Suara gemerincing kunci-kunci terdengar, diikuti suara pintu yang menderit akibat dorongan yang kuat dari luar, dan diteruskan dengan suara yang sama saat mereka membuka pintu lapis kedua yang merupakan pintu masuk kamar isolasi yang sedang kutempati. Seorang petugas penjaga masuk dan memberitahu bahwa aku akan segera pindah dari ruang itu. Aku yang sedang terduduk di tepi kasur langsung berdiri ketika petugas itu memerintahkannya.
Sebenarnya aku sama sekali tidak senang dengan pemindahan itu. Entah kenapa, mungkin untuk satu hal, aku merasa sudah nyaman berada di sana. Satu bulan atau dua bulan? Yang pasti lebih lama saat aku menunggu Dr. Anna datang dari Jerman saat diminta untuk menangani pasien sepertiku untuk pertama kalinya di rumah sakit jiwa itu.
Setelah melalui dua lapis pintu itu, aku digiring berjalan menelusuri lorong untuk keluar dari lantai bawah tanah gedung utama. Begitu sampai di luar mataku terasa sedikit sakit, cahaya itu terlalu terang. Belum sempat aku menutup mataku dengan tangan, petugas itu mendorongku untuk melanjutkan langkah.
"Lekas mandi, ada tamu yang akan berkunjung untuk menjengukmu!" ucap petugas itu saat kami tiba di kamar mandi. Kemudian pria kurus berseragam itu pergi setelah memintaku mendatanginya di sana lima belas menit lagi. Dia menyodorkan pakaian yang harus aku kenakan lalu pergi.
Siapa yang mengunjungiku?
Pertanyaan itu terus muncul saat aku melakukan ritual membersihkan diri dengan air dari pancuran di atas. Hampir setahun aku berada di rumah sakit jiwa itu, baru sekali dikunjungi.
Ayah? Ah, siapa lagi kalau bukan dia. Siapa lagi orang yang mungkin akan datang berkunjung selain keluarga. Dan satu-satunya keluarga yang aku miliki hanya ... beliau.
Aku keluar setelah berpakaian, yang menurutku agak sedikit rapi dan formal, kemudian pergi ke depan gedung. Aku tidak melihat petugas itu, padahal dia sendiri yang menyuruhku menemuinya di sana. Namun, tak lama kemudian, dia datang bersama Dr. Anna.
"Ahmad," sapa Dr. Anna. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia melihat pakaianku dari atas ke bawah, seperti memastikan sesuatu.
"Dr. Anna," pangilku.
"Iya."
"Siapa yang mengunjungiku?"
Dr. Anna sempat melirik petugas itu. "Ayahmu." Jawabannya sudah sangat jelas.
"Ibu, mengeluarkan aku karena ayah menjengukku?"
"Itu bukan perbuatanku, Ahmad." Dr. Anna menatapku tajam, seakan mengetahui bahwa apa yang ada di pikiranku sama dengan yang ada di pikirannya, tentang siapa yang dia maksud. "Oh iya, Ahmad, dia ingin kau tidak menceritakan tentang April, seorang yang kau ... lukai. Juga tentang kau yang masuk ruang isolasi. Ceritakan saja tent–"
"Tenang, Dr. Anna, aku mungkin tidak bicara padanya," potongku. "Aku tidak pandai bercerita."
Dr. Anna menyungingkan senyum. "Oke, baiklah. Ayo pergi sekarang. Ayahmu sudah menunggumu lama." Dengan pakaian putih khasnya itu dia berbalik, memasukkan telapak tangannya ke saku, lalu berjalan mendahuluiku.
Aku berjalan di belakang Dr. Anna dan petugas itu. Hingga akhirnya tiba di gedung depan. Kami melewati ruang-ruang administrasi, beberapa pekerja kantoran terlihat serius mengerjakan sesuatu di belakang mejanya.
Hingga hampir tiba di satu ruang yang kutahu dipergunakan untuk menerima para pengunjung, seketika langkahku terhenti. Aku melihat Dani, kawanku, yang kekasihnya hampir aku bunuh, berdiri di taman bersama dua orang dewasa. Mungkin itu adalah orang tuanya. Aku jadi bertanya-tanya, Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih membenciku?
"Ayo, Ahmad," pamggil Dr. Anna.
Kemudian petugas itu menghpiriku untuk membawaku. "Dani. Anak itu akan pulang hari ini," katanya. "Ayo, jalan!" Paksa sang petugas. Rupanya, petugas itu tahu apa yang sedang aku perhatikan.
Dani? Pulang hari ini?
Entah kenapa ada sesuatu yang janggal, ada sesuatu yang belum aku sampaikan padanya. Maaf? Mungkin. Namun, aku yakin dia memaafkan aku, tapi bukan itu. Masih dengan pikiran itu, aku melanjutkan langkah kembali.
°°°°°
Aku pun memasuki ruangan pertemuan. Tampak di sana ayahku sedang berbincang di kursi sofa yang mengelilingi karpet bercorak merah dengan pria berwajah bule. Itu adalah tuan Moesas. Terlihat juga perempuan berkerudung putih duduk di samping ayahku dan menyadari kedatangan kami.
"Tuan, Bapak Sahlan, apa kabar?" sapa Dr. Anna. Kecuali Tuan Moesas, mereka; ayah dan perempuan berkerudung itu kemudian segera berdiri menyambut kedatangan kami.
"Apa kabar, Bu Dokter?" tanya Ayah.
Selanjutnya, sebuah percakapan basa-basi tak terhindarkan. Tuan Moesas tampak jengah dengan apa yang dia saksikan. Dia melirik Dr. Anna seakan memberitahunya untuk lekas duduk. Sang dokter mengerti lalu segera duduk di samping ayah. Sementara aku masih berdiri.
"Ahmad, Kemari, ayo, sapa ayahmu," ajak Dr. Anna.
Akan tetapi, aku terdiam, tak menuruti permintaan Dr. Anna. Aku malah tertarik pada perempuan yang duduk di samping ayahku. Aku tahu dan paham siapa dia. Aku hanya ingin melihat sosok ibu tiriku itu.
"Ahmad, apa kabar?" tanya ayah.
"Baik, Pak."
Pertemuan yang sangat canggung. Meskipun sebenarnya aku merindukan ayahku itu, tetapi ada sesuatu yang lain, yang sedang aku pikirkan. Aku pun beranjak duduk si samping ayahku. Setelah itu aku hanya diam tak bicara.
Berbeda dengan Dr. Anna, ia terus berbicara mengenai perkembangan kondisiku di rumah sakit jiwa itu, yang sesekali diselingi oleh ucapan Tuan Moesas, yang terdengar seperti pujian-pujian berlebihan untuk meninggikan kelebihanku. Hanya saja cara bicaranya yang bijak, membuat ayah mungkin percaya.
Di tengah-tengah percakapan itu, tiba-tiba seorang anak perempuan berkerudung sekitar umur lima tahunan masuk ke dalam ruangan. "Ummi, Ummi." panggilnya.
Perempuan yang duduk di samping ayahku segera berdiri dan menghampiri anak tersebut lalu memangkunya kemudian dibawanya menjauh dari kami. Dalam hati, aku bertanya-tanya, siapakah anak itu? Mataku terus melihat kepergian mereka keluar ruangan.
Ingin aku menyusul mereka. Mungkin aku akan bertanya tentang siapa dan bagaimana dirinya bisa bersama ayah. Namun, aku tak bisa beranjak dari sofa itu, terdiam, sesekali mendengarkan perbincangannya dan menyahut singkat jika ditanya.
Akan tetapi, sepertinya aku memang tidak bisa lama-lama bersama mereka. Hingga saat berada di titik bosan, aku meminta ijin pada mereka untuk pergi. Aku beralasan ingin melihat taman. Dr. Anna sempat menggeleng padaku, tetapi Tuan Moesas juga menggeleng pelan pada Dr. Anna. Aku pun pergi.
Ada satu kursi di tepi lorong lobi dengan meja di sampingnya, aku duduk di sana sambil memandang taman yang dapat terlihat dari sana walaupun jauh dan sedikit terhalang tembok. Aku ingin menikmati kebebasanku keluar dari ruang isolasi itu. Lama aku terduduk di sana, hingga seseorang datang menghampiri. Itu adalah bocah perempuan berkerudung. Ia membawa sebuah apel merah, setelah memandangku dengan wajah segan, ia menyodorkannya padaku.
"Kakak lapar? Kakak mau apel?"
Aku tak menggubrisnya, hanya melihat sekilas dan beralih kembali pemandangan taman. Gadis itu meletakan apel di meja dan segera duduk di satu kursi lainnya. Seorang perempuan berkerudung lain –ibunya– memanggil dari jauh.
"Aisyah, kemari, jangan ganggu kakak." Gadis kecil itu menengok ke ibunya, lalu melihatku yang masih tak menggubrisnya, kemudian ia turun dari kursi dan segera menghampiri ibunya. Mereka pun pergi.
Seseorang pernah bilang padaku, bahwa jika kau menerima sesuatu dari orang lain, berarti kau menerima orang tersebut sebagai bagian dari hidupmu. Waktu itu aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku tengok satu buah apel merah teronggok di atas meja itu, berpikir, lantas beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DJAHOEL
Mystery / ThrillerTuhan, jika itu perintah-Mu, tunjukkan padaku bagaimana cara untuk kembali. Seorang remaja muslim dengan keterbatasan mental yang mempertanyakan Tuhannya. Suatu hari tanpa sengaja dia membunuh ibunya sendiri dan harus dijebloskan ke dalam rumah saki...