6 🔞

227 21 0
                                    


***

"Anggota departemen baru katanya mencalonkan diri lagi jadi ketua sektor yah?"

"Ekhm, sektor apa Yos?", tanya rendah Azi menguping sejenak percakapan mereka. "Sektor partai, pemerintah. Maksudku, apa bisa anggota baru langsung naik naik setinggi itu, ada yang sudah lama, bagus, tekun tapi masi di tempat saja"

"Hh, kan itu ada orang dalam nya Yohan, eh Yosan, paling tidak pelicinlah"

Mereka tertawa, "orang cuma saling memanfaatkan. Pantasan mukanya bagus bagus di awal waktu ya kan", tambah Qidam.

Azi terkekeh kecil. Drrtt...

Ponselnya berdering, membuat Azi menjaga jarak dari keramaian. Nama itu, sungguh Azi muak.

"Kemari, temani aku."

"Aku di kampus, ada kelas"

"Hm, waktumu hanya 10 menit. Akan ada orang dari sini menjemputmu"

Azi meremas pelan ponselnya. "Ibu, saya izin. Tiba tiba ada...kepentingan di luar"

Azi segera berlalu dari kelas menuju lantai bawah kampus. "Sungguh sial, jahanam!"

Pim!

Suara mobil hitam mengambil perhatiannya. Sudah yakin Azi dia membuka saja pintu nya lalu masuk.

Nuras dari lantai atas memerhatikan Azi di bawah sana. Ia mengerutkan alis, "hm...?".

"Besok ku tanya anak itu", Nuras kembali beralih ke kegiatannya melanjutkan tugas.

___

Wajah dingin Azi sungguh malas berlama lama. Akram membuka satu persatu kancing kemejanya, lalu membuka ikat pinggang.

Membuka kancing celana lalu menurunkan resleting. "Duduklah. kakimu gemetaran", Azi mengejabkan matanya mendapat perkataan itu, yang ia anggap sebagai ejekan.

Sekarang tidak ada wanita lain, hanya Azi dan Akram di ruang kerjanya. Azi semakin tidak akan duduk jika begini.

Akram menggosok penisnya yang besar dan panjang di depan Azi, dimana Azi berada di depan bangku kerjanya. Pria itu maju dan menunggku tubuh di meja.

Azi paling malas di bagian ini, ia akhirnya mundur lalu mau tak mau mendudukkan dirinya di bangku single yang nyaman nan besar itu. "Muka mu sangat terlihat kau menutupi sesuatu, hh"

"..." tampa reaksi dia masi santai dengan penis mengeluarkan sperma yang begitu banyak. "Em...?".

Warna merah di ujung,  Azi menggeleng kecil. Kini tangan itu diganggam, "Eh. Akram!"

Tangan itu di arahkan ke penisnya, Azi memelototkan wajah. "Tidak!!. Akh".

plak

Azi menampar pipi Akram dengan tangan yang lain sebagai reflek. Dia ingin pergi dari sana namun sulit sebab Akram pas ada di depannya. "Itu hanya terasa seperti belaian Azi..." Akram tersenyum geli.

"Apa kau tidak penasaran bagaimana tekstur nya?"

"Tidak terima kasih, gambar mu sudah selesai", Azi segera pergi setelah mendapat celah disana. Arham membiarkan anak itu pergi, ia melihat punggungnya. Langkah kaki cepat Azi selalu menjadi intrumen penutup yang Akram kenal, mungkin menjadi audio favorite nya.

Ia menyesap rokok dan memasukkan tangannya di saku celana yang sudah ia benahkan. Di meja, kertas tergeletak tergambar tubuh pria yang padat tengah memegang penis mengukungi si penggambar, segaris senyum tipis tertuai di wajahnya.

"Hh, dia cukup imut. Oh sial, Mia kau tampaknya membuat keputusan yang salah. Aku jatuh pada keluguannya"

***

Lagi dan lagi Azi, mencuci wajah dan pakaiannya yang terkena cairan di toilet kantor ini. Wajahnya kosong, ia merasa sangat kotor. "Hiks"

Sudah beberapa minggu berlalu, dan itu terus saja terjadi, nyaris setiap hari. "Astaga...hiks. Tidak aku tidak tau bagaiamana..."

Tapi di sisi lain, ia mendapati ATM yang lumayan. Namun sama saja terasa semu, semua tetaplah ilusi akan kebahagiaan. Di tempat salah memang tidak ada kebahagiaan...mau senyum atau tertawa seperti apa pun ia tetaplah terasa hampa. 'Sial'.

Azi tidak sarapan pagi ini, dan jam sudah menunjukan jam 5 sore. Hari yang melelahkan, dia harus mengakhiri hari ini dengan cepat.

'Sial', Azi merasa mual. Ingatan yang terlintas di kepalanya membuat darah naik ke atas tubuhnya menolak gravitasi.

Tiap waktu ia menyaksikan Akram bergaul dengan berbagai wanita, atau hanya menstrubasi akhir akhir ini. Ia tidak bisa tidak ingat, ia harus meresapi hingga dapat menciptakan gambar.

Azi merasakan kakinya bergetar dan lemas. "Augh..."

Brugh...

______

Kerumunan hitam memasuki ragaku, kaki dan punggungku rasanya melayang. Rasa penat menyatu di dalam diriku, aku hanya meringis tidak kuat menahan semua...

Semua ingatan itu berkesinambungan menjadi mimpi buruk, ia lewat lewat di kepala. Suara wanita wanita itu menjadi trauma, aku takut, aku tertekan kuat, kehidupan ku...

Hiks...

Hiks...

Hiks...

Rangkulan hitam dengan kuat memelukku dari belakang. Aku meminta akan pergi namun sangat sulit.

"Hah...!"

Netra Azi terbuka, dengan gelagab.

***
***

𝐋𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 𝐏𝐚𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫 [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang