BAGIAN 10

27 4 0
                                    

"Ahmad, apa kau sudah menuliskan sesuatu di buku yang ibu berikan?" tanya Dr. Anna saat aku sedang berjalan di lorong menuju keluar gedung. Ia terlihat menggunakan pakaian yang cantik; kemeja biru berenda, celana rok selutut dengan renda-renda putih di sekeliling ujung bawahnya, tangan memegang tas hitam bergaris emas, serta kacamata hitam yang selalu ia bawa.

"Ibu mau ke mana?" tanyaku. Pertanyaan yang entah kenap mesti refleks terlontar.

"Owh." Ia menatapku. "Ibu akan pergi bertemu seseorang."

Aku balik menatapnya. Mungkin karena ini hari Sabtu, aku jadi berpikir sesuatu. "Ibu akan kencan?" tanyaku.

Dr. Anna hanya tersenyum dan itu cukup untukku mendapatkan jawaban mengiakan darinya. Aku pun ikut tersenyum. "Heh, Ibu tadi tanya, apa kau sudah menuliskan sesuatu di buku itu?" tanya Dr. Anna.

"Oh. Belum. Aku tidak tahu harus menulis apa."

"Oh," ucap Dr. Anna. "Oh, iya, Ahmad. April masih ada di kantor administrasi dekat lobi. Apa kau bisa temani dia? Sebenarnya dia akan dijemput tadi pagi, tetapi keluarganya belum juga datang. Padahal sudah siang."

"April?" tanyaku. Aku ingat, buku itu masih ada padanya. "Baik, Bu."

"Terima kasih. Dan sampaikan permintaan maaf padanya karena tidak bisa ikut mendampinginya. Ibu sudah terlambat. Sebenarnya ini harus berangkat pukul sepuluh tadi. Tapi, masih ada April yang belum dijemput."

"Baik, Bu. Akan saya sampaikan."

Aku segera melangkah ke lobi untuk menemui April. Sementara Dr. Anna pergi ke belakang gedung utama di mana kendaraan milik Tuan Moesas terparkir. Ia biasa meminjam kendaraan itu apabila akan bepergian, termasuk saat menemui kekasihnya.

Siang itu sangat cerah, gerah terasa. Sebenarnya aku berniat akan duduk di taman seperti biasanya. Namun, permintaan Dr. Anna menyuruhku menemuina April, aku membatalkannya. Saat aku melewati koridor menuju ke lobi utama, aku melihat Dani terduduk di sana. Aku tidak ingin mengganggunya karena mungkin suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Lagi pula, di sana terlihat panas karena pohon terdekat belum sampai membayangi bangku itu dan membuatnya teduh. Aku pun terus melangkah menghiraukan Dani yang tampak melihat ke arahku.

Ketika sampai di lobi, aku heran saat melihat April duduk di sofa sambil tertunduk dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya.

"April," panggilku. Perempuan berambut panjang itu terkejut. Ia segera berpaling dan menggosokkan lengan ke wajahnya, lalu berbalik kepadaku.

"Eh, Ahmad."

"Kenapa kamu?"

"Tidak apa-apa," ucapnya kemudian tertunduk kembali.

"Keluargamu belum datang menjemputmu?"

Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan. Bukan keluargaku yang akan menjemput, tetapi kekasihku."

"Owh," ucapku. "Sudah lama kamu menunggu di sini?"

April bergeming. Ia masih terduduk menunduk. Sungguh bodoh, kenapa aku menanyakan hal itu. Ah! Aku pun segera menghampirinya dan berniat duduk di sampingnya. Akan tetapi, saat hampir dekat dengan sofa yang April duduki, perempuan itu langsung menengadah menengok ke arahku dengan wajah yang memerah seperti habis menangis.

"Ahmad, maaf, aku ingin sendiri sekarang. Bisa kau keluar, aku bisa menunggu sendirian."

Mendengarnya, aku terdiam dan berpikir tentang keadaannya. Mungkin, ia memang butuh sendiri. Tak menunggu lama, aku pun berbalik dan berjalan keluar meninggalkannya. Padahal, aku belum menyampaikan pesan maaf Dr. Anna.

Aku tahu, tujuan satu-satunya adalah bangku taman. Ada Dani di sana. Aku berpikir, mungkin aku bisa membujuknya untuk menemani April dan agar ia bisa berbicara dengan perempuan itu.

"April masih ada di lobi. Aku lihat ia menangis. Apa kau bisa menemuinya?" ujarku saat tiba di bangku taman dan duduk di sana, di samping Dani. Akan tetapi, Dani terdiam. "Dani? Apa kau mendengarku?" tanyaku. "Mungkin, itu adalah kesempatan yang bagus untuk kau bicara dengannya. Kau tahu, kekasihnya tidak kunjung datang menjemputnya."

Tak lama, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju koridor. Aku tersenyum melihat Dani mau mengikuti saranku. Namun, ternyata aku salah. Setelah sampai koridor, lelaki itu tidak berbelok ke kiri untuk menuju lobi, tetapi ke kanan yang sepertinya akan menuju gedung belakang. Ah. Aku benar-benar tidak mengerti kalian. Senyumku memudar.

°°°°°

Hari beranjak sore. Aku sengaja masih duduk di bangku, memperhatikan ke arah pintu gerbang utama yang agak jauh dan hanya sedikit terlihat, terhalang dinding salah satu gedung. Semenjak siang tadi, aku tidak melihat kendaraan mobil atau motor. Aku berpikir, mungkin April masih berada di sana. Aku pun beranjak dan berjalan menuju lobi.

Saat aku sampai di pintu lobi, terdengar suara perempuan menangis yang dapat kupastikan itu April. Aku pun masuk untuk melihatnya. Benar saja, April sedang duduk sambil tersedu-sedu di sana.

"April?'

"Aaargh!" Tiba-tiba saja perempuan itu menjerit. Aku teekaget karenanya.

Kemudian April berdiri dan mengambil sebuah asbak yang ada di atas meja lalu melemparkannya. Dengan sigap aku menghindari benda yang melayang ke arahku dan terdengar suara pecah menghantam dinding.

"April, kenapa kau?" teriakku.

"Aaarghhh! Kalian lelaki sama saja. Tak ada yang bisa dipercaya!" teriak perempuan itu. Matanya basah, tetapi wajahnya tampak marah dan mengerikan. Kemudian ia mengambil barang-barang yang ada di sana dan melemparkannya lagi ke arahku.

Aku tahu, April sedang dalam keadaan kecewa. Mungkin karena kekasihnya atau keluarganya yang tak kunjung datang. Ia melampiaskannya kepadaku. Di tengah amukannya ia berteriak-teriak dan menangis. Kemudian perempuan itu menghampiri tas dan mengambil sesuatu dari sana. Entah kenapa ia bisa memiliki benda itu, sebuah pisau lipat sudah berada di tangannya. Ia menatapku tajam lalu berteriak dan berlari menghampiriku sambil mengacungkan benda tajam itu.

Aku berteriak memanggil perempuan itu. Panik sekaligus takut, aku berlari ke luar ruangan, tetapi April masih mengejar dan berhasil menyusulku dan langsung mengayunkan tangannya yang sedang menggenggam pisau. Namun, aku berhasil menahannya. Beberapa petugas dan para suster yang melihatku berlari ikut panik.

Dalam keadaan terpojok di dinding, sekuat tenaga aku menahan sabetan tangannya. Tentu saja, meskipun tubuhku kurus, aku masih terlalu kuat untuk perempuan itu. Aku berhasil membalikkan keadaan dengan membanting tubuh April ke sisi satu tembok.

Aku dapat melihat wajah April yang geram. Seketika itu juga, aku merasakan sesuatu yang dulu pernah kurasakan. Wajah itu, wajah geram itu sama persis seperti wajah ibuku yang waktu itu juga berteriak-teriak padaku, memakiku, memaki ayahku. Entah apa yang aku saksikan ini benar; wajah April seketika berubah menjadi wajah ibuku. Dan itu membuatku beringas.

Amarah semakin memuncak ketika seringai melekat di wajah perempuan itu. Geram. Aku mencengkeram leher perempuan itu kemudian dan menggenggamnya sekuat tenaga. Aku tidak peduli apa pun. Yang aku pedulikan adalah melampiaskan amarah dengan menggenggam batang leher perempuan itu sampai puas. Aku bisa melihat wajah April yang tercekat, tersiksa, dan menderita.

Teriakan demi teriakan dari para penjaga dan suster terus terdengar. Beberapa menarik tubuhku agar bisa melepaskan cengkeraman itu. Kemudian, tiba-tiba tubuhku lemas, kepalaku pusing, dan pandanganku berangsur gelap.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang