BAGIAN 29

21 1 0
                                    

Suara langkah cepat kami terdengar menggema di lorong gedung. Baik Abraham atau pun aku ingin segera menuju kantor Dr. Anna. Namun, baru saja sampai di pintu penjagaan, kami sudah diadang oleh satpam yang langsung berdiri di balik pintu jeruji besi. Ketika akan membukanya, ternyata pintu itu terkunci oleh gembok dari seberang.

"Buka! Aku ingin bertemu Dr. Anna," teriakku.

Pria berseragam putih hitam itu terdiam sambil menatap kami dengan wajah bingung. Sebab, dia memang tahu bahwa aku baru saja mendapatkan undangan makan malam itu dan akan pulang larut malam. Di sisi lain, ada Abraham bersamaku, di mana dia seharusnya ada di dalam kamar.

"Ngapain kamu di luar, Ronny? Ada apa dengan kalian?" tanya penjaga itu. Wajah bingung itu masih tampak jelas.

"Buka, Pak! Kami harus melaporkan kejadian di–"

"Kami harus bertemu Dr. Anna, sekarang!" ujar Abraham memotong ucapanku.

"Ada apa? Ada kejadian apa?"

"Aaargh! Cepat buka!"

Tersirat ketakutan dari wajah sang satpam selain mimik bingung. Ia masih ragu, dan sepertinya tetap tak mau membuka pintu. "Tidak boleh! Ini sudah larut malam. Sudah di atas jam 10 malam. Silahkan pergi ke kamar kalian," ucap penjaga itu dengan sedikit terbata-bata.

"Aku harus bertemu dengan dokter!" tegasku. Namun tetap saja, penjaga itu masih bergeming.

Kemudian, pria di seberang pintu besi itu mengambil handy talk dan berbicara dengan satu satpam lagi yang sedang bertugas berkeliling gedung. Abraham memegang bahuku dan menarik tubuhku pelan.

"Sudahlah, ayo kita ke kamar," ucap Abraham, yang terdengar tak ada harapan lagi bertemu Dr. Anna malam ini. Aku pun menurut. Lalu kami melangkah mundur dari pintu besi itu, berbalik, dan berjalan di sepanjang lorong itu menuju kamar kami.

Begitu sampai kamar, Abraham langsung terduduk di tepi ranjangnya. Aku tidak tahu kenapa dia tenang-tenang saja melihat aku yang kesal sekaligus bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tak percaya bahwa Tuan Moesas melakukan hal yang ... bahkan aku tak mampu membayangkan apa yang selanjutnya terjadi apabila Abraham tidak datang. Aku tidak tenang. Sebab sepertinya Tuan Moesas tidak akan tinggal diam saja.

"Kau tahu semuanya?" tanyaku, yang kemudian duduk di tepi ranjang mencoba untuk menenangkan diri.

"Sudah kubilang aku tahu semuanya."

"Sudah berapa orang yang menjadi...." Aku tak mampu meneruskan pertanyaan itu.

"Aku tak menghitungnya. Yang pasti semenjak tiba di sini lima tahun lalu, dia sudah melakukannya, mungkin hampir tiap bulan. Terakhir ya si Yoga itu. Para korbannya tak merasakan apapun karena mereka dibius. Tidak sadarkan diri. Kau beruntung aku beritahu."

"Biadab!"

"Sekarang kau mengerti kan kenapa aku harus membunuhnya," tanya Abraham yang kemudian menyinggung. Akun menatapnya kemudian.

"Kau ingin membunuhnya karena dia telah menelantarkan dirimu di panti asuhan."

"Hmm. Sesungguhnya aku sama sekali tidak ingin membunuhnya karena itu. Aku membencinya. Aku ingin dia mati. Akan tetapi dia tetap ayahku. Hanya saja perlakuan bejadnya kepada para pasien tidak bisa dimaafkan. Apalagi dia juga melakukannya padaku."

"Hah? Apa? Dia, ayahmu, melakukannya juga padamu? Bagaimana bisa?"

Lelaki bertampang setengah eropa itu sejenak diam, menghentikan napasnya, dan menatapku. "Aku tidak ingin menceritakannya sekarang."

Aku menatapnya, wajah itu merenungkan sesuatu. Aku menunduk kemudian, menyadari pertanyaanku barusan mungkin membuatnya tidak nyaman, "Maaf," ucapku agak berbisik. Terdengar embusan napas berat darinya. Aku menunduk tak berani menatapnya, dan berusaha mencari apa yang mungkin bisa aku katakan, sebab aku masih penasaran dengan apa yang terjadi dengan mereka; Abraham dan ayahnya itu.

"Aku datang ke sini lima tahun yang lalu bukan sebagai pasien, tetapi sebagai pelamar kerja. Ayahku membutuhkan asisten. Dengan pengalamannya memalsukan identitas, aku melamar. Dan aku diterimanya, bersama ajudan yang sekarang masih bekerja untuknya. Aku pikir seseorang sudah menggantikanku, ternyata dia masih belum mau mencari yang lain."

"Ajudan? Maksudmu, pria berseragam yang selalu setia berada di samping Tuan Abraham?"

"Berhenti memanggilnya Tuan!" ujar Abraham sedikit mengeraskan suara. "Ya, dia. Dia rekan kerjaku dahulu. Ayahku lebih suka memperkerjakan pemuda yang bisa dia pakai."

Aku mengernyitkan dahi. Aku paham maksud kalimat terakhir itu. Kemudian aku bertanya sesuatu yang tak kumengerti, "Jika kau tahu itu ayahku, bagaimana bisa kau mau melakukannya dengannya?"

Sejenak dia terdiam. Mungkin memang pertanyaan itu akan menyakiti perasaannya dan menyulut emosinya. Namun, Aku memilih menunggu. Dengan seringai yang lantas dia pasang, lelaki di hadapanku itu mulai melanjutkan ceritanya untuk menjawab.

"Dia belum tahu aku anaknya. Dengan aku melakukan itu dengannya, dia akan tetap menganggap kalau aku adalah orang lain. Dia akan tetap menganggap aku pemuda kesayangannya bersama saru rekan kerjaku yang lain." Jelas sekali wajahnya geram juga sedih, meski dia berusaha untuk tersenyum, yang membuat aku bingung dengan mimik itu saking anehnya. "Aku ingin membunuhnya, kau mau membantuku, kan?" tanyanya kemudian.

Aku tak lantas menjawab dan sejenak berpikir.

Dia menoleh kepadaku lalu mengucapkan alasan kenapa aku harus membantunya, "Bukankah agamamu menganggap itu perbuatan yang menjijikan dan melampaui batas? Dan bukankah perbuatan itu pantas mendapatkan hukuman? Manusia laknat seperti dia pantas mati, Ahmad!"

Sekali lagi aku tak langsung menjawab.

"Aku berharap dia mendapatkan hukuman, tapi bukan kita yang melakukannya. Kita harus melaporkannya pada Dr. Anna. Biar dia yang mengurusnya dan melaporkannya pada yang berwenang."

"Maksudmu polisi?" tanyanya yang dibarengi dengan senyum sungging. "Apa kau lupa bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Aku? Pengadilan menghukumku dan memutuskan aku harus dijebloskan ke rumah sakit jiwa ini. Itu yang terjadi padaku."

"Yeah. Dan siapa yang merekomendasikan rumah sakit jiwa ini? Padahal waktu itu, setahun yang lalu, belum ada ... kelas? ... bagi kita. Kelas ini baru dibentuk saat kau masuk, saat bajingan itu melihatmu di koran. Dia mengingunkanmu sejak awal."

"Apa?" Aku agak terkejut dengan penjelasan itu.

"Dia menginginkanmu. Itulah kenapa saat ruangan itu bajingan itu menawarkan dirimu menjadi ajudannya. Dia ingin kau bekerja padanya agar kau...." Abraham melirikku. Dia tak meneruskan kata-katanya dan aku sangat paham. "Kau masih muda dan tampangmu lumayan. Lagipula, kau dianggap gila. Itu akan menjadi senjatanya memojokanmu jika kau berontak. Aku kabur darinya. Dan menunggumu datang, aku ingin kita membunuhnya bersama-sama. Hanya saja, butuh waktu yang lama untuk meyakinkanmu."

"Apa itu alasanmu berpura-pura menjadi Ronny?"

Pria muda itu menyungging, "Jadi? Apa kau mau membantuku?"

Meski sangat yakin aku memang harus membantunya, tetapi aku masih belum mau mengiakan permintaanya. "Kita harus tetap melaporkannya pada Dr. Anna atau polisi."

"Apa kamu bodoh? Sudah kubilang itu tak ada gunanya! Para polisi itu akan membela bajingan itu! Apalagi di sini kita pasien, tak akan ada yang percaya kita, Ahmad!"

Aku menatap wajahnya lekat. Kemudian termangu, mungkin benar apa yang dikatakannya. Para polisi itu tak akan percaya pada kita yang merupakan pasien Tuan Moesas. Pun dengan Dr. Anna atau Dr. Dodi, mereka mungkin saja malah akan menganggap mengada-ada ... seperti Yoga waktu itu yang menganggap ada monster di rumah sakit jiwa ini, yang kini kutahu monster itu memang benar-benar ada.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang