9

98 19 0
                                    

***
***

"Kamu terlihat seperti orang yang mampu. Bagaimana cara nya kamu bisa sebatang kara disini?".

"Nyonya Elin, terima kasih banyak. Saya akan bekerja dengan sungguh sungguh." Kata Azi sambil melihat ke bawah. Elin menghembuskan nafasnya mendekat lalu memegang kedua sisi bahu Azi.

"Kamu terlihat pucat". Elin paham, apa yang terjadi di tubuh Azi baru baru ini. "Hah...aku baik baik saja, nyonya sangat baik mengkhawatirkan aku", Azi merekahkan senyum kecil.

"Baiklah...kalau begitu istirahat dulu hari ini. Besok baru kerja, pakai saja ruangan atas". Elin membawa Azi ke ruangan atas, tidak begitu besar, namun aestertik dan nyaman. Itu sangat bagus untuk Azi.

"Terima kasih."

***

Hari berlalu, Azi kini sibuk berjualan bunga di toko milik nyonya Elin. Terkadang Azi juga mengirim menggunakan motor, perlahan lahan hidupnya...

baik.

"Ini ponsel dan sedikit pakaian buat kamu. Aku harap kamu suka". Ntar Azi berbinar di tengah netra redupnya. "Ha?. Sungguh?"

Azi memeluk Elin dalam. "Nyonya kamu sangat baik, aku tidak tahu bagaimana caraku bisa membalasnya"

"Kamu sangat suka memuji. Ini bukan apa apa Azi, sejak kamu ada pun toko ini jadi lebih ramai, kamu pikir itu sebab siapa?".

Hal yang pertama kali ia ingin hubungi adalah Nuras. Masalahnya ia tak hapal nomornya, dan...apakah ada perbedaan jika melakukan panggilan internasional?. "Em, bagaimana ini".

Satu satunya nomor yang ia hapal. adalah nomor yang sejak dulu tak terganti. Yosan, "halo".

...
...

" Halo"

"Yohan, kau?"

"Azi?!". " Hah, iya aku".

"Apa yang terjadi, kenapa tiba tiba menghilang?. Apa yang sebenarnya terjadi pada mu?!"

Azi melemaskan punggungnya, sungguh hembusan nafas itu keluar dengan sangat pahit. "Aku baik baik saja. Hanya saja, aku butuh sedikit uang sekarang. Apa kau bisa membantuku?".

" Berapa?"

"Untuk beli tiket dan buat paspor. Kira kira kan saja".

" Sebenarnya kau saat ini di mana?".

"Hah...tidak penting Yos. Aku cuma mau kembali...disini aku terus merasa tertekan. Ch, gila ga tuh aku lama lama jadi sad girl beneran disini, haha"

"...Azi, katakan. Apa yang terjadi, okay, dimana kamu sekarang akan ku jemput".

"Tidak perlu kau datang kemari untuk menjemput ku.. Aku hanya butuh uang untuk dapat kembali, apakah kamu bisa?. Baiklah, aku akan ke yang lain jika kau tidak bisa, beri aku nomor Nuras"

"Aku ingin menolong mu Azi, hanya katakan di mana sekarang. Akan ku jemput."

"Tidak usah..."

"Ada masalah apa, kamu bisa percaya padaku".

" Hic..."

Azi terisak, "berjanji pada ku ini semua hanya kita yang tahu."

"Janji". "Aku ada di Spanyol, Madrid"

"Akan ku ceritakan semuanya nanti."

"Kabari aku dimana alamat detail mu jika nanti aku datang. Mungkin lusa ya Azi sebab ada beberapa kegiatan".

"Hm".

---

Azi menurunkan ponsel itu dengan lemah ke atas meja. Ia kembali termenung, memikirkan...akan masa depannya yang dari sejak ini sudah terlihat hancur sangat berantakan.

"-Ting"

Azi menoleh, ada pengunjung. Dia menghampiri tamunya, "Selamat pagi. Beri saya sebuket bunga mawar merah"

Azi merasakan udara yang tiba tiba sesak masuk ke paru parunya. "Kau cukup gigih."

Azi mulai merangkai tangkai tangkai mawar yang baru. Sesungguhnya siapa pria itu, mengapa dia sungguh terlihat besar. Dia hanya direktur club di Indonesia bukan?.

Mengapa terlihat seperti punya kuasa besar disini. Pakaiannya formal branded, sangat beda kelas dengan seorang pejabat rata rata di Indonesia.

"Ini, di bungkus bagaimana?".

"Sekalian kau nya". "Tidak bisa..."

Akram, terkekeh. Azi memberikan buket itu yang sudah terbungkus rapi. "Tidak bertanya akan ku beri bunga ini ke siapa?".

"Siapa?".

"Seseorang yang akan makan malam dengan ku nanti. Siap siaplah, akan ku jemput sayang ku kembali ke rumah"

"Apa maksud dari itu?" dingin Azi. "Siapa yang kau sebut sayang mu?".

"Wanita yang saat ini ada di depan ku"."tidak ada sayang mu disini, jadi tidak akan ada yang bersiap siap"

"Hm, lakukan lah selagi aku masi berbicara baik", Akram tersenyum. "Akan menjadi hal keren jika toko ini di bakar saja hm?".

"Baik lah". Akram tersenyum manis penuh kemenangan.

"Ikut aku dulu sekarang." Akram beranjak dan tak permisi membawa Azi ke luar dari toko. "Kemana?...aku tidak...hey!" Azi bersikeras melepas genggaman pria itu, ia sampai memukul dan mencakar punggung tangan yang masi kokoh dan terlihat paten.

"Shit...biarkan aku izin dulu!". Kedua orang itu berhenti, mereka sama sama memandang nyonya Elin yang ada di sana, sepertinya ia hendak pergi ke toko.

Akram dengan wajah fun menoleh, "...saya meminjam anak mu".

Azi melihat diam wajah Elin dengan tatapan besar tertekan. Elin menyadari tatapan itu, namun ia pun tak mampu melawan keperawakan besar Akram, ia mengangkut sekali.

Kedua wanita itu bertatapan dalam saat Akram membawanya hingga masuk ke mobil yang bersopir.

Azi menghembuskan nafas panjang. "Kemana kau akan membawaku?".

***
***

Elin menyadari hal kosong, apa yang barusan terjadi pada Azi. Selama ini Azi tidak pernah bercerita apa apa, namun Elin sadar akan tatapan mata Azi sedari dulu selalu redup, seolah ada rantai transparan yang mengikat dirinya sehingga, ia menjadi setertekan itu. Lalu pria tadi, siapa dia?.

Anak yang malang. Elin berwajah sayu ia berniat naik ke ruangan Azi. Ruangan yang dulu miliknya namun ia berikan kepada anak rajin baik dan santun seperti Azi. Ia tidak bermaksud merusak privasi, namun jika begitu Elin akan siap meminta maaf.

Matanya tertuju pada gambar gambar di depan meja kamar itu. "Azi pandai menggambar?. Dia adalah seorang arters" Elin bergumam kagum mendekat ke arah gambar itu.

Gambar gambar itu terkesan dalam, dari arah disini Elin dapat merasakan aura kesedihan, tekanan, kesepian, di kertas itu. "Hm..."

Ia memotret.

***
***

𝐋𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 𝐏𝐚𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫 [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang