***
Akram beranjak dari dudukanya, pria dengan langkah kaki panjang meraih buku yang berada di posisi rak paling atas.
Selanjutnya ia kembali ke dudukan sambil menaikan satu kaki ke kaki yang lain, tanda santai.
Akram membuka buku itu, seperti, buku silsilah?. Azi tidak peduli dengan cibiran kecil itu, ia peduli pada hal lain.
Dari masa hitam putih foto keluarga formal menyerupai keluarga kerajaan yang bermartabat ada di sana. Hingga zaman modern karna grafik potretnya semakin bagus. Itu masi belum menjawab pertanyaan Azi yang hanya tinggal bengong melihat.
"Terlihat begitu?. Beberapa kali keluarga ini hampir hancur, namun tidak jadi saja".
"Mereka hanya terlibat dalam beberapa organisasi dagang, pegawai negri sipil, dan ku pikir hanya itu"
Azi mengangkut angkut paham atas jawaban ringan Akram.
"Kau terlahir disini?", pertanyaan itu mengudara begitu saja melihat foto pria kecil yang wajahnya mirip Akram ada di sana.
"Hm"
"Lalu...mengapa bisa kau ada di Indonesia."
"Ayah ku sedang mood menaruhku saja di sana".
Azi hendak membuka mulut menganga, namun hanya mampu diam. Sudah terbayang, keluarga dengan velue sebesar ini. Dan jangan katakan, Akram selama ini hanya gabut.
"Namun bahasa Indonesia mu sungguh otentik. Itu tidak bisa di pelajari oleh orang yang bukan dari Indonesia asli", jelas Azi seolah bertanya tanya.
"Aku hebat"
Azi terdiam sejenak. Ini hanya lelucon kah?.
"My mom, from Indonesia, Java"
Akram membuka halaman berikutnya di mana di buku itu ada potret seorang wanita berwajah yang tak asing namun terlihat sangat terawat, sehingga tampak masi muda.
"Sejujurnya, ini hanya cerita membosankan, karna itu aku baru membukanya sekarang sebab tampaknya ada orang yang sangat penasaran", Akram menutup buku itu lalu menaruhnya ke atas meja. Kemudian bersandar di senderan sofa dengan lebih santai.
Dan kini mereka terlihat benar benar seperti pasangan yang serasi dan damai. Seolah tak memiliki masalah apa apa di belakang.
"Jangan berfikir negatif soal seseorang...terkadang orang baik sebab mereka sungguh baik. Tak seperti senyum beberapa politisi di tempat lahir ibu ku", Akram tersenyum geli.
"Hm, namun muka mu sepeti muka mereka"
"Mereka siapa?" Akram menaikkan alis tertarik gemas.
"Politisi"
"Namun aku bukan politisi sayang"
Akram mendekat dan mencium mulut Azi yang menjawab asal saja sedari tadi. "Lalu kau apa?"
"Seperti kelihatannya, menurutmu aku apa?"
"Seperti itu"
Akram menyengir, "iya, aku ya seperti itu".
Akram mendekat lalu mulai merangkul bahu Azi dari belakang. Azi tersadar jelas.
"Akram aku sedikit lapar"
"Lapar?"
Akram menaikkan sedikit satu alisnya, "kalau begitu ayo ke dapur lalu makan beberapa kudapan"
Pria itu beranjak, menunggu Azi berada di sampingnya, sungguh Azi merasa baru saja lolos dari bencana besar. Mereka berjalan perlahan hingga sampai di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 𝐏𝐚𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫 [REVISI]
Teen FictionJANGAN JADI PEMBACA BAYANGAN⚠️ Azima adalah mahasiswi seni murni, sejak ia terjebak menjadi penggambar malam di sebuah club, sejak itu pula banyak hal yang berubah. Up tiap tanggal 2.12.22 [sesuai mood] Hanya fictional dan harap bijak dalam memb...