BAGIAN 8

26 4 0
                                    

Aku melihat Dani duduk di bangku taman tempat biasa aku berada di sore hari, ketika aku berjalan menuju ke sana. Yang membuatku agak kesal adalah: dia duduk bukan hanya di bangku itu, tetapi tepat di satu sisi tempat biasa aku duduk. Aku tahu ia sedang ingin berbicara denganku. Kalau bukan untuk hal itu, lantas apa lagi?

Aku menepuk bahunya bermaksud untuk memintanya bergeser ke sisi lain bangku, tetapi ia tak menggubrisnya. Ia lalu menatapku sekilas. Sadar kalau ia tidak akan memberikan sisi yang ia duduki, aku lantas beranjak menuju satu sisi lainnya dan duduk di sana.

Pemandangan taman hijau tempat berkeliaran para pasien kini aku tak bisa melihat dengan sempurna karena terhalang punggung dan kepala berambut ikal milik Danny. Entah kenapa, sudah menjadi kesenangan tersendiri bagiku memperhatikan para pasien dengan gangguan kejiwaan. Tingkah laku mereka selalu membuatku berpikir tentang kehidupan, berpikir tentang pertanyaan yang pernah aku ajukan pada sahabatku, juga pada Tuhan ketika aku sendirian: Kenapa Tuhan harus menciptakan?

"Apa April sudah menyelesaikan tes terakhirnya?" Dani berbalik ke arahku dan bertanya.

"Aku tidak tahu."

Sekarang pemandangan itu harus aku lupakan, karena penglihatanku kini harus diarahkan pada wajah Dani yang sepertinya akan mengajakku bicara. Walaupun kemudian ia berbalik sehingga menampilkan setengah bagian wajah serta tubuhnya. Ah, kenapa mereka tak membuat bangku ini mengarah langsung ke taman saja! Aku menyerah, lalu duduk dengan menyamakan posisi tubuh mengarah ke mana Dani memandang: Koridor.

"Dia akan pulang besok," ucapku.

"Aku tahu."

"Setelah itu, kau mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya."

"Kata siapa? Aku masih bisa mencarinya di luar sana nanti." Sejenak ia menengok ke arahku lalu bergerak memundurkan punggung sampai tersandar. "Yang aku takutkan bukan tidak bisa bertemu lagi dengannya, tetapi tidak bisa terus bersamanya. Aku sangat yakin kalau April juga menyukaiku. Sebenarnya mudah bagiku untuk mendapatkannya. Namun, aku takut, aku takut, Ahmad." Aku melihat setengah wajah itu lagi yang kali ini menengadah menatap langit. "Aku takut. Kau tahu keadaanku, kan, Mad?

Aku tidak tahu. Hah. Ingin sekali aku mengatakan itu, karena aku tak akan pernah bisa memahami kalian para pecinta, setidaknya untuk sekarang. Namun, yang aku tahu, semua penghuni gedung belakang rumah sakit tahu bahwa dia–lelaki ini– takut kehilangan seseorang yang dia cintai akibat trauma yang ia dapatkan dari kejadian di masa lalu.

Setelah beberapa bulan bersama, aku–kami– mengetahui banyak tentang Dani. Ia adalah korban perselingkuhan ibunya. Ketika ayahnya terbaring koma di rumah sakit karena penyakit jantung, ibunya malah bercinta dengan lelaki lain. Tak hanya sekali, tetapi beberapa kali. Dan lagi, perbuatan laknat itu disaksikan oleh Dani yang saat itu masih berumur sepuluh tahun.

Hal itu menimbulkan kebencian terhadap ibunya, kekasih gelap ibunya yang setelah kematian ayahnya menjadi ayah tirinya, dan adik tiri yang setahun setelah pernikahan ibunya lahir. Kebencian yang teramat sangat. Hal itulah yang menjadikan dia membenci semua perempuan di dunia ini.

Itulah yang diceritakan Dani selama beberapa bulan ini. Walaupun mungkin ada yang tidak ia ungkapkan dan hanya Dr. Anna dan Dr. Dodi yang mengetahui. Setidaknya, dari sana aku tahu bahwa dirinya tak akan pernah menyatakan cinta pada April. Entah kenapa ia bisa mencintai perempuan yang perangainya mirip ibunya. Aku berpikir, mungkin, dengan cara itulah Tuhan akan membalikkan hatinya, dengan cara itu lah Tuhan ingin dia sembuh.

"Kau tahu, Ahmad. Aku pernah hampir membunuh. Tidak hanya ibuku, tetapi juga ayah dan adik tiriku." Aku langsung melirik wajahnya. Lelaki itu mengeluarkan rokok dan pemantik dari saku kemudian menyalakannya. Entah sejak kapan ia merokok, atau aku tahu pernah tahu? Ah, sepertinya masih banyak yang aku tidak tahu, padahal kami sekamar.

"Sejak kapan kamu merokok?" tanyaku.

"Aku merokok jika sedang cemas. Kau tidak tahu?"

"Aku tidak tahu. Juga kau belum pernah bercerita tentang itu."

"Tentang apa?"

"Kau hampir membunuh keluargamu."

Ia menghisap dalam-dalam satu batangan putih berbau tembakau itu, lalu mengembuskannya sekali dengan pelan hingga asapnya membumbung tinggi di sekitar taman. Aku tidak tahu apakah para suster tidak akan menegurnya. Yang aku tahu, di lingkungan ini dilarang merokok, meski tak sekali aku krndmukan para penjaga atau staf juga melakukan hal yang sama. Dani lalu membungkuk, menyenderkan siku tangan pada pahanya, dan mulai berkisah tentang kehidupannya di masa lalu yang belum pernah kuketahui.

"Waktu itu mungkin umurku masih tiga belas tahun saat hampir membunuh adik tiriku yang masih bayi. dia tidur di ranjangnya, aku mencekiknya. Aku benci, yang bahkan tak tahu kenapa aku membencinya. Namun, aku ketahuan ibu. Ayah tiriku menghajarku kemudian. Ibu menangis sambil menggendong bayi itu, sama sekali tak membelaku.

Dua tahun kemudian, aku sudah remaja, tubuhku sudah lebih kuat dan hampir sama tinggi dengan ayah tiriku. Suatu hari, seperti biasa, sesuatu memancing dia marah, aku sendiri lupa akan hal apa, dia mengamuk dan menghajarku. Tidak seperti sebelumnya, aku melawan, balik menghajarnya, hingga ia jatuh akibat pukulanku di dadanya. Aku yang sangat membencinya lalu menduduki tubuhnya dan menghantam wajahnya beberapa kali sampai puas.

Dan terakhir, setahun yang lalu, aku hampir membunuh ibuku. Dia menyebutku anak haram. Dari sana aku tahu bahwa aku ternyata bukan anaknya. Aku beringas, mengambil pisau, lalu mengejar ibuku yang lari ketakutan, hingga ia terjatuh saat hendak kabur ke halaman belakang rumah. Aku masih menggenggam pisau itu lalu mendekatkan wajahku ke wajahnya dan berteriak-teriak padanya. Sungguh, aku hanya berniat menakut-nakutinya, tetapi para tetangga memandang lain perbuatanku itu. Aku bisa melihat wajah ibuku yang sangat ketakutan saat itu.

Aku ditangkap polisi, tetapi dilepaskan kembali karena ayah tiriku memberi jaminan. Entah kenapa ia melakukan itu. Namun, akhirnya aku harus menjalani pemeriksaan kejiwaan, menjalani serangkaian terapi. Hingga beberapa bulan lalu, kasusmu itu ramai dibicarakan orang-orang. Ayah tiriku memutuskan untuk membawaku ke sini. Entah dari mana ia mengenal Tuan Moesas yang menyarankanku masuk rumah sakit ini."

"Kau membenci keluargamu dengan alasan yang tak kau pahami?"

"Iya, untuk itulah kita berada di sini, bukan?" Dani merebahkan kembali punggungnya ke sandaran bangku.

"Lantas, apa hubungannya dengan April? Dia tidak ada kaitannya dengan semua itu. Dia hanya orang baru yang datang di kehidupanmu. Mungkin ia agak mirip ibumu, tetapi tak ada alasan untuk membencinya. Kau bahkan mencintai perempuan itu, kan?"

"Aku tidak tahu apa dia bisa mengubah sifatnya yang...."

"Aku berpikir itu bukan masalah. Bukankah ia di sini untuk mengubah itu. Lagi pula, ia sudah banyak berubah sejak enam bulan lalu aku bertemu dengannya."

"Dia hanya berubah untuk kehidupannya sendiri, bukan untuk hidup bersamaku. Aku tidak yakin, jikalau aku menjalani hidup bersamanya nanti, apakah ia akan tetap dengan perubahannya itu?" Dani beranjak dari tempat duduknya, berdiri, melempar puntung rokok ke tanah, dan menginjaknya.

"Maka dari itu, jika kau memang mencintainya, hiduplah bersamanya. Kalian bisa saling menjaga agar tetap terap pada perubahan yang kalian dapatkan di sini," ucapku. Sejenak ia terdiam menatap koridor jauh di hadapannya. Kemudian, ia berjalan pergi meninggalkanku terduduk sendiri dan aku hanya bisa menatap punggung lelaki itu.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang