BAGIAN 5

35 5 0
                                    

Aku berdiri di hadapan gerbang pintu pagar yang terlihat usang dan berkarat serta menjadi tempat merambat tanaman liar. Aku sedang berpikir untuk pergi ke batu besar itu. Meski itu sudah menjelang magrib, tetapi aku penasaran dengan seseorang yang ada di sana tempo hari. Kemudian, tanpa pikir panjang lagi, aku naik dan melompati pintu besi itu.

Setelah tiba di hadapan batu besar itu. Aku tak menrmukan sosok lelaki itu. Sebuah nama yang tergores samar di batu itu mengingatkanku pada nama rumah sakit itu dan pada Tuan Moesas.

Aku mencoba berjalan mengelilingi untuk mencari tahu apa yanga ada di balik batu itu. Namun, aku tidak menemukan apa-apa. Hanya ilalang-ilalang tinggi dan rapat di balik pagar bambu yang sudah keropos dan kotor. Pagar yang terbentang di antara tembok usang itu menghalangi jalan setapak yang entah menuju ke mana. Aku pun berjalan menghampiri.

Aku tidak terlalu yakin dengan pikiranku saat itu. Namun, sesuatu mengusik pikiranku, aku ingin tahu apa sebenarnya yang ada di balik pagar itu. Penasaran. Aku melompati pagar yang tidak terlalu tinggi itu. Sambil terus berjalan, aku menyibak-nyibakkan tangan pada ilalang-ilalang untuk menembus rapat dan banyaknya tanaman liar di sana. Hingga, aku melihat sebuah bangunan yang sudah hancur.

Tidak hanya ilalang dan rumput-rumput liar mengelilingi bangunan hancur itu, tetapi pohon-pohon yang tinggi dan rimbun, menjadikan tempat ini gelap dan terpencil, seolah memang sengaja dibuat tersembunyi.

Ketika aku sudah berdiri di depan bangunan itu, aku melihat kayu-kayu yang lapuk itu hitam seperti bekas terbakar. Tidak hanya pintu, tetapi hampir seluruh bagian atapnya yang ambruk ke lantai.

Saat berada di dalam, aku menemukan sebuah benda dari bahan logam yang terlihat seperti bentuk kubah di antara tumpukan puing-puing tembok dan genting. Hitam dan kotor. Apakah tempat itu dulunya sebuah masjid? Lalu, kenapa hancur dan ... terbakar?

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" Tiba-tiba saja sosok berjubah itu sudah berada di ambang pintu. Aku bergeming dan tak tahu harus menjawab apa. "Kau tahu ini apa?" ucapnya dan mulai melangkah menghampiri.

"Masjid?" jawabku. "Kenapa bisa ada masjid di sini?"

"Kenapa kau bertanya padaku? Kenapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri? Kenapa bangunan ini harus ada di sini?" Nadanya sinis dan meninggi. Ia menatapku kemudian, setelah berdiri di sampingku menghadap puing-puing yang ditengahnya terdapat kubah yang hitam.

"Kenapa kau berada di sini? Apa yang kau lakukan di sini sebenarnya?" Aku bertanya. Akan tetapi, tak ada jawaban darinya. Matanya menatap lurus benda di hadapannya. Tajam. Seakan kebencian membalur wajahnya.

"Kau tahu apa yang aku benci dari orang-orang sepertimu?"

"Apa?" Aku langsung memusatkan perhatian pada apa yang akan dia katakan.

"Aku diajarkan untuk membenci kaum sepertimu," ujarnya. "Semenjak kecil, aku hidup di asrama anak-anak Yahudi di Jerman. Aku tidak pernah tahu siapa ayah dan ibuku. Menurut catatan, ibuku yang mengirimmu ke sana, saat aku masih berumur tiga tahun."

"Lalu, apa hubungannya itu dengan kebencian terhadap orang-orang sepertiku? Apa yang kau benci dari orang-orang sepertiku?"

"Bukankah menurut kalian, darah kami halal untuk dibunuh? Bukankah menurut kitab suci kalian, kalian memerangi kaum kami?"

Aku bergeming mendengar kata-kata yang keluar darinya. "Tidak selalu seperti itu," ucapku.

"Tidak? Kalau tidak, kenapa kalian tidak mau mengalah saja dengan tanah yang kami tempati. Kita bisa hidup berdampingan tanpa harus ada yang teraniaya...."

Ia terus saja mengoceh tentang kebenciannya terhadap orang-orang sepertiku, orang-orang yang menurutnya sangat biadab. Pikirnya, mana ada agama atau ajaran Tuhan yang menyuruh memerangi agama lainnya. Aku jadi berpikir bagaimana ia dibesarkan dengan pemahaman yang salah kaprah itu. Aku meyakini bahwa dari sana lah ketidakwarasannya berasal.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang