu sudah ada penjaga yang akan mengecek di malam hari. Mulai sekarang kau tidak boleh keluar malam."

"Baik, Bu," ucapku. Kemudian aku meneruskan langkahku yang sempat terhenti.

"Jika kau ingin bicara pada ibu, pastikan dilakukan sebelum magrib," tambahnya. "Oke, baiklah, Ahmad sampai jumpa di pertemuan besok." Dr. Anna tersenyum.

Setelah kata-kata itu, aku terus melangkah, dan sempat menengok pada satu pigura foto satu keluarga yang terpajang di dinding menuju pintu keluar.

°°°°°

Seorang petugas penjaga melihatku dengan tatapan sinis, saat aku baru saja tiba di pintu gedung belakang, gedung yang sudah hampir dua bulan aku tinggalkan. Sekarang aku tak tahu lagi bagaimana keadaan di sana semenjak gadis pemain gitar itu sudah terlebih dahulu pulang, disusul kekasihnya, Dani, tadi siang.

Aku berjalan menapaki tangga, seorang berpakaian seragam satpam kembali terlihat di atas sana. Aku jadi berpikir, berapa penjaga yang yang ditugaskan di gedung ini? Setelah melewatinya, dia sempat melirik kepadaku, dan memasang wajah sinis, sama seperti pria yang di bawah tadi. Hingga aku samai di pintu kamar, pria itu masih mengawasi.

Aku membuka pintu dan melihat kamarku kosong. Aku pikir Abraham-atau Ronny, pria yang disebut menjadi teman sekamarku sekarang, akan ada di sana, tetapi tidak. Namun, aku tak ingin memperdulikannya. Lantas aku berjalan ke ranjang milikku dan berbaring di sana.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang