Pindah untuk yang kesekian kalinya. Isa benci pindah rumah, angkut barang, menata perabotan, bersih-bersih, sungguh kegiatan yang paling merepotkan di dunia.
Matanya menatap sang Bunda yang kini asik memasak di tengah-tengah kegaduhan rumah paska pindah. Bersenandung kecil layaknya orang paling bahagia di dunia. "Bun, baju-baju Isa di mana?" tanya laki-laki itu tidak sabaran.
"Carilah. Mana Bunda tau, kan kamu yang kemas semalam."
Isa menutup matanya berusaha sabar. Baiklah, ini memang salahnya.
"Itu, mungkin." Tunjuk sang Abang yang kini berdiri di sampingnya sembari membawa beberapa piring ke dapur.
Mata Isa akhirnya menangkap tas yang berisi baju-bajunya yang tertindih dengan kotak-kotak berkas milik Ayah. Laki-laki itu bergegas ke sana, mengambil perlahan tas bajunya dengan kesabaran penuh. Walau sebenarnya dia sudah sangat lelah dan ingin istirahat.
"Oke, sebelum itu Isa mau tanya dulu. Kita .., nggak bakal pindah dalam waktu dekat 'kan ya?"
Sang Bunda yang mulanya asik bersenandung kini menatap anak bungsunya. "Mungkin?" Bukannya menjawab dengan serius, beliau malah bertanya balik dan tampak ragu-ragu.
"Emang kenapa? Tumben banget."
Isa menghela napas panjang. "Capek bang, harus adaptasi sama lingkungan baru tiap tahunnya. Lagian ayah kenapa nggak pindah sendiri aja sih? Pindah-pindah tugas malah ngajak kita."
Bunda hanya bisa tersenyum simpul. Sementara ayah yang baru masuk berdehem keras membuat anaknya terdiam.
"Jadi kamu mau tinggal sendirian? Bunda sama Abang sih selalu ikut ayah."
Isa mengerucutkan bibirnya. "Ini tempat terakhir kita aja. Lagian Bunda niatnya mau buka butik disini 'kan? Makanya nyewa RUKO ini."
Seusai menyicipi makanan yang sudah matang di sana. Bunda segera mendekati anak bungsunya. "Oke, kalau itu mau kamu. Bunda juga mikirnya mau disini aja, nggak mau pindah-pindah lagi."
"Lah, terus ayah gimana dong?"
"Pergi sendiri aja, atau kalau Musa mau ikut, sama Musa aja. Biar Isa sama Bunda."
***
"Sebelah rame banget. Nggak kosong lagi ya, Ma?"
Wanita berusia 49 tahun yang duduk di bangku kasir menoleh sekilas ke arah anak gadisnya, lalu matanya kembali menatap kalkulator guna menghitung jumlah harga yang harus dibayar pembeli. "Iya, baru tadi kayaknya. Dengar-dengar bakal buka butik."
"Semuanya dua ratus empat puluh ribu ya, Buk."
"Oh iya, gasnya jangan lupa. Wan, anterin tolong ke rumah ibuk ini," teriak beliau lumayan keras memanggil pekerja yang sedang membawa tabung gas.
Sofia memutar bola matanya jengah. Ia cukup lelah melihat kesibukan orang-orang di toko setiap harinya. Niatnya hendak mencari informasi kenapa rumah sebelah terdengar ricuh.
Jadi ada tetangga baru ya, cukup lama ruko sebelah kosong.
"Sofia, tolong ambilkan babylucky ukuran M satu renteng buat kakak ini."
Kaki gadis itu yang hendak menyentuh tangga untuk naik ke atas kini tergantung. Menghela napas, lalu kembali dengan langkah berat dan mengambil popok bayi dengan merek babylucky.
"Oh iya, jemurannya di atas udah kering itu. Dari kemarin nggak diangkat. Nanti kalau hujan basah semua."
Yah seperti itulah kenapa ia tidak pernah turun ke bawah selama ini. Ya, karena ibunya akan memiliki banyak sekali perintah dan itu cukup melelahkan. Andai saja dari tadi ia tidak penasaran tentang tetangga sebelah. Mungkin sekarang ia bisa merebahkan diri di kasur sembari nonton drama.
***
Sembari nonton drama?
Bukannya mengangkat jemuran yang sudah dari kemarin di rooftop ruko, ia malah tertidur pulas di dalam kamarnya usai naik ke atas tadi. Dan sekarang ia kelimpungan sendiri ketika ibunya menelpon dari bawah dan mengatakan kalau hujan sudah turun.
Menaiki tangga dengan berlari layaknya superdede, Sofia sampai juga di rooftop ruko dengan napas tersengal-sengal. Ia bergegas mengambil kain dan memasukkannya ke dalam keranjang berwarna merah muda. Hujan memang belum terlalu deras, namun cukup untuk membuat kain-kain ini basah.
Ahh, siap-siap dia akan dimarahi habis-habisan setelah ini.
"Anjir, mana kainnya jatuh ke sebelah lagi."
Gadis itu semakin panik ketika melihat banyak kain yang jatuh ke lapak sebelah. Ya, rooftop ruko itu bersebelahan, hanya dibatasi oleh tembok yang tingginya sampai pinggang orang dewasa.
Tanpa lama, gadis itu langsung naik ke sebelah. Mengambil kain yang jatuh ke tempat itu dengan buru-buru. Bukannya apa-apa, ia takut karena rooftop sebelah ini belum mempunyai lampu, berbeda dengan rooftop-nya yang lumayan terang.
Badannya sudah sepenuhnya basah terkena air hujan. Di pencahayaan yang redup, ia tidak bisa melihat dengan jelas, jadi hanya mengandalkan instingnya untuk mengambil baju yang berjatuhan di lantai tersebut. Sampai akhirnya, suara pintu terbuka membuat gadis itu terkejut dan menatap ke arah pintu.
"WOOOHH!" teriak manusia itu saat menangkap ada bayangan di depannya. "Hantu bwajingan!"
"Bu-bukan! Maaf, bang, saya mau ngambil jemuran aja," ucap Sofia sebelum akhirnya kembali menaiki tembok dan kembali ke lapaknya.
"Kakaknya siapa?"
"Saya orang rumah ini. Sekali lagi maaf, ya. Jemuran saya jatuh ke tempat Abang."
Isa yang awalnya terkejut kini sudah bisa bernapas dengan normal. Ia hanya mengangguk kecil, dan melihat gadis yang kini membawa keranjang itu masuk ke dalam rumahnya sendiri dengan buru-buru. Terlihat rambutnya yang sudah basah diguyur hujan.
"Gue pikir demit, anying."
"Itu jemurannya udah kayak kena banjir. Kasian."
Isa hanya bisa meringis memikirkan gadis itu harus mencuci kembali jemuran yang penuh satu keranjang tadi. Ia jadi membayangkan dirinya yang sibuk mencuci pakaian semua anggota keluarga setiap Minggu. Korban karena dia masih nganggur.
"Tapi kok, suaranya kayak nggak asing?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RUKO With Love [END]
Short StoryIsa pindah kota saat ia kelas 2 SMP. Meninggalkan sesosok gadis yang ia cintai di sana dengan hati yang tak rela. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan di rooftop ruko yang bertetanggaan saat malam hari. Siapa sangka itu menjad...