Setiap sorenya, memang sudah menjadi tugas Sofia untuk mengangkat jemuran di atas. Walaupun malas-malasan, ia terpaksa naik dengan langkah berat. Ia tidak mau kejadian beberapa hari lalu terulang, dimana semua jemuran kembali basah dan ia yang harus mencucinya lagi, dan mengangkatnya juga. Sungguh sial.
Namun, terlepas dari apapun itu, ia selalu suka pemandangan rooftop pada sore menjelang malam. Apalagi ketika matahari mulai terbenam dengan sinar orange-nya menghiasi langit. Pemandangan yang menyejukkan hati. Lelahnya jadi buyar seketika.
"Eh, Isa?"
Laki-laki yang sedang menikmati senja di rooftop sebelah menoleh sekilas. Hanya selang beberapa detik mereka saling tatap, dan dengan cepat Isa membuang muka, kembali mengarahkan pandangannya ke arah langit, sembari menyesap kopi hangat miliknya.
Sofia jadi merasa tidak enakan. Ia tahu, bertemu setelah sekian lama cukup membuat Isa risih pastinya. Apalagi mengingat anak ini menjadi begitu pendiam dibandingkan tujuh tahun yang lalu.
Tanpa membuka suara, Sofia segera mengangkat jemurannya. Ia tidak mau mengganggu Isa yang sedang asik menikmati senja seorang diri.
Prank!
Suara pecahan kaca membuat keduanya sama-sama terkejut. Sofia yang awalnya masih asik mengangkat jemuran kini dengan cepat berlari ke arah Isa. Gelas yang dipegang laki-laki itu pecah. Bagaimana bisa?
"Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan?" Sofia jelas panik, membawa Isa jauh dari tempat gelas terjatuh tadi. "Kok bisa jatuh sih gelasnya? Panas banget emang?"
Isa hanya menggeleng.
"Hati-hati lho!" pinta gadis itu masih dilanda panik.
"Aku ambil sapu dulu," ucap Isa segera turun ke bawah dan mengambil sapu serta karung untuk memindahkan pecahan gelas tadi.
Seusai laki-laki itu tiba kembali, Sofia malah mengambil sapu dan karung goni dengan cepat dari tangan Isa, mungkin ia refleks karena sering membersihkan pecahan kaca yang dipecahkan oleh Margaretha dahulunya. Huh, adiknya itu lumayan ceroboh. Tak terhitung berapa piring yang sudah dipecahkannya.
"Kamu itu yang bener dikit dong. Masa bisa jatuh sih gelasnya, perasaan tadi lagi dipegang deh." Gadis itu mengomel layaknya emak-emak yang sedang memarahi anaknya. "Kopinya tumpah semua ini. Mau lagi nggak? Aku bikin lain aja. Sekalian kita ngopi berdua."
"Hah?"
***
Isa lumayan senang disini. Ia sudah terbiasa pindah, tetapi rumah-rumahnya yang dahulu tidak mempunyai rooftop yang luas dan nyaman seperti rumah baru ini. Apalagi setelah malam itu sempat memeriksa keadaan atas, ia jadi suka menghabiskan waktu tiap jam di tempat ini sendirian.
Seperti sekarang, dengan segelas kopi hangat di tangannya, Isa menatap langit yang disinari cahaya orange kemerah-merahan yang sangat indah. Pertama kali dalam hidupnya ia menikmati senja yang damai, sendirian.
"Eh, Isa?"
Ia menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing menyapa telinga. Tunggu .., Sofia? Kenapa harus sekarang gadis itu berada di sini?
Tidak ingin berlama-lama menatap wajah yang membuat jantungnya tak aman, Isa memilih membuang muka agar napasnya tidak tertahan lagi seperti saat itu. Huh, tenang, tenang! tuturnya dalam hati.
Sofia tidak lagi bersuara. Isa cukup bersyukur gadis itu tidak banyak bertanya kepadanya. Bukan apa-apa, ia akan terlihat seperti orang bodoh ketika berbicara dengan Sofia. Mungkin karena jantungnya tidak bisa diajak kompromi ketika gadis itu berada di sampingnya.
Namun, walaupun Sofia tidak berbicara apa-apa lagi, Isa tetap saja salah tingkah. Ia menyesap kopinya dengan gemetar. Kakinya mendadak kaku untuk kembali melangkahkan kaki turun bawah, atau sekedar menjauh dari sana. Benar-benar diluar kendali.
Dan saat hendak menyesap kopinya untuk yang kesekian kali, gelas itu terjatuh begitu saja dari tangannya. Lolos seolah-olah enggan berlama-lama.
Prank!
Ah, shit!
"Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan?" Entah sejak kapan gadis yang tadinya masih asik dengan jemuran di belakang kini sudah berada di sampingnya. "Kok bisa jatuh sih gelasnya? Panas banget emang?"
Kopinya nggak panas. Muka gue yang panas, sialan. Berbanding terbalik dengan isi hatinya yang berteriak-teriak, Isa hanya bisa menggeleng tanpa suara untuk merespon pertanyaan Sofia.
"Hati-hati lho."
Isa tidak tahu harus bagaimana. Mereka sangat dekat saat ini. Jantung anying, babi, jangan gini dong, woi!
"Aku ambil sapu dulu." Ini kesempatan untuk menetralkan napas. Isa segera turun ke bawah, berhati-hati di tangga agar tidak terjatuh karena saking salah tingkah nya. Ia mengambil sapu dan karung goni dan kemudian langsung naik ke atas lagi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.
Namun, belum sempat ia sampai ke atas dengan benar. Sofia malah langsung merebut sapu dan karung yang ia bawa dan kemudian membereskan pecahan kaca itu dengan telaten.
"Kamu itu yang bener dikit dong. Masa bisa jatuh sih gelasnya, perasaan tadi lagi dipegang deh."
Ya, karena ada Lo.
"Kopinya tumpah semua ini. Mau lagi nggak? Aku bikin lain aja. Sekalian kita ngopi berdua."
"Hah?"
Jangan tanyakan bagaimana kabarnya saat ini. Tentu saja hanya bisa mematung mencerna semuanya. Sementara Sofia yang sudah selesai membersihkan pecahan kaca tersebut kini kembali menaiki tembok pembatas rooftop dan turun ke bawah untuk membuat kopi kepada mereka berdua.
"Gue harus gimana anjir?"
Tidak bisa! Isa tidak bisa menghabiskan waktu hanya berdua saja dengan Sofia. Pokoknya tidak, jantungnya tidak aman.
Tetapi ada rasa senang dalam hatinya. Seperti rasa yang sulit dijelaskan. Lega, nyaman dan berbunga-bunga.
Gila, gue emang segila itu. Batinnya malu sendiri.
Selang beberapa menit, Sofia kembali membawa dua gelas kopi yang sudah siap ia buat.
"Ini buat kamu."
Isa menerimanya dengan tangan sedikit bergetar.
"Tangan kamu kenapa sih tremor gitu? Lagi sakit, ya?"
"Enggak kok."
Sofia menatap heran. Namun karena tidak ingin berlama-lama ia hanya mengangguk seolah-olah paham, walaupun ia sangat penasaran ada apa dengan Isa sekarang?
"Udah lama kita nggak kayak gini." Senyum tulus Sofia membuat Isa terpana selama beberapa detik. "Eh, emang kita pernah gini?" Dan buyar ketika mata Sofia menatapnya kemudian.
Karena salah tingkah. Ia jadi refleks menggeleng. "Enggak," jawabnya cepat.
Sial, dingin banget lagi.
"Kamu jadi beda deh. Nggak kayak dulu."
Sofia menyeruput kopinya dengan tenang setelah mengucapkan kalimat barusan.
"Kamu nggak suka?" Isa refleks bertanya. Entah kenapa ia jadi sedikit berani, ya walaupun ia yakin telinganya sudah memerah sepenuhnya.
Sofia menggeleng sembari tersenyum manis. "Aku suka kok. Mau gimanapun kamu," jawabnya jujur membuat Isa terbatuk-batuk.
"Eh, gapapa 'kan?"
"Iya, gapapa." Isa malu, sangat malu. Apalagi ketika wajah cantik Sofia terlihat khawatir terhadapnya saat ini. Tidak hanya itu, mata Sofia yang memantulkan gambaran dirinya membuat ia tersadar sepenuhnya.
Kali ini terasa nyata. Dia benar-benar Sofia, gadis yang selalu ia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUKO With Love [END]
Short StoryIsa pindah kota saat ia kelas 2 SMP. Meninggalkan sesosok gadis yang ia cintai di sana dengan hati yang tak rela. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan di rooftop ruko yang bertetanggaan saat malam hari. Siapa sangka itu menjad...