22

53 4 0
                                    


***

Cahaya lampu mobil berhenti di hadapan Azi, di mana gadis itu hanya melihatnya dengan tatapan dingin dan datar.

Semua orang tampak tak aman, sekalipun seseorang yang baru saja keluar dari mobil.

Pria dengan jaz lumayan berantakan. "Jangan khawatir lagi, semuanya kini baik baik saja."

Akram memegang, pergelangan tangan Liola...yang sudah terputus dengan tubuhnya dari dalam mobil. Kuku Liola yang bergaya nyetrik siapa yang tidak kenal?. Lalu Akram membuangnya dengan acuh tak acuh begitu saja bak sampah tak berguna. Ya, Azi ingat tadi Liola tidak berada di sana sejak lama.

"H"

Mereka berdua berjarak dan diam saling memandangi untuk beberapa saat. Azi ingin menangis, namun jika ia menangis itu bukan keputusan yang tepat.

Membuat netranya hanya berkaca kaca tak sampai keluar air mata. "A..."

Azi ingin berkata sesuatu, namun hanya satu huruf tersebut ia kembali terdiam. Menghembuskan nafas, lalu menunduk wajah.

"Aku tau kau merindukan ku." Akram tersenyum penuh arti lalu datang memeluk Azi yang sudah kaku sebab dingin juga keresahan hati.

Memeluknya dalam, sementara Azi hanya diam. Terlepas dari ucapan Liola sebelumnya...pelukan ini, pelukan yang membuat ketidak tenangan luar biasa tadi membaik.

Ini terasa nyaman.

"A apa kau terluka?", di muka datar Azi ia bertanya demikian.

Mereka berdua kembali diam untuk beberapa saat. "Hahaha!!"

Akram tertawa lepas, membawanya ke dalam mobil dengan menggendongnya bak anak koala. Tampa menjawab pertanyaan Azi. "Apa kau terluka?", Akram yang malah bertanya balik. Azi dengan polos menggeleng.

"Siapa Liola?"

Dalam keheningan perjalanan mobil, Azi bertanya hal itu. "Dia hanya orang gila, yang tertarik menjadikanku penerus perusahaan ayahnya"

Azi menghembuskan nafasnya berat.

"Katakan kalau kau sudah bosan, aku akan segera pergi saat hari itu tiba" Azi menitihkan air mata.

"Sayangnya hari itu tidak akan tiba"

"Bukan kah aku juga tidak berbeda dengan mereka. Aku tidak pantas berada di samping mu untuk menghadiri acara formal".

"Jangan hiraukan mereka", kata Akram saat suasana dalam mobil membisu.

"B bagimana aku bisa tidak menghiraukan mereka?!"

Akram menutup mulut Azi dengan mulutnya, untuk beberapa saat. Mereka bertatapan dalam, "...kau hanya menginginkan ini, bukan menginginkan aku yang bukan siapa siapa"

"Siapa yang mengatakan itu"

Azi terdiam, ia kini terisak.

"Dengar, tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk bersama. Sekalipun itu dewa. Aku tidak mau mendengar sesuatu yang seperti ini lagi"

Layaknya kita sudah memiliki hubungan sebelumnya.

Padahal, kita hanya sama sama orang tidak saling mengenal.

***

Kedua orang itu sama sama diam satu sama lain, masuk kembali ke dalam mantion milik Akram tampa ada yang membuka suara. Sama sama masi berkelut dengan pikiran masing masing.

Dimana Akram merangkul Azi untuk terus berada dekat disisinya, mereka masuk ke kamar mandi bersama.

Mencuci muka, gosok gigi, juga mengganti pakaian menjadi piyama. Akram tampa baju hanya bercelana kulot, dan Azi berpakaian pendek dengan bahan kain satin. Mereka hanya diam, Akram mendekap Azi sebelum pergi ke tempat tidur.

"Mereka hampir memperkosaku"

"Aku tau".

"Kenapa kau tidak datang?" Azi bertanya pelan, sangat pelan hingga terdengar seperti decitan bersama dengan netranya yang sembab.

Akram tersenyum. Membelai kepala Azi dan turun merangkul pinggang Azi merapatkan posisi mereka di tempat tidur.

"Wanita ku gigih. Ia tidak butuh aku untuk melindungi dirinya sendiri."

Azi mengerutkan wajahnya, "kau takut?. Lain kali tidak usah takut...sebab aku selalu mengawasimu"

Entah lah, apa itu sayang?. Apa ini semua?.

Azi melihat hal lain untuk mengalihkan pandang. Saat itu pula Akram merapatkan pelukan dari belakang tubuh Azi.

"Sudahi pikiran mu yang bahkan mampu ku dengar. Ini sudah malam...tidurlah", bisikan tepat di dekat telinga Azi berbunyi demikian.

Seolah terhipnotis, gadis yang sedari tadi sudah lelah itu perlahan lahan menurut, dan terlelap di makan kantuk. Dalam sebuah ketenangan yang sudah sangat lama ia tidak rasakan, kembali ia rasakan tampa sadar saat ini. Di dalam dekapan seorang yang asing...

Pria yang membuatnya tidak ingat untuk sesaat soal daratan dan kenyataan. Bahwa dulu ia pernah di buat hancur berkeping-keping.

***

***

Flashback

Akram masuk ke dalam venue dan dengan mengeluarkan pistol di tangan kanannya siap menodongkan ke siapa saja yang membuatnya menginginkannya, untuk menarik pelatuk.

Liola, ada di dekat pria berperawakan sebanding dengan tuan Loisen, ayahnya. Akram menduduki bangku itu, "akan baik jika pesta pernikahan di segerakan terjadi lagi tuan tuan hahah".

Tawa yang sangat berirama keluar dari mulut para petinggi petinggi organisasi ini. "Akram sudah cukup dewasa pula untuk itu."

Ibu Akram mengimbangi.

"Liola, sebentar lagi akan mengambil gelarnya. Saya harap semua akan berjalan sesuai kesepakatan kita".

"Tentu saja tuan Rachel Ricolas"

Akram sangat paham perbincangan sedari tadi ini arahnya kemana. "Saya sudah punya list point yang akan saya lakukan pada 5-10 tahun kedepan, dan sama sekali tidak tercantum kepentingan orang lain di dalamnya." Jelas Akram.

"Permisi tuan tuan", Akram beranjak begitu saja malas berlama lama disana. Namun masalahnya, dia berhadapan dengan dua organisasi besar, keluarga Ricolas dan keluarga Loisen; dimana ia bermarga di sana.

Tapi bagi Akram itu bukan menjadi masalah. Tidak memperdulikan tatapan mata dari kakak, ayah, atau ibunya, juga tatapan mata dari berbagai keluarga konglomerat lain disana.

"Akram!. Kau sudah terlalu banyak bermain main-"

Dor

"Uggggghh!!"

Seseorang dari pihak sebelah sekarat memegangi lehernya. Menjadi tanda peringatan besar untuk tidak bermain main lagi dengan Akram. Membuat semua orang disana beranjak siaga berdiri dari duduknya.

"Aku sibuk"...

Orang orang berpakaian senada dengan Akram keluar dari ruangan itu beriring, mengikuti langkah besar Akram yang membenahi dasinya sedikit.

Ia tidak mendapati mobil Azi. Netranya menggelep seketika.

__

Layar laptop milik bawahananya melacak suatu tempat, "Kenapa lama sekali?!" Akram berdesis dingin, yang mampu membuat asam lambung naik seketika sangking sangat menakutkan.

"Ini tuan"

Labtob menampakkan ruangan dari camera aktif yang di bajak, tempat itu memperlihatkan Azi terikat di dalam sana.

Mereka sudah mau sampai di titik koordinat tempat itu yang mampu di bajak dan terlacak oleh maps khusus. Namun Akram tampak memikirkan hal lain, "berhenti disini".

Wajahnya tidak lagi dingin, kini ia malah tersenyum kecil.

"... "

Flashback end.

***
***
***

𝐋𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 𝐏𝐚𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫 [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang