Dua hari berlalu setelah mereka menghabiskan waktu di rooftop saat itu. Isa sungguh berbunga-bunga. Selalu tersenyum di setiap kegiatannya mengingat percakapan mereka yang lalu. Walaupun, ya hanya sebatas percakapan biasa.
Isa tahu, kegilaannya memang sudah sangat menumpuk. Bayangkan, memendam perasaan selama tujuh tahun, dan bahkan ia tidak pernah bertemu lagi selama itu, tetapi kenapa bisa ya ia masih cinta? Maksudnya, kenapa ia masih menyimpan perasaan aneh tersebut, bahkan rasanya semakin bertambah dibandingkan dahulu.
"Kenapa sih senyam-senyum sendiri?" Musa yang baru saja pulang kerja hanya bisa menatap adiknya heran. Padahal ia hendak mengganti baju, tetapi ia urungkan sementara untuk mengecek kondisi Isa. "Nggak ada yang salah 'kan, ya?" Dia sedang tidak mengolok-olok atau apapun itu. Sangat serius menatap Isa yang seperti orang gila.
"Aman, Bang."
"Aman gimana? Nggak kayak biasanya."
Isa menatap dirinya dengan tatapan lembut. "Semuanya aman. Oh iya, nasgor buat abang di meja makan. Tadi aku bikin lebih."
Musa mematung. Ini sama sekali tidak aman. Namun, ia hanya tertawa sumbang dan segera lari dari pintu kamar Isa menuju kamarnya. "Agak laen, anjer." Dia bergidik ngeri.
Beberapa menit berlalu.
"ISA! TOLONG BELI SNACK DONG DI SEBELAH!" teriak Musa dari dalam kamarnya. "LAPER!"
"KAN ADA NASGOR!" balas berteriak.
"AYOLAH! TADI KU LUPA. DUITNYA DI ATAS MEJA. KEMBALIANNYA BUAT KAU!"
Isa menghela napas. Baiklah, karena suasana hatinya sedang bagus ia tidak akan menolak untuk saat ini. Mengambil uang 20.000 di atas meja, dan kemudian turun ke bawah.
Butik Bunda belum dibuka, masih banyak persiapan yang harus dilakukan, dan wanita itu tampak sibuk dengan itu semua. Biarlah, kapan lagi ia melihat Bunda tersenyum bahagia.
"Mau kemana, Sa?"
"Abang suruh beli snack."
Bundanya heran. "Lah anak itu, bukannya beli sendiri."
Sebenarnya Isa juga heran. Kenapa tiba-tiba abangnya menyuruh ia membeli snack. Padahal jelas-jelas Musa tidak terlalu menyukai makanan ringan seperti itu.
"Kerasukan kali?" gumamnya tak sadar.
"Kerasukan, siapa?"
Matanya terbelalak saat mendapati Sofia sedang menatapnya dari balik meja kasir dengan mata penuh tanda tanya. Seusai dua pelanggan tadi pergi, hanya tinggal Isa sendiri di sana.
"Abangku."
"Hah, bang Musa?"
"Ah eng-engak, itu––"
Laki-laki itu kaget bercampur salting, jadi tangannya dengan cepat menyambar beberapa produk di sampingnya tanpa tahu itu apa. Entah makanan atau bukan, ia tidak tahu lagi. Otaknya selalu berhenti berputar jika di dekat Sofia.
"Kalau ada apa-apa bilang aja. Kita kan tetangga," ucap Sofia yang kemudian mulai menghitung harga dari barang-barang yang diambil Isa. "Totalnya lima puluh tiga ribu," ucapnya lagi sembari menyerahkan kantong berisi barang-barang tersebut.
"Hah? Kok mahal banget?"
"Mahal? Harganya sesuai kok, lagian kamu ambilnya banyak nih," tunjuk Sofia yang tidak didengar dengan jelas oleh Isa.
Laki-laki itu tidak mau berlama-lama karena tidak akan aman. Ia segera mengambil dompetnya, dan mengambil selembar uang berwarna merah lalu menyerahkan kepada Sofia.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUKO With Love [END]
Short StoryIsa pindah kota saat ia kelas 2 SMP. Meninggalkan sesosok gadis yang ia cintai di sana dengan hati yang tak rela. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan di rooftop ruko yang bertetanggaan saat malam hari. Siapa sangka itu menjad...