BAGIAN 17

22 3 0
                                    

Lalu lalang kendaraan dan orang-orang di sepanjang jalan tak begitu aku pedulikan. Beberapa pasang mata dengan alis terangkat sesekali tampak melihat ke arahku yang diakhiri dengan kernyitan. Aku terus melangkahi di tepi jalan raya menelusuri malam tanpa arah tujuan.

Sempat aku berdiri di sebuah bangunan toko dan kudapati diri dalam kaca jendela. Kutatap sosok berbaju dan celana pendek ketat membentuk paha yang berlumuran darah itu. Wajah berkumis tipis tampak pucat, matanya sayu tapi tajam menatap. Aku tidak pernah benar-benar melihat diriku sendiri seutuh itu; dari ujung bawah tanpa alas kaki, hingga atas kepala dengan rambut pendek ikal yang tampak kusam dan agak berantakan.

Pikiran-pikiran lama terbangun, membawaku menjelajahi masa-masa kelam, juga pemahaman sesat tentang mengapa manusia sepertiku diciptakan.

Tiba-tiba, cahaya lampu dari dalam toko menyala, menghilangkan sosok bayangan itu seketika. Entah sudah berapa lama aku berdiri di sana. Kemudian, aku mulai berjalan kembali, menelusuri jalan trotoar tanpa tahu akan ke mana.

Lihatlah, hari berganti

Namun tiada seindah dulu

Datanglah, aku ingin bertemu

Untukmu, aku bernyanyi

Terdengar nyanyian dari seorang pengamen jalanan, riuh samar nun jauh di sana. 'Ayah' dari Rinto Harahap, nama dan judul itu sering kudengar dari seseorang dalam radio–satu-satunya benda yang menemaniku selama bertahun-tahun–. Entah kenapa aku bisa mengingat hal itu. Mungkin, karena lirik yang bercerita tentang sosok yang aku inginkan kehadirannya dahulu.

Lalu, entah bagaimana dengan anak-anak jalanan itu, mengapa mereka menyanyikan lagu yang bercerita tentang kerinduan? Apakah keadaan mereka sama dengan diriku–merindukan sosok ayah– atau hanya sekedar menyanyikannya saja, meramaikan malam minggu di pinggiran jalan kota.

“Djahoel.” Seseorang memanggil tak jauh di belakang. Aku berhenti berjalan tanpa kemudian berbalik untuk mengetahui siapa itu. Namun, suara itu memanggilku sekali lagi, tepat di belakangku sambil menepuk pundak. "Heh, Djahoel! Kenapa kau ada di sini malam-malam? Nggak biasanya.” Ternyata itu kawan sekolahku, Andre.

Dia bergerak satu langkah agar bisa berdiri di hadapanku. Sedangkan otakku masih berpikir untuk menjawab pertanyaannya. Ini pertama kalinya aku berada di jalanan malam hari, sendirian. Aku hanya bisa menatapnya.

“Ah, kenapa pula kau punya pakaian merah-merah? Habis bunuh orang kau, ya? Ha-ha-ha.” Tentu saja, itu adalah gurauan. Kawanku tak mengetahui kalau yang dikatakannya adalah kebenaran. “Cuci dulu! Tengok sana, ada WC umum. Pergilah sana!" Andre menunjuk sebuah bangunan segi empat di belakang pedagang kaki lima yang terlihat kumuh, tempat itu ada seberang jalan sana.

Gelap. Basah. Kotor. Gemerencik air terdengar jatuh dari bak melalui pipa menghantam lantai yang licin oleh kotoran lendir yang melekat beserta lumut. Seseorang sepertinya lupa menutup kembali kocoran air dari pipa bak itu. Aku pun membasuh darah yang melekat di baju pada pancuran itu.

Potongan cermin segitiga berkerak-kerak hitam tertempel di dinding, disangga paku di kedua sisi yang memantulkan sebagian wajahku. Kutatap mata itu lekat. Kosong. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat melihat diriku sendiri di balik remang ruang cermin itu.

Suara nyanyian terdengar riuh dari arah luar di seberang jalan sana. Mereka, para pengamen jalanan, sedang melantunkan lagu itu lagi, lebih keras. Karena tidak hanya seorang saja, melainkan bersama-sama dengan suara yang nyaring. Entah kenapa, kali ini aku tak bisa mengabaikannya. Aku mulai melangkah dari depan cermin, berjalan keluar tanpa memedulikan gemerencik air yang jatuh yang semakin lama pancurannya semakin lemah dan mengecil.

DJAHOELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang