10. Putaran, Roda Kehidupan

9 2 0
                                    

Sofia menggeliat di atas kasurnya, menarik selimut menutupi seluruh badan bahkan hampir menutupi kepala. Matanya sedikit sembab, ah kenapa ia harus menangis di usia 20 tahun ini? Dan itupun ia menangis karena cinta? Hal konyol yang selama ini sangat dia benci.

Tetapi jujur saja, hatinya benar-benar sakit ketika mendengar Isa sudah punya kekasih? Maksudnya kenapa tiba-tiba sekali? Bukankah baru dua bulan laki-laki itu pindah ke lingkungan ini? Siapa wanita yang ia pacari? Sialan, Sofia kembali menitikkan air mata. Ia konyol, kenapa juga harus menangisi laki-laki yang bahkan tidak jelas mencintainya atau tidak?

Ia sudah memutuskan untuk putus dengan Vito, terlepas laki-laki itu setuju atau tidak, bagaimanapun juga melanjutkan hubungan tanpa arah benar-benar membuat Sofia stres. Ia hanya tidak ingin membuat Vito semakin sakit hati, dan tentu juga ia tidak mau pura-pura bahagia. Itu memuakkan.

Jam menunjukkan pukul 00.49, dengan langkah lunglai Sofia keluar kamar dan menaiki tangga menuju rooftop. Selama tiga Minggu, ya saat berpacaran dengan Vito ia sudah tak pernah lagi ke atas, bukan apa-apa, hanya saja ia tidak mau bertemu Isa dan membuat hubungannya rumit. Namun kali ini ia tidak peduli, toh ia yakin Isa sudah tertidur pulas.

Setelah membuka kunci dan pintu terbuka dengan bantuan angin malam, Sofia merasakan suhu yang mulai menurun. Dingin air container bahkan tidak sedingin udara malam ini menurutnya, ia bergerak maju ke depan, kemudian duduk di lantai tidak terlalu jauh dari pintu, matanya menatap ke atas langit, bulan tampak penuh, dengan dihiasi satu dua bintang yang tidak terlalu terang di langit Medan malam ini.
Gadis itu sebenarnya tidak sepenuhnya menikmati suasana malam. Ia hanya ingin tenang, mencoba melupakan semuanya, tetapi tidak bisa. Bagaimana cinta bisa meruntuhkan segala ego dan bahkan menghancurkan semua peraturan yang selama ini ia buat?

Sofia jelas menulis di buku diary bahwa ia tidak akan pernah sekalipun menangis karena laki-laki. Ia juga tidak akan dibodohi oleh cinta layaknya pemeran utama wanita dalam kebanyakan novel romansa. Mengaku jatuh cinta pertama kali? Tidak akan pernah ia lakukan seumur hidup. Menyakiti hati orang lain? Tidak juga, karena ia takut karma. Sofia jelas-jelas menulis itu di sana, peringatan untuk dirinya sendiri. Namun siapa sangka kini hal itu terjadi?

Menangisi laki-laki? Dibodohi karena cinta? Mengaku jatuh cinta? Menyakiti hati orang lain? Itu semua kini benar-benar terjadi dalam hidupnya. Padahal itu jelas-jelas pantangan.

"Ngapain malam-malam sendirian di sini?"

Matanya kini menoleh ke lapak samping. Isa tampak menyandarkan dadanya di tembok pembatas rooftop. Dengan pencahayaan remang, Sofia tidak bisa melihat jelas ekspresi laki-laki itu.

"Kamu juga ngapain?" Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.

"Nggak bisa tidur."

Hanya jawaban singkat yang Isa berikan, setelah itu ia langsung duduk dan tentu saja tubuhnya menghilang dari pandangan Sofia karena tertutup tembok pembatas.

"Aku denger kamu udah punya pacar?" Baiklah, Sofia tahu itu tiba-tiba. Tetapi ia sudah 'tak sanggup menahannya lagi, biarlah ia terlihat seperti wanita 'tak punya malu.

Awalnya tidak ada jawaban, di sebelah sana, Isa duduk sembari menyandarkan tubuhnya di pembatas rooftop, begitupun dengan Sofia yang juga bersandar di sana.

"Iya," jawab Isa, singkat.

Lidah Sofia seakan kelu. Dia tahu dia bukanlah siapa-siapa melainkan hanya teman masa kecil bagi Isa, ya, tidak seharusnya ia cemburu. Tetapi tetap saja ini menyakitkan.

"Siapa? Sebagai temen kamu, aku harusnya tau dong siapa dia, masa nggak di kenalin?"

Terdengar suara tawa dari sana. Sofia ikut tersenyum, walau senyumnya kali ini adalah senyum yang paling menyakitkan. "Erika. Kamu pasti kenal."

Mata Sofia mendelik. Erika, si gadis yang duduk di meja kasir butiknya Bunda Isa? Jujur Sofia terkejut karena tidak menyangka. Namun ketika mengingat Erika, Sofia jadi tidak terlalu heran. Gadis itu cantik, hidungnya mancung, bertutur kata lembut, ramah dan sopan, dan gadis itu juga berhijab. Sofia merasa seperti dipukul mundur secara paksa, ia telah kalah bahkan sebelum memulai perang.

"Selamat, semoga langgeng." Hanya itu yang bisa ia ucapkan saat ini. Lagian apa lagi yang akan terjadi? Waktunya untuk mundur. Itu jawaban yang tepat untuknya.

Isa tidak mengatakan apa-apa lagi, ia juga akhirnya diam sama seperti Sofia. Mereka lebih memilih bergelut dengan pikiran masing-masing malam itu, sampai akhirnya berpamitan dan kembali turun ke bawah untuk tidur karena sudah sangat larut.

***

Lima hari yang lalu.

Isa sudah dipusingkan dengan tugas kuliah, patah hati karena Sofia dan Vito berpacaran dan kini dengan Erika yang menangis-nangis meminta pertolongan. Awalnya laki-laki itu bingung apa yang membuat Erika banyak diam selama beberapa hari terakhir, namun ketika ia memilih bertanya, Erika malah menangis keras dan mulai menceritakan hal yang mengganggunya.

"Jadi mantan pacar kamu itu maksa balikan dan bahkan ngancam bakal gangguin kamu seumur hidup?" tanya Isa setelah menyimpulkan isi cerita dari Erika.

Gadis berhijab itu mengangguk kecil. Menyeka air matanya berusaha tegar. "Aku udah nggak mau diganggu dia lagi, Isa. Tolong bantu biar dia nggak kayak gitu ke aku."

"Tapi gimana caranya? Aku lapor polisi?"

Erika tertawa sumbang. "Yakin bakal ditanggapi? Lagian Gama nggak ninggalin bukti apapun. Dia hati-hati banget gangguin aku, chat semalam aja udah hilang, ternyata udah dia hapus."

"Sebenarnya dia sempat bilang, kalau aku udah punya pacar dia nggak bakal gangguin."

"Lah?" Tentu saja Isa heran, ini aneh menurutnya. Gama itu sakit jiwa atau bagaimana sih?

"Jadi, tolong jadi pacar aku, Isa. Nggak usah lama, satu bulan aja, mau ya?"

Isa mematung. Tunggu, berpacaran? Sungguh hal yang tak pernah terlintas di benaknya saat ini. Tidak, bukannya tidak pernah sama sekali, tetapi ia hanya berpikir seperti itu hanya untuk Sofia, bukan dengan gadis lain apalagi Erika. Tidak ada yang salah dengan Erika sih, tentu saja dia cantik dan juga baik, tetapi hati Isa sudah benar-benar dipenuhi Sofia dan tidak ada ruang untuk yang lain saat ini.

"Nggak mungkin lah, maaf."

Erika menunduk, ia semakin terisak. "Ya udah, tolong cari siapapun yang bisa bantu aku, Isa. Siapapun, yang penting aku nggak diganggu Gama lagi."

Isa meneguk ludahnya kasar. Sekarang, mereka berdua sedang duduk di belakang butik, sementara di depan sana bunda dan dua karyawan lain tampak sibuk melayani pelanggan.

"Aku nggak kenal siapapun yang mungkin bakal baik hati ke kamu. Karena kamu tau sendiri cowok itu gimana, awalnya niat bantu tapi lama-lama jadi mau hal lain. Bukannya kamu sendiri lebih kenal orang di daerah sini?"

Erika mengangguk kecil. "Aku emang kenal mereka tapi aku nggak bisa percaya. Aku takut kasus kayak Gama terulang."

"Terus kenapa bisa percaya sama aku?"

"Feeling. Aku ngerasa kamu beda. Tapi kalau emang nggak mau juga nggak apa-apa kok. Aku minta maaf kalau udah ganggu, Isa. Benar deh, anggap aja kita nggak ngobrol hari ini." Tangan Erika yang tadi bergetar karena bercerita tentang Gama mulai mereda. Ia kini menatap Isa, setelah menyeka sisa air mata di pipinya, gadis itu hendak kembali ke depan. Namun, suara Isa menghentikan langkahnya.

"Ya udah, kita pacaran. Tapi aku cuma bisa bantu selama satu bulan, ya. Selepas itu kita udahan."

RUKO With Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang